Ketika Si Tomboy Berhijab (16)

Ilustrasi: wanita tomboy.
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:
Fastabiqul Khaerat Sepasang Naga Pemabuk (12)
Geng Muslimah Bintang Tujuh (13)

Barada berlari menaiki tangga ke lantai tiga, lalu langsung masuk ke kelasnya.

Assalamu ‘alaikum!” serunya sambil berlalu menuju kursinya.

Wa ‘alaikum salam!” jawab beberapa siswa yang sudah tiba lebih dulu di kelas.

Memang seperti itulah kebiasaan Barada. Masuk pertama kali ke dalam kelas pasti memberi salam kepada teman-temannya yang ada. Murid lain di kelas itu tidak ada yang melakukan hal seperti itu. Barada memang tidak takut untuk tampil beda, jikalau itu ia pandang sebagai sesuatu yang positif.

Di bangku Barada telah duduk seorang siswi berwajah putih berambut panjang. Jika ia berdiri, ujung rambutnya bisa sampai lutut. Untuk merapikannya, gadis itu memakai satu jepit rambut dan dua ikat rambut. Sepasang matanya agak sipit, hingga wajahnya mirip wajah etnis Tiong Hua, padahal ia kelahiran Palembang. Ia bernama Dwi Rahayu, teman sebangku sekaligus sahabat Barada sejak kelas sepuluh atau satu SMK.

“Kenapa kamu, Dar?” tanya Dwi karena melihat Barada datang tergesa-gesa.

Barada hanya tersenyum lalu berhenti dan membungkuk hormat kepada Dwi. Sikap Barada seperti itu sudah Dwi hadapi setiap hari sekolah, sehingga ia sudah terbiasa dengan adat penghormatan ala Jepang sahabatnya itu.

“Saya lupa buat MTK!” kata Barada rada panik, karena jam pelajaran matematika adalah jam pertama setelah upacara bendera.

“Dua puluh soal, lho. Mau nyontek punya saya?” kata Dwi menawarkan.

Jazakillah, Cantik,” ucap Barada sambil senyum palsu kepada Dwi.

Dwi hanya tertawa kecil. Ia tahu, meski Barada tidak pintar di pelajaran matematika, tapi gadis berhijab itu memiliki prinsip pantang mencontek.

Dwi bergeser sedikit memberi tempat duduk yang luas kepada Barada. Barada segera membuka tasnya dan mengeluarkan buku-bukunya.

Plok plok plok!

Namun, belum juga Barada menulis sesuatu, tiba-tiba terdengar suara riuhnya tepuk tangan dan tawa dari luar kelas.

I love you, Iis!”

Terdengar teriakan seorang siswa yang disusul tawa yang kian riuh. Menyusul beberapa teriakan yang lain, terutama dari kaum lelaki.

“Iis! Jangan naik ke sini, nanti gedungnya goyang!”

“Cantik beneeeerrrr!”

Masya Allah cantiknya, masya Allah cantiknya, dari jilbab sampai kakinya, luar biasa tiada yang cacat dan tercela!”

Seorang siswa bahkan menyanyikan lagu dangdut almarhum A. Rafiq yang berjudul “Tercantik di Dunia” dengan sedikit dipelesetkan.

“Badar!” panggil seorang siswi yang hanya melongokkan kepalanya di pintu kelas.

“Ye?” tanya Barada.

“Iis Geng Bintang Tujuh pakai jilbab!” kata siswi teman sekelas Barada itu.

“Hah!” pekik kejut Barada. “Kabar bagus nih!”

Barada segera meninggalkan kursi dan pekerjaannya. Dwi juga ikut keluar, termasuk semua siswi yang ada di dalam kelas.

Sekeluarnya dari kelas, Barada dan Dwi langsung melihat ke lapangan di bawah sana. Siswa dan siswi SMK telah berjejer di pagar pembatas balkon lantai tiga, hanya untuk melihat kehebohan yang terjadi di Senin pagi itu. Sementara siswa dan siswi SMU ramai pula di balkon lantai dua dan di pinggir lapangan.

Tampak di bawah sana, seorang siswi berjilbab sedang dikerumuni oleh beberapa siswi lainnya. Siswi berjilbab itu tidak lain adalah Ristana, siswi tomboy seperti laki-laki yang merupakan salah satu anggota Geng Bintang Tujuh. Dan siswi lain yang mengerumuninya sambil tertawa-tawa tidak lain adalah Novi, Iyut, Windi dan Ade Irma.

Sehari sebelumnya, Ristana telah melalui satu hari dengan berjilbab. Ternyata dandanan dan penampilannya membuat ia terlihat lebih cantik dari penampilan sebelumnya yang meski cantik, tapi mirip laki-laki gayanya.

Tampak seorang siswi berjilbab lain muncul dari pinggir lapangan dan berlari kepada Ristana dan anggota Geng Bintang Tujuh lainnya. Siswi cantik yang telah menjadi primadona di sekolah itu tidak lain adalah Rina Viola, Ketua Geng Bintang Tujuh, yang beberapa pekan lalu memutuskan lebih dulu berhijab, meski sempat menimbulkan kehebohan di sekolah.

Kini, tampaknya kehadiran Ristana dengan jilbabnya kembali menjadi kehebohan di pagi itu.

“Gua suka gaya elu, Is!” seru Rina sambil tersenyum senang menunjuk Ristana. Rina lalu memeluk Ristana. “Lu berani gila ngambil keputusan kayak gini!”

“Tapi enggak segila elu waktu itu,” kata Ristana yang juga merasa senang dengan sambutan positif dari para sahabatnya.

Berbeda ketika Rina memutuskan berjilbab, ia justru mendapat sikap negatif dari para sahabat satu gengnya. Bahkan sempat berseteru dengan seorang guru yang menganggap Rina hanya main-main mengenakan jilbab.

“Iis!”

Satu teriakan lantang agak serak memanggil Iis dari atas. Mereka pun mendongak ke lantai tiga. Tampak Barada melambaikan tangan kepada mereka seraya tersenyum lebar. Setelah itu, Barada berlari pergi ke tangga menuju ke bawah.

“Tadi katanya buru-buru mau ngerjain PR matematika, malah turun,” kata Rina.

“Iiih!” Windi bergerak cepat mencubit pipi Ristana agak lama, membuat gadis berjilbab baru itu meringis kesakitan. “Gemas gua!”

Yang lain hanya tertawa. Tak berapa lama muncullah Barada yang datang berlari seraya tertawa-tawa.

Subhanallah, Bidadari Bumi!” ucap Barada memuji setibanya di antara mereka. Lalu tanyanya, “Iis, boleh peluk?”

Tertawalah Ristana dan yang lainnya dengan pertanyaan Barada itu. Ristana lalu agak merentangkan kedua tangannya.

“Hahaha!”

Tertawalah Barada lalu memeluk Ristana. Mereka pun tertawa. Bahkan para penonton di pinggir lapangan, di lantai dua dan tiga, turut tertawa melihat hal yang bagi mereka cukup lucu tapi menyenangkan untuk dilihat.

Kondisi yang hampir sama pernah terjadi sebelumnya, ketika Rina dan anggota Geng Bintang Tujuh lainnya saling berbaikan, pasca Rina memutuskan untuk eksis terus berjilbab.

“Teman baru, ya?” tanya seorang siswi cantik dari belakang Ristana. Siswi cantik itu tidak lain adalah Indah Pertiwi, anggota Geng Bintang Tujuh lainnya.

Ristana menengok ke belakang.

“Aaa! Iis gila!” pekik Indah nyaring saat melihat wajah gadis berjilbab yang tak disangkanya adalah Ristana, yang kemarin juga pakai jilbab, tapi ia tidak menyangka jika Ristana akan berjilbab ke sekolah. Ia langsung memeluk Ristana sambil tertawa nyaring.

Indah baru saja tiba ke sekolah itu.

“Geng Bintang Tujuh berubah drastis,” kata seorang siswi gemuk yang turut melihat dari lantai tiga gedung. Ia adalah teman sekelas Rina dan Ristana yang bernama Saskia, sesama siswi jurusan sekretaris.

“Memangnya kenapa sebelumnya?” tanya seorang siswi cantik berambut hitam, ada aksen bule yang membekas di kata-katanya. Ia adalah Silva Monica, siswi baru pindahan dari Inggris.

“Sebelum kasus Rina berjilbab, anak-anak Geng Bintang Tujuh sering bertindak sok jagoan dan sok kuasa, suka melecehkan siswi lain, terutama anak kelas satu. Tapi sejak Rina berjilbab, saya belum lihat lagi mereka melakukan itu,” jelas Saskia.

“Aku belum tahu, kenapa tiba-tiba mereka seperti gandrung dengan jilbab,” kata Silva seperti bule yang fasih berbahasa Indonesia.

“Isu yang nyebar katanya, semua karena cewek akuntansi yang namanya Badar. Itu yang tadi teriak dari atas sini. Dengar-dengar juga, katanya dia jago silat,” kata Saskia.

“Oh ya?” ucap Silva dengan mimik serius, ia seperti mendapat informasi menarik. Silva jadi fokus memperhatikan sosok Barada di bawah sana.

Teeet! Teeet! Teeet!

Terdengar tiga kali pekikan bel listrik. Seluruh siswa dan siswi segera bergerak membubarkan diri dari posisinya untuk menuju ke lapangan upacara.

Hingga akhirnya, usai upacara, Barada harus menanggung masalahnya.

Di jam mata pelajaran matematika, di depan kelas telah berdiri seorang guru pria bertampang sangar dengan potongan rambut seperti tentara. Kulitnya hitam. Ia adalah Suryo Manutdilogo, guru yang terkenal “killer”.

“Yang tidak mengerjakan PR unjuk diri!” seru Suryo tapi memandang ke buku yang ada di tangannya, tanpa memandang kepada murid-muridnya.

Dengan wajah sedikit mengerenyit, Barada angkat tangan kanannya. Ternyata di kursi yang lain, ada dua siswa lainnya yang angkat tangan juga, sebagai tanda mereka tidak mengerjakan PR.

Suryo kemudian memandang kepada warga kelas dan melihat ada tiga murid yang unjuk diri tidak melaksanakan tugas rumah.

“Saya tidak butuh yang namanya alasan. Badar, kau pimpin teman lelakimu itu lari 15 putaran di lapangan. Setelah itu selesaikan tugas rumah itu di luar kelas!” perintah Suryo.

“Siap!” pekik Barada tanpa berat hati.

“Tapi Badar puasa, Pak!” kata Dwi di sebelah Badar.

“Tidak pakai alasan. Kalau batal juga dapat pahala,” kata Suryo.

Barada pun bangkit, lalu serunya kepada kedua teman lelakinya, “Amir, Bondo, ayo ikut!”

“Siap!” jawab kedua siswa itu bak prajurit, membuat teman-teman mereka yang lain tertawa rendah tapi riuh.

Barada, Amir dan Bondo bergerak keluar kelas untuk turun kembali ke lapangan setelah baru saja mereka naik dari melaksanakan upacara bendera.

Di lapangan, ketiganya berlari-lari kecil di sepanjang pinggir lapangan. Meski dihukum seperti itu, Amir dan Bondo justru asik bercanda dan tertawa-tawa sambil berlari-lari kecil.

“Elu kenapa ikut Badar pakai unjuk diri? Biasanya juga nanti disuruh kerjain satu-satu ke depan soal PR-nya,” kata Amir menyalahkan Bondo.

“Gua sih sebenarnya sudah bikin PR, tapi demi menemani Badar sayang, yaaa gua tunjuk tangan,” kilah Bondo lalu tertawa.

Jawaban Bondo itu justru membuat Barada yang berlari di depan jadi tertawa.

“Preeet!” ledek Amir yang akhirnya juga tertawa. “Kalau elu naksir Badar, kenapa enggak lu tembak-tembak?”

“Gua kehabisan peluru, Bro,” jawab Bondo yang sudah mulai tersengal-sengal di putaran keenam.

“Ah, bilang aja elu gak punya berani. Percuma lu ngerokok kalau cuma nembak Badar gemetaran, hahaha!” kata Amir.

“Iya!” sahut Barada yang terus berlari meninggalkan keduanya di belakang. “Saya tunggu tembakan kamu, Bondo! Hahaha!”

Bondo yang bertubuh agak gendut itu akhirnya berhenti berlari pada putaran kesepuluh, ia memilih duduk di lantai lapangan dengan napas tersengal-sengal. Sementara Barada terus berlari stabil. Amir pun sudah berlari sangat pelan untuk menyempurnakan putaran kesebelas. Hingga akhirnya ia pun berhenti dan duduk di sisi Bondo.

“Ayo bangun, lelaki!” seru Barada sambil terus berlari melewati keduanya. Ia sudah masuk putaran ke-14.

“Gua baru tahu, tuh cewek kuat napasnya,” kata Amir.

“Memang lu gak tahu, Bro. Isunya Badar kan jago silat,” kata Bondo agak pelan.

“Pantasan elu gak berani nembak dia,” kata Amir. “Aduh, dengkul gua mati rasa nih.”

Sementara itu, tampak di koridor depan perpustakaan, seorang siswi berdiri sejenak memandangi mereka yang di lapangan.

“Silva ngeliatin tuh!” bisik Bondo sambil mencolek Amir dengan pandangan dilempar jauh ke depan perpustakaan.

Amir segera alihkan pandangan ke depan perpustakaan. Setelah melihat keberadaan Silva, Amir langsung memegang dadanya.

“Oh, jantungku langsung kesetrum!” desah Amir lalu jatuhkan tubuhnya seperti orang kesakitan.

“Gila, lu!” rutuk Bondo.

Silva Monica adalah siswi baru jurusan sekretaris, pindahan dari luar Indonesia. Kecantikannya sedang jadi magnet perhatian para siswa lantai atas dan bawah.

Namun, dari arah wajahnya, Silva Monica lebih memperhatikan Barada yang berlari stabil sejak tadi. Kini Barada masuk ke putaran terakhir. Tak lama, Silva berlalu pergi dengan membawa sebuah buku di tangannya.

Bondo memilih bangun kembali lalu mulai berlari kembali. Amir akhirnya ikut bangun dan berlari menyusul. Barada hanya tertawa kecil melihat dua temannya itu.

“Badar!” panggil Amir.

“Ya!” sahut Barada sambil terus berlari.

“Kalau Bondo nembak, lu bakal terima gak?” tanya Amir.

“Satu dari seratus syarat yang harus dipenuhi adalah berhenti merokok!” jawab Barada.

“Gila! Seratus syarat? Yang benar aja, Badar. Bisa-bisa perawan tua, lu!” gerutuh Amir terkejut.

“Hahaha!” Barada hanya tertawa.

Hingga akhirnya, Barada menyelesaikan larinya 15 putaran.

“Kalian tiga lagi!” seru Barada kepada kedua teman lelakinya.

“Kalau elu udah, sono naik, gih!” kata Bondo sambil melintas di depan Barada yang ‘memandori’.

“Saya tanggung jawab dan supaya laporan ke Pak Suryo apa adanya,” kilah Barada seraya tersenyum manis, membuat jelas lesung pipinya yang berlubang.

Hingga akhirnya, kedua pemuda itu menyelesaikan hukuman larinya. Keduanya berhenti dengan napas Senin-Kamis, wajah mereka mengerenyit dengan mulut terbuka. Keringat membanjir tidak hanya di wajah, tapi juga sampai di dalam celana. Keduanya memilih duduk di lantai lapangan, meski matahari semakin terik sinarnya.

Melihat keduanya, Barada hanya tertawa. Ia lalu melangkah pergi meninggalkan lapangan menuju tangga untuk naik ke kelasnya di lantai tiga.

Namun, ketika Barada menaiki tangga di lantai dua, tiba-tiba sebuah tangan dari belakang mencekal pergelangan kaki kirinya. Barada yang tidak mudah terkejut, kali ini harus terkejut, sebab cekalan itu di tempat yang tidak biasa dan berbahaya untuk tempat seperti tangga.

Ternyata, tangan itu tidak hanya mencekal kaki Barada, tapi juga menariknya ke belakang. Barada membiarkan tarikan itu, sementara kaki kanannya tetap berpijak di tempatnya dan tubuhnya mengikuti tarikan dengan tetap tegak. Seiring itu, wajah Barada berpaling cepat melihat siapa orang yang menarik kakinya.

Hingga akhirnya, kedua kaki Barada terentang lurus dari bawah hingga atas menempel di anak tangga. Gaya split itu tidak membuat otot kaki atau paha Barada sakit, karena memang dasarnya Barada sudah biasa melakukan split demikian dan otot kakinya sudah lentur. Celana panjang di balik roknya membuat aurat kakinya tidak terlihat bergaya seperti itu.

Barada yang bisa aman tanpa cedera dengan serangan itu, mendapati sosok seorang siswi cantik berok panjang tapi tidak berjilbab. Siswi cantik mirip artis Korea itu tidak lain adalah Silva Monica, siswi baru sekretaris, satu kelas dengan Rina dan Geng Bintang Tujuh.

Setelah itu, Silva hanya berdiri memandangi Barada seraya tersenyum, membuat Barada jadi heran. Barada segera bergerak berdiri normal. Ia juga tidak mau ada siswa lain yang nantinya lewat dan melihatnya bisa melakukan hal yang tidak biasa.

Sebenarnya Barada ingin marah dan itu terlihat dari ekspresi di wajah manisnya. Namun, wajah Silva yang tersenyum membuat perasaan Barada separuh luluh dan berganti dengan keheranan.

“Hai!” sapa Silva sambil angkat tangan kanannya sejenak.

Barada hanya melakukan gerakan membungkuk hormat Jepang.

“Kamu Silva, kan?” terka Barada yang hanya mendengar bahwa anak baru yang sedang jadi target cinta para siswa di sekolah itu bernama Silva, anak seorang pejabat penting.

“Betul,” jawab Silva dengan ramah.

“Kenapa kamu serang saya?” tanya Barada.

“Aku hanya mau membuktikan, karena aku dengar kamu jago silat,” jawab Silva dengan aksen bule kental terasa di kata-katanya.

“Pemberi informasi kamu pasti kurang valid,” kata Barada. “Seharusnya saya marah, karena cara itu jelas membahayakan saya.”

“Maaf, aku pasti kurang berpikir jernih. Bagaimana kalau aku tebus permintaan maafku dengan traktir minum di kantin di waktu istirahat?” kata Silva.

“Maaf, saya tidak bisa. Permisi,” jawab Barada lalu bergerak pergi menaiki tangga.

Namun, tiba-tiba Silva bergerak cepat meraih bahu kanan Barada dari belakang sebelum bergerak naik. Barada pun tidak kalah cepat dan sigap memegang tangan Silva lalu bergerak berputar sehingga tangan Silva harus terkilir.

Agar tangannya tidak benar-benar terkilir oleh Barada, Silva memilih menyerang dengan tangan yang lain, memaksa Barada melepaskan tangan Silva dan memilih melakukan tangkisan pelan yang bertujuan hanya menghindar.

“Bukankah tidak baik menolak tawaran kebaikan orang lain?” tanya Silva setelah berhenti menyerang.

“Maaf, saya sedang puasa,” kata Barada, kali ini ia lebih siaga, meski tetap tampil tenang.

“Oh,” desah Silva terkejut. Dengan wajah menyesal ia segera minta maaf, “Maafkan aku, maafkan aku. Aku hanya bercanda. Sampai bertemu lagi.”

Silva segera pergi menaiki tangga meninggalkan Barada.

“Aneh,” gumam Barada tidak habis pikir.

Dari upaya Silva terhadapnya, jelas menunjukkan bahwa Silva pandai berkelahi. (HR)



Berlanjut: Syarat Berat untuk Rani (17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar