Ilustrasi |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Fastabiqul Khaerat Sepasang Naga Pemabuk (12)
Geng Muslimah Bintang Tujuh (13)
Jam di malam itu sudah menunjukkan pukul 21.15 WIB. Irma Lulubana baru
saja tiba di rumah. Meski ada kelelahan yang ia rasakan, ibu berambut pendek
ini langsung menuju ke kamar putri sulungnya, Rani.
Pintu kamar yang tertutup ternyata tidak dikunci. Namun, Irma hanya
masuk selangkah. Dilihatnya di dalam kamar yang mengoleksi banyak macam boneka
itu, Rani dengan bermukena putih sedang berdiri salat. Irma hanya menaikkan
kedua alisnya. Irma memilih keluar dan pergi ke kamarnya.
Irma punya niat akan menyampaikan cerita penting dari suaminya untuk
Rani. Saat ini, Dedy Sirana selaku kepala rumah tangga dalam keluarga itu belum
pulang.
Siang tadi, Dedy tak menyangka akan kedatangan seorang tamu tidak ia
kenal di kantornya. Awalnya ia menolak bertemu tamu itu karena tidak kenal dan
tidak ada janji sebelumnya. Tapi karena tamu yang adalah seorang pemuda
tersebut mengatakan “sangat penting” terkait masalah Rani, Dedy pun akhirnya
bersedia menemuinya. Tamu itu tidak lain adalah Abduh, anak dari Nurrahmah.
Dedy telah mengosongkan ruang kantornya dari orang lain selain mereka
berdua, karena Abduh mengatakan ingin bicara penting dan sangat pribadi. Dedy
duduk santai di sofa empuknya dengan kaki kanan yang bersepatu hitam mengkilap
bersih naik ke paha kiri. Abduh duduk agak tegang di kursi sofa ujung meja
satunya.
Setelah memperkenalkan dirinya dan nama orang tuanya, serta pekerjaannya
sebagai kepala pemasaran sebuah perusahaan sepatu, Abduh pun langsung
menyampaikan maksudnya. Ia menceritakan peristiwa pembegalan yang terjadi
terhadap ibunya yang kemudian dalam insiden itu, Sando, pacar anak sulungnya
Dedy, tewas ditembak begal.
“Karena ada perasaan bersalah yang sangat mendalam dari ibu saya, kemudian
tahu bahwa anak Bapak ternyata sedang mengandung anak almarhum, jadi Ibu sangat
meminta saya untuk jadi pengganti dari Sando. Yaitu mencoba meminang anak Bapak
dan bersedia mengasuh dan membesarkan anaknya kelak. Karena itulah saya
beranikan diri untuk terlebih dulu menemui Bapak sebagai orang tuanya.”
“Hmm,” gumam Dedy manggut-manggut seraya terus memandangi wajah Abduh.
Lalu tanyanya, “Rani kenal kamu?”
“Enggak, Pak. Saya baru sekali melihat Rani, waktu di rumah Sando di
hari pemakaman.”
“Terus terang ya, Dik, aku merasa sangat tercoreng dan marah dengan apa
yang terjadi sama Rani. Aku hanya berharap satu, yaitu anakku itu dapat suami
yang saleh. Titik. Tapi yang jadi masalahnya, aku dan keluarga enggak kenal
kamu, kepribadian kamu. Oke-lah di hari pertama kita bertemu dan bicara seperti
saat ini, kamu menunjukkan sikap sopan dan baik dengan pembicaraan yang baik
dan bahasa yang santun, tapi itu sangat bukan jadi jaminan. Aku juga enggak mau
direpotkan harus mencari tahu sendiri tentang siapa kamu atau siapa keluarga
kamu,” ujar Dedy menanggapi maksud Abduh.
Dedy berhenti bicara, seolah memberi giliran kepada Abduh untuk berkata.
Ternyata Abduh pun diam. Ia tampak berpikir. Dalam hati ia membenarkan
perkataan pengusaha hotel itu. Abduh jelas orang asing di mata Dedy dan
keluarganya, bertemu dan berkomunikasi pun baru saat ini.
“Sepertinya kamu bingung untuk meyakinkan aku,” kata Dedy menyimpulkan.
Ia menyingkap ujung tangan kemeja putihnya, melihat jam emas yang melingkar.
“Maaf, aku rasa cukup. Aku harap kamu bukan penipu yang memanfaatkan kondisi
Rani.”
Dedy berdiri sebagai tanda pembicaraan telah selesai dan Abduh secara
tidak langsung diminta pergi.
Abduh berdiri dengan perasaan kecewa, karena merasa gagal.
“Saya izin, Pak, dan terima kasih. Maafkan saya jika sudah mengganggu
waktu Bapak!” ucap Abduh.
Dedy hanya mengangguk tanpa senyum. Mereka lalu berjabat tangan. Abduh
berjalan menuju pintu.
“Tapi, kalau kamu memang jujur!” kata Dedy agak keras, membuat Abduh
berhenti dan berbalik memandang Dedy. “Tiga hari lagi datanglah langsung ke
rumahku!”
“Oh!” kejut Abduh, lalu tersenyum. Kemudian jawabnya, “Iya, Pak, insya Allah, insya Allah. Assalamu ‘alaikum!”
Usai mendapat tamu tak diduga itu, Dedy menelepon istrinya dan
menceritakan tentang kedatangan Abduh yang bagi keluarga mereka adalah orang
asing.
“Mama juga jadi curiga, Pa. Bisa jadi dia mengincar uang kita,” kata
Irma di telepon menanggapi cerita suaminya.
“Papa ada rencana buat orang itu,” kata Dedy.
Cerita munculnya calon baru itulah yang ingin Irma sampaikan kepada
Rani. Usai mandi dan berganti pakaian, Irma kembali pergi ke kamar Rani. Namun,
Irma kembali harus menahan langkah di pintu kamar anaknya. Ia mendapati Rani
duduk khusyuk ke arah kiblat membelakanginya. Rani masih lengkap dengan
mukenanya, kedua tangannya terangkat berdoa. Namun, tidak ada bacaan doa yang
terdengar selain suara tangis yang sangat dalam. Terlihat tubuh Rani
berguncang-guncang oleh tangisannya.
Melihat pemandangan itu, tak terasa dengan cepat perasaan sedih menjalar
di hati Irma. Ia dengan gerak pelan keluar dan menutup pintu. Sementara air
matanya ikut berderai tanpa suara. Irma memilih untuk menunda niatnya. Padahal
saat itu sudah pukul 22.30 WIB. Itu menunjukkan bahwa Rani cukup lama menghadap
kepada Rabb-nya melakukan pengakuan dosa.
“Bagaimana?” tanya Dedy kepada istrinya, ketika ia pulang jam satu dini
hari.
Irma yang sudah tidur sejak dua jam yang lalu, bangun dengan wajah
mengerenyit.
“Mama belum sampaikan ke Rani,” jawab Irma dengan suara lemah. “Kayaknya
Rani benar-benar tobat, Pa.”
“Ah?” tanya Dedy sambil berhenti membuka kancing kemejanya. “Maksud
Mama?”
“Rani benaran tobat. Pertama Mama ke kamarnya, dia sedang salat. Terus
sejam kemudian Mama ke kamarnya lagi, masih salat sambil nangis kejer,” jelas
Irma.
“Baguslah. Berarti calon suaminya nanti memang harus orang bagus,” kata
Dedy.
Beberapa jam kemudian, di waktu pascawaktu salat Subuh, Irma pergi ke
kamar Rani. Pintu kamarnya dikunci.
“Rani!” panggil Irma sambil memberi beberapa kali ketukan.
Tidak ada sahutan dari dalam.
“Ran, Rani!” panggil Irma lagi, lebih keras.
Namun, tetap tidak ada tanggapan dari dalam kamar.
Seorang pembantu perempuan menghampiri Irma.
“Sudah beberapa hari ini, Neng Rani kalau salat Subuh lama, Bu,” kata
pembantu yang bernama Lina.
“Lama? Kan salat Subuh setahu saya cuma dua rakaat,” kata Irma.
“Doanya yang lama, Bu. Sampai nangis-nangis,” kata Lina.
Irma terdiam berpikir. Ia akhirnya pergi, kembali menunda niatnya.
Termasuk jam keberangkatannya ke kantor harus ia tunda demi menyampaikan cerita
tentang Abduh.
Ketika Irma datang ke kamar Rani, putrinya itu sedang berkomunikasi
dengan seseorang di telepon. Ia melihat sepasang kelopak mata anaknya bengkak
karena banyak menangis. Irma yang sudah tampil cantik dengan pakaian kantornya,
duduk di samping putrinya di kasur.
“Wa ‘alaikum salam,” ucap Rani
sebagai tanda akhir dari percakapannya di telepon.
“Siapa?” tanya Irma datar.
“Abang Gazza,” jawab Rani seraya tersenyum pada ibunya.
“Siapa dia?” tanya Irma dengan kening berkerut.
“Gazza itu kakaknya Badar, teman sekolah Rina.”
“Oh, Badar. Anak berjilbab yang kayak orang Jepang itu kan. Terus,
hubungan kamu dengan lelaki itu apa?”
“Bang Gazza itu wartawan, Ma. Jadi, Rina dan Badar bantu Rani cari lelaki
yang baik yang mau terima Rani. Coba Mama lihat!”
Rani lalu menunjukkan sebuah foto di ponselnya kepada ibunya. Wajah
seorang pemuda yang tidak lain adalah Awang Setiawan.
“Mirip Amir Khan bintang India itu. Itu yang namanya Gazza?” tanya Irma
lagi.
“Bukan, ini namanya Awang Gunawan. Jadi Bang Gazza tawarkan saya kepada
dia. Menurut Bang Gazza, dia pemuda perantauan. Kerjanya jualan buku dan minyak
wangi. Katanya dia pemuda saleh, agamanya bagus. Rina waktu ke Cileungsi Bogor,
ketemu sama dia,” jelas Rani.
“Ya udah, kamu jadian aja sama dia, mikirin apa lagi,” kata Irma
memotong.
“Bang Gazza sudah cerita lengkap tentang kondisi Rani ke Awang, tapi
Awang sedang mempertimbangkan. Dia awalnya tegas menolak, karena enggak mungkin
dia menikah sama perempuan yang statusnya pezina. Tapi kemudian, dia dan Bang
Gazza mau konsultasi dulu sama beberapa ustaz. Apakah bisa pezina menikah
dengan pria baik-baik?”
“Berapa persen peluangnya?” tanya Irma.
“Lebih besar peluang tidaknya.”
“Mama dari semalam bolak-balik ke kamar kamu, tapi kamu lagi salat
melulu. Ada peminat baru yang mau sama kamu. Kemarin siang, satu pemuda asing
tiba-tiba datang ke Papa di kantornya. Papa baru kali itu ketemu. Tapi dia
sudah pernah ngelihat kamu waktu di rumah Sando. Namanya Abduh. Dia itu anak
dari ibu yang motornya dibegal orang, lalu Sando mau tolongin, tapi malah mati
ditembak. Dia ngakunya laki-laki yang baik, kerjanya kepala pemasaran di
perusahaan sepatu. Kalau kata Papa, orangnya sih ganteng. Tapi sayang, Mama
Papa gak bisa percaya begitu saja, kenal saja tidak pernah,” ujar Irma.
“Lalu?” tanya Rani.
“Papa enggak bisa terima begitu aja dong. Mama malah curiganya penipu.
Mana ada orang yang mau nanggung anak orang lain padahal kenal aja enggak? Tapi
Papa beri kesempatan, karena Papa ada rencana untuk tahu apakah orang itu
penjahat atau benar-benar jujur.”
“Rencana apa?” tanya Rani lagi.
“Papa minta polisi selidiki cowok itu dan kumpulin informasi tentang
dia. Papamu nantang dia. Papa nyuruh dia datang ke rumah kalau dia memang orang
jujur. Kalau dia memang penipu, pasti enggak akan datang. Kalau dia penipu lalu
nekat datang, polisi akan tangkap dia,” jelas Irma.
“Berarti ada empat calon, Ma. Dua teman Rani, Awang dan dia. Tapi yang
ngebet tiga orang,” kata Rani.
“Mudah-mudahan kamu dapat yang terbaik,” ucap Irma seraya membelai
rambut putrinya lalu mengecup keningnya. Setelah itu tampak sepasang mata Irma
merah berkaca-kaca hingga detik kemudian air matanya menetes sealiran.
“Rani sudah siap apa pun yang Allah berikan kepada Rani,” kata Rani.
“Rina sudah berangkat, Ma?”
“Sudah dari tadi.”
“Bang Gazza nanti sekitar jam sepuluh mau datang, memperjelas sikap
Awang, agar jelas dan tidak salah paham,” kata Rani.
“Oh, kalau gitu Mama berangkat siang aja deh, Mama juga mau dengar. Biar
sekalian kenal sama wartawan. Lalu apa hubungannya sama Rina?”
“Rina jatuh cinta sama Bang Gazza, tapi masih bertepuk sebelah hati,”
jawab Rani.
“Oh, gitu.”
Maka, Irma menunda keberangkatannya ke kantor. Ia segera menyuruh
pembantunya untuk membuat makanan jamuan.
Dan memang, jam sepuluh kurang lima menit, datang seorang tamu dengan
bersepeda motor. Seorang pemuda tampan yang masih terbilang sangat muda, masih
20 tahun. Sepasang alisnya cukup tebal, tapi ada bekas luka kecil di alis
kirinya, sedikit mengusik tatanan rambut alisnya. Ia mengenakan jaket hitam dan
bercelana jeans hitam. Sepatunya pun hitam. Termasuk tas ransel yang disandang
punggungnya, juga hitam dan terlihat berat. Ia adalah Fath Gazza, wartawan
sebuah kantor berita Islam.
Langsung Irma sendiri yang membukakan pintu rumah untuk Gazza.
“Assalamu ‘alaikum, Bu!” ucap
Gazza seraya tersenyum ramah.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab
Irma seraya tersenyum ramah pula. “Gazza, ya?”
“Benar, Bu.”
“Kenalkan, mamanya Rani!” kata Irma seraya ulurkan tangan hendak berjabat
tangan.
“Maaf, Bu,” ucap Gazza seraya tempelkan kedua telapak tangannya di depan
dada, menolak berjabat tangan dengan Irma.
“Oh!” kejut Irma dengan senyum yang hilang seketika. Namun, ia segera
paham, karena ia pernah dengar tentang larangan bersentuhan kulit dengan lawan
jenis yang nonmuhrim di dalam ajaran Islam. Akhirnya Irma kembali mengembangkan
senyumnya. “Mari masuk!”
Gazza yang sudah merasakan hawa dingin dari ruangan rumah itu, semakin merasakan
dinginnya suhu setelah melangkah masuk.
“Silakan duduk!” kata Irma tetap ramah sambil menuntun Gazza duduk ke
kursi sofa.
Seiring itu, dari ruangan dalam muncul Rani dengan pakaian berjilbab
warna biru gelap, membuat wajah putih cantiknya terlihat terang bak rembulan
dalam ruangan. Senyumnya sudah mekar mempesona sejak muncul di mata Gazza.
Namun, ada kesan malu di wajah cantik itu dengan sedikit menunduk, seolah Rani
menyadari statusnya yang penuh aib.
“Mirip Rina,” ucap hati Gazza ketika melihat wajah Rani, meski ia dan
Rina baru pernah sekali bertemu.
Pertemuan Gazza dan Rina terjadi saat Rina menjadi tamu adiknya di rumah.
Rani datang langsung kepada Gazza dan mengulurkan tangannya untuk
berjabat tangan. Namun, lagi-lagi Gazza melakukan hal yang sama, yaitu hanya
menempelkan kedua tangannya di depan dada seraya tersenyum. Hal itu membuat
Rani agak kecewa lalu segera tarik tangannya kembali.
“Bukan muhrim, Rani,” kata Irma menegaskan seraya tertawa kecil, membuat
mereka pun saling tertawa.
Rani lalu duduk di sisi ibunya.
Dari dalam muncul Lina membawa nampan kecil. Lina meletakkan tiga piring
nasi goreng spesial yang lengkap, bahkan lebih lengkap dari nasi goreng spesial
yang paling spesial di pinggir jalan. Juga tiga gelas besar es kelapa.
“Subhanallah, Bu!” ucap Gazza
jadi tertawa kecil. Ia tidak menyangka bahwa jam sepuluh pagi sudah disuguhkan
nasi goreng satu porsi orang gemuk, hal yang tidak biasa. “Sebenarnya saya
puasa, Bu, tapi lupa beri tahu.”
“Ini kan hari Selasa, puasa apa, Bang?” tanya Rani.
“Puasa Sya’ban. Sunnahnya, selain Ramadhan, Rasulullah paling banyak
puasa di bulan Sya’ban. Tapi tidak apa-apa sih, saya rasa saya lebih utama
membatalkannya,” kata Gazza.
“Iya, spesial loh Mama yang buat untuk Nak Gazza, sampai Mama gak jadi
berangkat ke kantor pagi-pagi,” kata Irma.
“Aduh, jadi tidak enak nih, jadi sangat merepotkan,” ucap Gazza seraya
tersenyum tanggung.
“Ah, tidak apa-apa. Tamu itu kan harus dimuliakan semulia-mulianya, apa
lagi tamunya orang baik,” kata Irma.
Gazza tertawa membenarkan.
“Nak Gazza wartawan di media mana?” tanya Irma.
“Kantor berita Islam Mi’raj, skala internasional dengan tiga bahasa,
Bu,” jawab Gazza.
“Wow, keren banget!” puji Irma. “Gajinya gede dong.”
“Yaaa, alhamdulillah, Bu,
namanya juga media perjuangan untuk kejayaan muslimin dan Islam, pasti Allah
berikan bayaran yang sangat mahal nanti di akhirat. Masih seumur jagung, baru
tahun keempat,” kata Gazza merendah.
“Nak Gazza bisa saja,” kata Irma seraya tertawa.
“Bagaimana jika makannya setelah saya sampaikan maksud saya kepada Ibu
dan Rani? Sebab, makanan ini pasti akan sangat mengenyangkan, Bu,” tawar Gazza.
“Ya, tidak apa-apa, sambil menunggu agak dingin,” kata Irma.
“Tadi pagi saya menelepon Rani menyampaikan apa yang telah disampaikan
Awang kepada saya di hari-hari sebelumnya. Alhamdulillah,
Awang pada jam sembilan menelepon saya, menyampaikan keputusannya setelah ia
berkonsultasi dengan beberapa ustaz. Dan sekarang ingin saya sampaikan
keputusan Awang terhadap apa yang saya tawarkan kepadanya. Awang bersedia
menikah dengan Rani dan akan mengasuh bayi yang nanti lahir, tapi dengan syarat
yang Rani harus penuhi,” ujar Gazza lalu berhenti berkata.
“Syarat apa, Bang?” tanya Rani yang usianya sama dengan Gazza.
“Syaratnya Rani harus bersih dulu dari status pezina. Untuk tobat dari
dosa zina caranya memang khusus. Memang ada beberapa pendapat atau penafsiran.
Namun, Awang memutuskan untuk mengikuti apa yang telah disebutkan di dalam
Al-Quran dan hadits yang kuat. Rani harus lebih dulu melahirkan bayinya.
Kemudian setelah sehat, dihukum jilid atau dicambuk seratus kali oleh orang
yang berwenang. Setelah itu, barulah Awang akan menikahi Rani. Jika sudah
menikah, Rani harus diasingkan selama dua tahun ke luar daerah atau pulau, dan
suaminya mengikuti. Hanya itu yang bisa membuat Awang mau menikah dengan Rani.
Jika Rani bersedia, Awang akan segera datang melamar, tapi tidak boleh
disiarkan,” jelas Gazza.
“Oh, enggak, enggak!” ucap Irma lebih dulu menanggapi, wajahnya berubah
sinis, menunjukkan tidak setuju dengan syarat yang diajukan.
Sementara Rani diam tertunduk. Muncul suara isak samar yang menunjukkan
ia menangis.
“Lebih baik jangan dia, Rani,” kata Irma lalu merangkul bahu putrinya.
“Enggak mungkin kamu dihukum sekejam itu.”
“Maaf, Bu. Itu bukan kejam, tapi itu bagian dari cara Allah yang penuh
rahmat untuk melindungi umat manusia dari kehancuran moral dan kesucian nasab.
Dan sudah menjadi aturan yang Allah bakukan bahwa cara bagi pezina untuk bersih
dari dosa zinanya demikian,” kata Gazza.
“Ya tapi enggak adil dong, Nak Gazza. Masa sekian juta pelaku zina di
dunia ini bebas tanpa hukuman berat seperti itu tetap hidup normal tanpa
masalah, tapi giliran anak Mama, tuntutannya seperti itu? Enggak enggak enggak,
Mama enggak bakal setuju dengan cara seperti itu, Rani. Bisa stroke jantung Mama kalau kamu pilih si
Awang itu, Rani!” ujar Irma dengan nada agak tinggi dan raut wajah tergurat
kekesalan.
“Maaf, Bu, saya tidak akan mendebat Ibu dan Rani tentang masalah ini,
saya hanya menyampaikan apa yang diputuskan oleh sahabat saya yang bernama
Awang. Setelah ini, lebih baik Rani pikiran matang-matang dulu, jangan langsung
putuskan. Mungkin setelah salat istikharah, salat meminta pilihan, Rani silakan
kabari saya. Apa pun keputusannya. Menolak pun tidak jadi masalah bagi Awang,
karena kami semua mengerti itu adalah pilihan yang sangat berat,” kata Gazza
sekaligus mencoba meredakan emosi Irma.
“Iya, nanti Rani akan mengabari keputusan Rani,” jawab Rani mengangguk,
tangisnya sudah reda dan ia berani memandang Gazza kembali.
“Kenapa bukan Nak Gazza saja yang melamar Rani?” tanya Irma.
Pertanyaan itu cukup membuat Gazza tercekat, serasa ada tembakan yang
mengenai jantungnya, membuat ia tersenyum kikuk.
“Mama!” sebut Rani sambil menyikut pelan lengan mamanya, ada ekspresi
malu yang ditunjukkannya.
“Kalau Allah jodohkan, insya Allah
pasti ketemu, Bu. Namun, saya merasa, saya yang masih terlalu jauh,” kata Gazza
seraya tersenyum paksa, membuat Irma kembali tertawa rendah.
“Ayo, Nak Gazza, kita makan, kebetulan saya juga belum sarapan!” ajak Irma.
“Rani juga harus makan, wajib temani tamu.”
“Iya, Ma,” jawab Rani yang bagi Irma, anaknya itu telah sangat berubah.
Sejak kejadian yang Irma anggap sebagai musibah besar ini, Irma melihat
“keliaran” yang ada pada pribadi Rani selama ini telah lenyap, berganti dengan
pribadi yang diam dan pemalu. “Mungkin karena beban aib yang dipikulnya”,
itulah dugaan Irma kepada anaknya.
“Mama minta nomor teleponnya loh, Nak Gazza. Siapa yang tahu, jika nanti
usaha Mama ini mau go internasional,
kan tinggal telepon Nak Gazza untuk diberitakan ke tiga bahasa. Bahasa apa saja
sih medianya?” kata Irma sambil mengaduk-aduk nasi di piringnya.
“Indonesia, Inggris dan Arab. Yang prioritas adalah versi Arab, karena
perjuangan kami lebih fokus ke Palestina dan Timur Tengah, Bu. Ibu bisa
kunjungi alamatnya di Mirajnews.com,”
jawab Gazza.
Irma segera membuka layar ponselnya untuk masuk ke media yang Gazza
sebutkan tadi.
“Jika Ibu berniat donasi sangat bisa, sebab ini media perjuangan Islam
yang hampir seratus persen dana operasionalnya berasal dari donasi umat,”
tambah Gazza.
“Oh gitu, berkah dong,” ucap Irma kagum. (RH)
Berlanjut: Tantangan Besar dari Botol Bir (18)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar