Ilustrasi: Ustaz Hariri |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Pagi yang cerah dengan udara kompleks yang masih segar. Horsa duduk di
kursi teras hanya dengan bersinglet merah dan bercelana pendek merah yang ada
angka sembilannya. Tangan kanannya sedang berolah raga angkat barbel kecil
untuk tetap menjaga kekencangan otot lengannya.
Di depan lelaki berambut gondrong berusia lebih 50 tahun itu adalah
sebuah meja yang di atasnya tersaji secangkir kopi susu dan sebuah cerek
keramik. Ada pula sepiring kue ketan bertabur parutan kelapa muda.
Dari dalam rumah muncul seorang wanita bertubuh kurus berbaju putih
bercelana panjang biru. Rambut pendek selehernya sudah didominasi warna putih.
Di lehernya tampak jelas melingkar kalung emas. Wanita berusia hampir 50 tahun
itu keluar dengan membawa secangkir teh yang masih mengebulkan asap tipis. Ia
bernama Wiwin, istri setia Horsa sekaligus ibu dari Khalid Abdulatif alias
Fito.
Wiwin meletakkan cangkir tehnya di meja dan duduk di kursi,
berseberangan dengan suaminya.
“Fito belum berangkat kerja, Ma?” tanya Horsa, tapi pandangannya
memperhatikan otot lengannya yang terus bergerak.
“Masih di kamarnya,” jawab Wiwin. “Pa, semalam Talia sms aku. Katanya
dia ada di Salatiga.”
“Hah! Mati pun Lia di depan rumah ini, gua enggak bakalan urus jenazahnya!”
ketus Horsa sambil memindahkan barbel di tangan kanannya ke tangan kiri. Giliran
lengan kirinya yang berolahraga.
Wiwin hanya tarik napas mendengar komentar suaminya. Di dalam hati, rasa
sedih muncul mendengar itu. Namun, ia juga mengerti, betapa sakit hatinya
suaminya terhadap Talia, anak gadis mereka yang tidak jelas nasibnya selama
sebulan terakhir.
“Di tempat siapa dia di Salatiga?” tanya Horsa tanpa memandang wajah istrinya,
ia tetap fokus memperhatikan otot lengannya.
“Teman perempuannya,” jawab Wiwin.
“Kerja apa saja polisi sampai sebulan belum bisa tangkap anak itu,”
gerutuh Horsa.
Dengan tangan kiri tetap bergerak teratur mengangkatturunkan barbel,
tangan kanan Horsa meraih cangkir kopinya yang sudah mulai mendingin. Namun,
sebelum bibirnya menyentuh bibir cangkir, pandangannya bergerak ke sana ke mari
dengan kening berkerut, mencari sesuatu. Gerakan tangan kirinya bahkan
terhenti.
“Wangi apa ini?” tanya Horsa yang merasa heran, karena tiba-tiba ada
harum yang cukup menyengat menusuk penciumannya.
“Entah,” jawab Wiwin yang juga mencari sumber bau harum itu.
Horsa melanjutkan seruput kopinya.
Seiring itu, dari dalam rumah muncul seorang pemuda tampan berpeci hitam,
mengenakan baju koko putih dan bercelana hitam dari bahan katun. Kedua kakinya
sudah bersepatu hitam mengkilap. Pemuda itu tidak lain adalah Fito.
Frukrr!
Air kopi yang belum ditelan oleh Horsa, tiba-tiba tersembur ke depan
hingga mengenai pakaian Wiwin.
“Papa!” pekik Wiwin.
Kemunculan Fito dengan tampilan seperti itu sangat mengejutkan Horsa.
Wiwin segera menengok ke pintu, dan ia pun terkejut dengan menjerit tertahan.
Rupanya aroma harum menyengat itu bersumber dari sosok anak bujang mereka.
Horsa dengan wajah agak marah meletakkan cangkir kopinya ke meja dengan
agak kasar, sehingga sedikit airnya tumpah ke meja.
“Lu mau kawin kenapa enggak bilang-bilang?!” tanya Horsa membentak.
“Gua mau kerja, Pa,” jawab Fito seraya tersenyum selembut mungkin.
“Kerja?” ucap ulang Horsa dan Wiwin bersamaan. Mereka heran. Lalu Horsa
bertanya lagi, “Lu ada acara maulid di
kantor?”
“Sekarang sebentar lagi bulan puasa, Pa, maulid udah jauh lewat. Gua mau kerja biasa. Gua berangkat dulu,
Pa, Ma,” kata Fito.
Ekspresi Horsa yang sempat berhias lukisan emosi berubah raut heran.
Fito lalu bergerak mendatangi ibunya dan mengulurkan tangannya seraya
agak membungkuk. Wiwin terdiam heran, ia tidak mengerti apa mau anaknya itu.
“Apa?” tanya Wiwin kerutkan kening.
“Salim, Mama,” jawab Fito dengan nada agak kesal karena ibunya tidak
mengerti maksudnya.
Akhirnya Fito sendiri yang meraih tangan Wiwin dan menciumnya.
Selanjutnya Fito menghampiri ayahnya dan mengulurkan tangannya juga. Dengan
tetap penuh tanda tanya yang terlihat dari cara pandangnya, Horsa memberikan
tangan besarnya untuk disalim dan dicium.
Fito lalu pergi ke garasi untuk mengeluarkan motor besarnya.
“Ada apa sih, Pa?” tanya Wiwin setengah berbisik kepada suaminya sambil
tetap memandang pergerakan anaknya.
“Mana gua tahu!” ketus Horsa. “Tapi dia dari kemarin malam memang aneh.
Dia bilang lagi ada masalah. Gua khawatirnya dia kena guna-guna.”
“Ah, masa kena guna-guna jadi baik begitu!” sangkal Wiwin tidak sepakat.
“Semalam dia enggak minum, kan?”
“Enggak. Waktu dia pulang normal-normal aja dan langsung tidur,” jawab
Horsa.
“Berarti itu enggak normal, Pa. Yang normal itu, sebelum dia tidur pasti
minum satu botol,” kata Wiwin sinis.
Sementara itu, Fito sudah siap di atas motornya yang telah menyala
mesinnya.
“Ma, Pa, Fito berangkat, doakan semoga sukses!” sahut Fito kepada kedua
orang tuanya.
“Ya!” jawab Wiwin seraya tersenyum getir.
“Assalamu ‘alaikum!” seru Fito
penuh semangat.
“Wa, wa ‘alaikum salaaam!”
jawab kedua orang tua itu agak gagap.
Dengan senyum merekah, Fito pergi bersama motornya dengan penampilan
yang beda.
“Assalamu ‘alaikum, Ani!” salam
Fito saat berpapasan dengan seorang gadis berjilbab cantik yang sedang lewat di
depan rumahnya.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab
gadis berjilbab merah itu dengan kening berkerut. Pandangannya mengikuti
kepergian Fito. “Ak!”
Gadis itu menjerit tertahan karena kakinya tersandung batu dan
membuatnya hampir jatuh.
Setibanya di lingkungan kantor, sejak masuk parkiran hingga masuk ke
tempat kerja, Fito menjadi bintang karena menjadi pusat perhatian. Tidak
sedikit rekan-rekan kerjanya atau yang mengenalnya jadi tertawa melihat
penampilan Fito. Selain tampil tidak biasa, Fito juga berlaku tidak biasa,
yaitu menebarkan ucapan salam kepada setiap orang yang berpapasan dengannya,
bahkan kepada orang yang tidak mengenalnya.
“Apa yang terjadi dengan pemabuk itu?” tanya seorang wanita teman Fito
kepada pemuda teman yang lainnya.
“Entahlah, tapi yang jelas Fito enggak mabuk,” jawab pemuda yang ditanya
sambil memandangi Fito dari kejauhan.
“Assalamu ‘alaikum, Pak Ustaz!
Hahaha!” teriak seorang pemuda bertubuh gemuk, mendatangi Fito seraya tertawa
lalu menjabat akrab tangan Fito yang baru masuk.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab
Fito dengan senyum lebarnya.
“Hahaha! Anak siapa yang mau kita nikahkan hari ini, Pak Penghulu?”
tanya pemuda bernama Heru itu mencandai Fito.
Fito hanya tertawa tanpa menjawab candaan itu.
Sementara itu, Gunawan yang satu kantor dengan Fito muncul, tapi
langsung menghentikan langkahnya ketika melihat keberadaan dan penampilan Fito.
Gunawan segera berlindung di balik tiang kantor dan mengintip Fito yang sedang
menjadi bahan candaan teman-temannya.
“Wadduh! Kalah penampilan gua,” ucap Gunawan lirih.
Pemuda yang kini bercelana hitam dengan kemeja lengan panjang biru muda
itu terdiam berpikir. Seketika ia teringat pesan Ki Rogo, guru spiritualnya.
“Pastikan kamu lebih baik dari dia. Jika kamu melihat dia lebih baik,
maka segera lakukan hal yang sama untuk menandinginya,” kata Ki Rogo tadi
malam.
Satu ide pun muncul di benak Gunawan. Ia segera balik kanan dan berjalan
cepat menuju ke suatu tempat. Tak berapa lama, Gunawan sampai di depan pintu
sebuah ruangan yang di atas pintunya ada kaligrafi tulisan latin berbunyi
“Mushollah Zulkifli”.
Setelah membuka sepatunya, Gunawan masuk ke dalam musala yang kosong.
Tak berapa lama, ia keluar dengan kepala memakai peci putih dan dari pinggang
hingga lutut melingkar balutan kain sarung. Sementara celana tetap panjang,
sehingga penampilannya pun seperti penari adat.
Maka, setelah heboh kemunculan Fito yang “aneh”, bekerja dengan berbaju
koko dan berpeci hitam, para karyawan di kantor perusahaan itu tambah
dihebohkan oleh penampilan Gunawan yang “aneh” juga.
Mulai hari itu, persaingan Fito dan Gunawan benar-benar dimulai. Tidak
hanya di ruang kantor, tapi juga terlihat di waktu salat tiba, yaitu di musala.
Jika keduanya hari itu melaksanakan salat, jelas itu tiba-tiba sekali.
Sebab, selama ini, sejak mereka mulai menjadi karyawan di perusahaan itu,
mereka tidak pernah terlihat berada di musala. Maka, ketika mereka masuk ke
musala di waktu Zuhur, mereka pun menjadi pusat perhatian jamaah salat.
Karena curiga, imam salat yang adalah atasan mereka sampai bertanya,
“Fito, Gunawan, kalian mau apa?” tanya Pak Darmawan, Kepala Personalia yang
memiliki pribadi religius.
Ditanya seperti itu, keduanya jadi bingung dan saling pandang. “Kalau
bukan untuk salat, untuk apa datang ke musala?” Itulah pikiran keduanya.
“Salat, Pak!” jawab keduanya serentak dengan wajah bengong.
“Bagus,” puji Darmawan yang berusia 45 tahun. “ Kalau begitu qomat,
Gun!”
“Hah? Apaan, Pak?” tanya Gunawan dengan wajah bingung.
“Qomat, iiqoomaat!” tandas Darmawan.
“Saya gak paham, Pak,” kata Gunawan seraya senyum malu.
“Biar saya, Pak!” sahut Fito cepat.
“Silakan,” kata Darmawan.
Fito pun maju. Lalu....
“Allaaahuakbar Allaaahuakbar!”
pekik Fito mengumandangkan kalimat takbir dua kali. Suaranya yang cukup merdu,
keras seolah mengumandangkan azan. “Allaaahuakbar
Allaaahuak....”
“Stop stop stop!” seru
Darmawan buru-buru menghentikan Fito.
“Itu azan, tadi sudah azan, Fito. Sekarang qomat,” kata Darmawan
menjelaskan, membuat para jamaah tertawa rendah.
Demikianlah salah satu bagian keluguan Fito dan Gunawan yang tidak
mengerti apa itu “iqamat” untuk salat.
Ternyata, di hari-hari berikutnya, persaingan Fito dan Gunawan kian
seru, menimbulkan kegegeran tersendiri di perusahaan itu.
Esok harinya, Gunawan masuk kerja dengan pakaian seperti pria pakistan,
berbaju gamis sepanjang lutut dengan celana bawaan dari baju. Peci putih tetap
berkilau silau di kepala.
Merasa kalah religius, keesokannya giliran Fito yang masuk kerja dengan
baju koko dan bersarung baru dan berpeci hitam.
Gunawan tidak mau kalah. Esoknya lagi, ia tampil dengan gamis model
jubah dan memakai sorban, layaknya seorang syaikh muda dari timur jauh.
Bahkan ketika salat Jumat, melihat Fito memasukkan selembar uang sepuluh
ribu ke kotak amal yang berjalan, Gunawan tidak segan-segan mengeluarkan dompet
dan memilih selembar seratus ribuan, lalu dimasukkan ke dalam tromol. Usai itu,
ia melirik seraya tersenyum kepada Fito yang duduk sebaris dengannya. Fito
memilih tidak berekspresi menanggapi senyuman Gunawan.
Termasuk ketika usai salat, melihat Fito berdoa, Gunawan pun ikut angkat
kedua tangannya. Namun, dalam praktek doanya, Gunawan berulang kali melirik
kepada Fito seraya bibirnya komat-kamit, sekedar komat kamit tanpa membaca doa.
Hingga akhirnya, empat hari sudah persaingan “fastabiqul khairat” (berlomba-lomba dalam kebaikan) itu berlangsung.
“Gun, dipanggil Pak Darmawan!” kata seorang rekan kerja Gunawan, lalu
berbalik pergi sambil tersenyum-senyum kepada karyawan lain yang sedang sibuk
bekerja di mejanya masing-masing.
“Kena juga dia!” desis karyawan yang lain setengah berbisik sambil
tertawa cekikikan.
Saat itu, Gunawan berpenampilan seperti seorang syaikh dari negeri antah
berantah. Ia bersorban dengan sepasang mata memakai celak tebal. Jubah putihnya
masih terlihat baru dan wangi khas aroma hajar aswad, minyak wangi non-alkohol.
Setibanya di depan pintu ruangan yang bertuliskan “Kepala Personalia”,
Gunawan mengetuk pintu.
“Masuk!”
Terdengar seruan dari dalam.
“Assalamu ‘alaikum, Pak!” ucap
Gunawan setelah membuka pintu.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab
beberapa suara yang ada di dalam ruangan.
Di ruangan itu ada Kepala Personalia, Pak Darmawan, orang yang selalu
menjadi imam salat di musala perusahaan. Di meja yang lain, duduk seorang
pemuda bertubuh kurus tapi berpenampilan rapi. Ia adalah sekretaris Pak
Darmawan yang bernama Aris.
Selain itu, di kursi depan meja Pak Darmawan telah duduk seorang pemuda
yang tidak lain adalah Fito. Fito tampil dengan peci putih di kepala, baju koko
putih dan bersarung, sebagaimana layaknya seorang Muslim berpakaian hendak
salat.
“Duduk, Gun!” suruh Darmawan.
Gunawan lalu duduk di kursi sebelah Fito seraya memandang saingannya
itu. Fito bersikap cuek. Sementara Aris tertawa tanpa suara melihat Gunawan.
“Kalian berdua, dengarkan saya baik-baik,” kata Darmawan memulai.
“Baik, Pak,” jawab keduanya penuh khidmat.
“Saya sangat senang melihat perubahan radikal kalian, setelah sebelumnya
saya mendengar kalian seperti tokoh persilatan yang berjuluk Sepasang Naga
Pemabuk. Dan apa yang kalian tunjukkan dalam beberapa hari terakhir adalah
sangat baik, meski menimbulkan kehebohan dan keanehan bagi khalayak umum. Di
sisi lain, bukannya saya menyombongkan diri. Namun, saya juga seorang muslim
yang mengerti kewajiban-kewajiban saya sebagai seorang muslim, tapi saya bisa
memilih waktu, di mana saya harus memakai sandal dan di mana saya harus memakai
sepatu atau kapan waktunya saya harus tidak beralas kaki. Lalu, apakah kalian
berdosa memakai pakaian seperti ini di saat jam kerja atau di kantor? Tidak.
Lalu apakah kalian melanggar peraturan perusahaan jika berpakaian seperti ini?
Tidak. Tapi mungkin, budaya umum tidak siap menerima ketidakbiasaan, sehingga
mereka bereaksi negatif jika itu terjadi seperti apa yang kalian lakukan saat
ini. Alangkah bijaknya, jika kalian bisa membedakan, kapan dan di mana harus
berpakaian seperti ini. Saya khawatir, justru budaya baru kalian ini akan
memperburuk citra kalian sendiri di mata para karyawan yang lain. Dan perlu
kalian ketahui, Bos sudah bertanya sekali kepada saya tentang karyawan yang
berpenampilan aneh dalam tanda kutip." (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar