Syarat Berat untuk Rani (17)

Ilustrasi
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:
Fastabiqul Khaerat Sepasang Naga Pemabuk (12)
Geng Muslimah Bintang Tujuh (13)

Jam di malam itu sudah menunjukkan pukul 21.15 WIB. Irma Lulubana baru saja tiba di rumah. Meski ada kelelahan yang ia rasakan, ibu berambut pendek ini langsung menuju ke kamar putri sulungnya, Rani.


Pintu kamar yang tertutup ternyata tidak dikunci. Namun, Irma hanya masuk selangkah. Dilihatnya di dalam kamar yang mengoleksi banyak macam boneka itu, Rani dengan bermukena putih sedang berdiri salat. Irma hanya menaikkan kedua alisnya. Irma memilih keluar dan pergi ke kamarnya.

Irma punya niat akan menyampaikan cerita penting dari suaminya untuk Rani. Saat ini, Dedy Sirana selaku kepala rumah tangga dalam keluarga itu belum pulang.

Siang tadi, Dedy tak menyangka akan kedatangan seorang tamu tidak ia kenal di kantornya. Awalnya ia menolak bertemu tamu itu karena tidak kenal dan tidak ada janji sebelumnya. Tapi karena tamu yang adalah seorang pemuda tersebut mengatakan “sangat penting” terkait masalah Rani, Dedy pun akhirnya bersedia menemuinya. Tamu itu tidak lain adalah Abduh, anak dari Nurrahmah.

Dedy telah mengosongkan ruang kantornya dari orang lain selain mereka berdua, karena Abduh mengatakan ingin bicara penting dan sangat pribadi. Dedy duduk santai di sofa empuknya dengan kaki kanan yang bersepatu hitam mengkilap bersih naik ke paha kiri. Abduh duduk agak tegang di kursi sofa ujung meja satunya.

Setelah memperkenalkan dirinya dan nama orang tuanya, serta pekerjaannya sebagai kepala pemasaran sebuah perusahaan sepatu, Abduh pun langsung menyampaikan maksudnya. Ia menceritakan peristiwa pembegalan yang terjadi terhadap ibunya yang kemudian dalam insiden itu, Sando, pacar anak sulungnya Dedy, tewas ditembak begal.

“Karena ada perasaan bersalah yang sangat mendalam dari ibu saya, kemudian tahu bahwa anak Bapak ternyata sedang mengandung anak almarhum, jadi Ibu sangat meminta saya untuk jadi pengganti dari Sando. Yaitu mencoba meminang anak Bapak dan bersedia mengasuh dan membesarkan anaknya kelak. Karena itulah saya beranikan diri untuk terlebih dulu menemui Bapak sebagai orang tuanya.”

“Hmm,” gumam Dedy manggut-manggut seraya terus memandangi wajah Abduh. Lalu tanyanya, “Rani kenal kamu?”

“Enggak, Pak. Saya baru sekali melihat Rani, waktu di rumah Sando di hari pemakaman.”

“Terus terang ya, Dik, aku merasa sangat tercoreng dan marah dengan apa yang terjadi sama Rani. Aku hanya berharap satu, yaitu anakku itu dapat suami yang saleh. Titik. Tapi yang jadi masalahnya, aku dan keluarga enggak kenal kamu, kepribadian kamu. Oke-lah di hari pertama kita bertemu dan bicara seperti saat ini, kamu menunjukkan sikap sopan dan baik dengan pembicaraan yang baik dan bahasa yang santun, tapi itu sangat bukan jadi jaminan. Aku juga enggak mau direpotkan harus mencari tahu sendiri tentang siapa kamu atau siapa keluarga kamu,” ujar Dedy menanggapi maksud Abduh.

Dedy berhenti bicara, seolah memberi giliran kepada Abduh untuk berkata. Ternyata Abduh pun diam. Ia tampak berpikir. Dalam hati ia membenarkan perkataan pengusaha hotel itu. Abduh jelas orang asing di mata Dedy dan keluarganya, bertemu dan berkomunikasi pun baru saat ini.

“Sepertinya kamu bingung untuk meyakinkan aku,” kata Dedy menyimpulkan. Ia menyingkap ujung tangan kemeja putihnya, melihat jam emas yang melingkar. “Maaf, aku rasa cukup. Aku harap kamu bukan penipu yang memanfaatkan kondisi Rani.”

Dedy berdiri sebagai tanda pembicaraan telah selesai dan Abduh secara tidak langsung diminta pergi.
Abduh berdiri dengan perasaan kecewa, karena merasa gagal.

“Saya izin, Pak, dan terima kasih. Maafkan saya jika sudah mengganggu waktu Bapak!” ucap Abduh.
Dedy hanya mengangguk tanpa senyum. Mereka lalu berjabat tangan. Abduh berjalan menuju pintu.
“Tapi, kalau kamu memang jujur!” kata Dedy agak keras, membuat Abduh berhenti dan berbalik memandang Dedy. “Tiga hari lagi datanglah langsung ke rumahku!”

“Oh!” kejut Abduh, lalu tersenyum. Kemudian jawabnya, “Iya, Pak, insya Allah, insya Allah. Assalamu ‘alaikum!

Usai mendapat tamu tak diduga itu, Dedy menelepon istrinya dan menceritakan tentang kedatangan Abduh yang bagi keluarga mereka adalah orang asing.

“Mama juga jadi curiga, Pa. Bisa jadi dia mengincar uang kita,” kata Irma di telepon menanggapi cerita suaminya.

“Papa ada rencana buat orang itu,” kata Dedy.

Cerita munculnya calon baru itulah yang ingin Irma sampaikan kepada Rani. Usai mandi dan berganti pakaian, Irma kembali pergi ke kamar Rani. Namun, Irma kembali harus menahan langkah di pintu kamar anaknya. Ia mendapati Rani duduk khusyuk ke arah kiblat membelakanginya. Rani masih lengkap dengan mukenanya, kedua tangannya terangkat berdoa. Namun, tidak ada bacaan doa yang terdengar selain suara tangis yang sangat dalam. Terlihat tubuh Rani berguncang-guncang oleh tangisannya.

Melihat pemandangan itu, tak terasa dengan cepat perasaan sedih menjalar di hati Irma. Ia dengan gerak pelan keluar dan menutup pintu. Sementara air matanya ikut berderai tanpa suara. Irma memilih untuk menunda niatnya. Padahal saat itu sudah pukul 22.30 WIB. Itu menunjukkan bahwa Rani cukup lama menghadap kepada Rabb-nya melakukan pengakuan dosa.

“Bagaimana?” tanya Dedy kepada istrinya, ketika ia pulang jam satu dini hari.

Irma yang sudah tidur sejak dua jam yang lalu, bangun dengan wajah mengerenyit.

“Mama belum sampaikan ke Rani,” jawab Irma dengan suara lemah. “Kayaknya Rani benar-benar tobat, Pa.”

“Ah?” tanya Dedy sambil berhenti membuka kancing kemejanya. “Maksud Mama?”

“Rani benaran tobat. Pertama Mama ke kamarnya, dia sedang salat. Terus sejam kemudian Mama ke kamarnya lagi, masih salat sambil nangis kejer,” jelas Irma.

“Baguslah. Berarti calon suaminya nanti memang harus orang bagus,” kata Dedy.

Beberapa jam kemudian, di waktu pascawaktu salat Subuh, Irma pergi ke kamar Rani. Pintu kamarnya dikunci.

“Rani!” panggil Irma sambil memberi beberapa kali ketukan.

Tidak ada sahutan dari dalam.

“Ran, Rani!” panggil Irma lagi, lebih keras.

Namun, tetap tidak ada tanggapan dari dalam kamar.

Seorang pembantu perempuan menghampiri Irma.

“Sudah beberapa hari ini, Neng Rani kalau salat Subuh lama, Bu,” kata pembantu yang bernama Lina.

“Lama? Kan salat Subuh setahu saya cuma dua rakaat,” kata Irma.

“Doanya yang lama, Bu. Sampai nangis-nangis,” kata Lina.

Irma terdiam berpikir. Ia akhirnya pergi, kembali menunda niatnya. Termasuk jam keberangkatannya ke kantor harus ia tunda demi menyampaikan cerita tentang Abduh.

Ketika Irma datang ke kamar Rani, putrinya itu sedang berkomunikasi dengan seseorang di telepon. Ia melihat sepasang kelopak mata anaknya bengkak karena banyak menangis. Irma yang sudah tampil cantik dengan pakaian kantornya, duduk di samping putrinya di kasur.

Wa ‘alaikum salam,” ucap Rani sebagai tanda akhir dari percakapannya di telepon.

“Siapa?” tanya Irma datar.

“Abang Gazza,” jawab Rani seraya tersenyum pada ibunya.

“Siapa dia?” tanya Irma dengan kening berkerut.

“Gazza itu kakaknya Badar, teman sekolah Rina.”

“Oh, Badar. Anak berjilbab yang kayak orang Jepang itu kan. Terus, hubungan kamu dengan lelaki itu apa?”

“Bang Gazza itu wartawan, Ma. Jadi, Rina dan Badar bantu Rani cari lelaki yang baik yang mau terima Rani. Coba Mama lihat!”

Rani lalu menunjukkan sebuah foto di ponselnya kepada ibunya. Wajah seorang pemuda yang tidak lain adalah Awang Setiawan.

“Mirip Amir Khan bintang India itu. Itu yang namanya Gazza?” tanya Irma lagi.

“Bukan, ini namanya Awang Gunawan. Jadi Bang Gazza tawarkan saya kepada dia. Menurut Bang Gazza, dia pemuda perantauan. Kerjanya jualan buku dan minyak wangi. Katanya dia pemuda saleh, agamanya bagus. Rina waktu ke Cileungsi Bogor, ketemu sama dia,” jelas Rani.

“Ya udah, kamu jadian aja sama dia, mikirin apa lagi,” kata Irma memotong.

“Bang Gazza sudah cerita lengkap tentang kondisi Rani ke Awang, tapi Awang sedang mempertimbangkan. Dia awalnya tegas menolak, karena enggak mungkin dia menikah sama perempuan yang statusnya pezina. Tapi kemudian, dia dan Bang Gazza mau konsultasi dulu sama beberapa ustaz. Apakah bisa pezina menikah dengan pria baik-baik?”

“Berapa persen peluangnya?” tanya Irma.

“Lebih besar peluang tidaknya.”

“Mama dari semalam bolak-balik ke kamar kamu, tapi kamu lagi salat melulu. Ada peminat baru yang mau sama kamu. Kemarin siang, satu pemuda asing tiba-tiba datang ke Papa di kantornya. Papa baru kali itu ketemu. Tapi dia sudah pernah ngelihat kamu waktu di rumah Sando. Namanya Abduh. Dia itu anak dari ibu yang motornya dibegal orang, lalu Sando mau tolongin, tapi malah mati ditembak. Dia ngakunya laki-laki yang baik, kerjanya kepala pemasaran di perusahaan sepatu. Kalau kata Papa, orangnya sih ganteng. Tapi sayang, Mama Papa gak bisa percaya begitu saja, kenal saja tidak pernah,” ujar Irma.

“Lalu?” tanya Rani.

“Papa enggak bisa terima begitu aja dong. Mama malah curiganya penipu. Mana ada orang yang mau nanggung anak orang lain padahal kenal aja enggak? Tapi Papa beri kesempatan, karena Papa ada rencana untuk tahu apakah orang itu penjahat atau benar-benar jujur.”

“Rencana apa?” tanya Rani lagi.

“Papa minta polisi selidiki cowok itu dan kumpulin informasi tentang dia. Papamu nantang dia. Papa nyuruh dia datang ke rumah kalau dia memang orang jujur. Kalau dia memang penipu, pasti enggak akan datang. Kalau dia penipu lalu nekat datang, polisi akan tangkap dia,” jelas Irma.

“Berarti ada empat calon, Ma. Dua teman Rani, Awang dan dia. Tapi yang ngebet tiga orang,” kata Rani.

“Mudah-mudahan kamu dapat yang terbaik,” ucap Irma seraya membelai rambut putrinya lalu mengecup keningnya. Setelah itu tampak sepasang mata Irma merah berkaca-kaca hingga detik kemudian air matanya menetes sealiran.

“Rani sudah siap apa pun yang Allah berikan kepada Rani,” kata Rani. “Rina sudah berangkat, Ma?”
“Sudah dari tadi.”

“Bang Gazza nanti sekitar jam sepuluh mau datang, memperjelas sikap Awang, agar jelas dan tidak salah paham,” kata Rani.

“Oh, kalau gitu Mama berangkat siang aja deh, Mama juga mau dengar. Biar sekalian kenal sama wartawan. Lalu apa hubungannya sama Rina?”

“Rina jatuh cinta sama Bang Gazza, tapi masih bertepuk sebelah hati,” jawab Rani.

“Oh, gitu.”

Maka, Irma menunda keberangkatannya ke kantor. Ia segera menyuruh pembantunya untuk membuat makanan jamuan.

Dan memang, jam sepuluh kurang lima menit, datang seorang tamu dengan bersepeda motor. Seorang pemuda tampan yang masih terbilang sangat muda, masih 20 tahun. Sepasang alisnya cukup tebal, tapi ada bekas luka kecil di alis kirinya, sedikit mengusik tatanan rambut alisnya. Ia mengenakan jaket hitam dan bercelana jeans hitam. Sepatunya pun hitam. Termasuk tas ransel yang disandang punggungnya, juga hitam dan terlihat berat. Ia adalah Fath Gazza, wartawan sebuah kantor berita Islam.

Langsung Irma sendiri yang membukakan pintu rumah untuk Gazza.

Assalamu ‘alaikum, Bu!” ucap Gazza seraya tersenyum ramah.

Wa ‘alaikum salam,” jawab Irma seraya tersenyum ramah pula. “Gazza, ya?”

“Benar, Bu.”

“Kenalkan, mamanya Rani!” kata Irma seraya ulurkan tangan hendak berjabat tangan.

“Maaf, Bu,” ucap Gazza seraya tempelkan kedua telapak tangannya di depan dada, menolak berjabat tangan dengan Irma.

“Oh!” kejut Irma dengan senyum yang hilang seketika. Namun, ia segera paham, karena ia pernah dengar tentang larangan bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang nonmuhrim di dalam ajaran Islam. Akhirnya Irma kembali mengembangkan senyumnya. “Mari masuk!”

Gazza yang sudah merasakan hawa dingin dari ruangan rumah itu, semakin merasakan dinginnya suhu setelah melangkah masuk.

“Silakan duduk!” kata Irma tetap ramah sambil menuntun Gazza duduk ke kursi sofa.

Seiring itu, dari ruangan dalam muncul Rani dengan pakaian berjilbab warna biru gelap, membuat wajah putih cantiknya terlihat terang bak rembulan dalam ruangan. Senyumnya sudah mekar mempesona sejak muncul di mata Gazza. Namun, ada kesan malu di wajah cantik itu dengan sedikit menunduk, seolah Rani menyadari statusnya yang penuh aib.

“Mirip Rina,” ucap hati Gazza ketika melihat wajah Rani, meski ia dan Rina baru pernah sekali bertemu.

Pertemuan Gazza dan Rina terjadi saat Rina menjadi tamu adiknya di rumah.

Rani datang langsung kepada Gazza dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Namun, lagi-lagi Gazza melakukan hal yang sama, yaitu hanya menempelkan kedua tangannya di depan dada seraya tersenyum. Hal itu membuat Rani agak kecewa lalu segera tarik tangannya kembali.

“Bukan muhrim, Rani,” kata Irma menegaskan seraya tertawa kecil, membuat mereka pun saling tertawa.

Rani lalu duduk di sisi ibunya.

Dari dalam muncul Lina membawa nampan kecil. Lina meletakkan tiga piring nasi goreng spesial yang lengkap, bahkan lebih lengkap dari nasi goreng spesial yang paling spesial di pinggir jalan. Juga tiga gelas besar es kelapa.

Subhanallah, Bu!” ucap Gazza jadi tertawa kecil. Ia tidak menyangka bahwa jam sepuluh pagi sudah disuguhkan nasi goreng satu porsi orang gemuk, hal yang tidak biasa. “Sebenarnya saya puasa, Bu, tapi lupa beri tahu.”

“Ini kan hari Selasa, puasa apa, Bang?” tanya Rani.

“Puasa Sya’ban. Sunnahnya, selain Ramadhan, Rasulullah paling banyak puasa di bulan Sya’ban. Tapi tidak apa-apa sih, saya rasa saya lebih utama membatalkannya,” kata Gazza.

“Iya, spesial loh Mama yang buat untuk Nak Gazza, sampai Mama gak jadi berangkat ke kantor pagi-pagi,” kata Irma.

“Aduh, jadi tidak enak nih, jadi sangat merepotkan,” ucap Gazza seraya tersenyum tanggung.

“Ah, tidak apa-apa. Tamu itu kan harus dimuliakan semulia-mulianya, apa lagi tamunya orang baik,” kata Irma.

Gazza tertawa membenarkan.

“Nak Gazza wartawan di media mana?” tanya Irma.

“Kantor berita Islam Mi’raj, skala internasional dengan tiga bahasa, Bu,” jawab Gazza.

“Wow, keren banget!” puji Irma. “Gajinya gede dong.”

“Yaaa, alhamdulillah, Bu, namanya juga media perjuangan untuk kejayaan muslimin dan Islam, pasti Allah berikan bayaran yang sangat mahal nanti di akhirat. Masih seumur jagung, baru tahun keempat,” kata Gazza merendah.

“Nak Gazza bisa saja,” kata Irma seraya tertawa.

“Bagaimana jika makannya setelah saya sampaikan maksud saya kepada Ibu dan Rani? Sebab, makanan ini pasti akan sangat mengenyangkan, Bu,” tawar Gazza.

“Ya, tidak apa-apa, sambil menunggu agak dingin,” kata Irma.

“Tadi pagi saya menelepon Rani menyampaikan apa yang telah disampaikan Awang kepada saya di hari-hari sebelumnya. Alhamdulillah, Awang pada jam sembilan menelepon saya, menyampaikan keputusannya setelah ia berkonsultasi dengan beberapa ustaz. Dan sekarang ingin saya sampaikan keputusan Awang terhadap apa yang saya tawarkan kepadanya. Awang bersedia menikah dengan Rani dan akan mengasuh bayi yang nanti lahir, tapi dengan syarat yang Rani harus penuhi,” ujar Gazza lalu berhenti berkata.

“Syarat apa, Bang?” tanya Rani yang usianya sama dengan Gazza.

“Syaratnya Rani harus bersih dulu dari status pezina. Untuk tobat dari dosa zina caranya memang khusus. Memang ada beberapa pendapat atau penafsiran. Namun, Awang memutuskan untuk mengikuti apa yang telah disebutkan di dalam Al-Quran dan hadits yang kuat. Rani harus lebih dulu melahirkan bayinya. Kemudian setelah sehat, dihukum jilid atau dicambuk seratus kali oleh orang yang berwenang. Setelah itu, barulah Awang akan menikahi Rani. Jika sudah menikah, Rani harus diasingkan selama dua tahun ke luar daerah atau pulau, dan suaminya mengikuti. Hanya itu yang bisa membuat Awang mau menikah dengan Rani. Jika Rani bersedia, Awang akan segera datang melamar, tapi tidak boleh disiarkan,” jelas Gazza.

“Oh, enggak, enggak!” ucap Irma lebih dulu menanggapi, wajahnya berubah sinis, menunjukkan tidak setuju dengan syarat yang diajukan.

Sementara Rani diam tertunduk. Muncul suara isak samar yang menunjukkan ia menangis.

“Lebih baik jangan dia, Rani,” kata Irma lalu merangkul bahu putrinya. “Enggak mungkin kamu dihukum sekejam itu.”

“Maaf, Bu. Itu bukan kejam, tapi itu bagian dari cara Allah yang penuh rahmat untuk melindungi umat manusia dari kehancuran moral dan kesucian nasab. Dan sudah menjadi aturan yang Allah bakukan bahwa cara bagi pezina untuk bersih dari dosa zinanya demikian,” kata Gazza.

“Ya tapi enggak adil dong, Nak Gazza. Masa sekian juta pelaku zina di dunia ini bebas tanpa hukuman berat seperti itu tetap hidup normal tanpa masalah, tapi giliran anak Mama, tuntutannya seperti itu? Enggak enggak enggak, Mama enggak bakal setuju dengan cara seperti itu, Rani. Bisa stroke jantung Mama kalau kamu pilih si Awang itu, Rani!” ujar Irma dengan nada agak tinggi dan raut wajah tergurat kekesalan.

“Maaf, Bu, saya tidak akan mendebat Ibu dan Rani tentang masalah ini, saya hanya menyampaikan apa yang diputuskan oleh sahabat saya yang bernama Awang. Setelah ini, lebih baik Rani pikiran matang-matang dulu, jangan langsung putuskan. Mungkin setelah salat istikharah, salat meminta pilihan, Rani silakan kabari saya. Apa pun keputusannya. Menolak pun tidak jadi masalah bagi Awang, karena kami semua mengerti itu adalah pilihan yang sangat berat,” kata Gazza sekaligus mencoba meredakan emosi Irma.

“Iya, nanti Rani akan mengabari keputusan Rani,” jawab Rani mengangguk, tangisnya sudah reda dan ia berani memandang Gazza kembali.

“Kenapa bukan Nak Gazza saja yang melamar Rani?” tanya Irma.

Pertanyaan itu cukup membuat Gazza tercekat, serasa ada tembakan yang mengenai jantungnya, membuat ia tersenyum kikuk.

“Mama!” sebut Rani sambil menyikut pelan lengan mamanya, ada ekspresi malu yang ditunjukkannya.

“Kalau Allah jodohkan, insya Allah pasti ketemu, Bu. Namun, saya merasa, saya yang masih terlalu jauh,” kata Gazza seraya tersenyum paksa, membuat Irma kembali tertawa rendah.

“Ayo, Nak Gazza, kita makan, kebetulan saya juga belum sarapan!” ajak Irma. “Rani juga harus makan, wajib temani tamu.”

“Iya, Ma,” jawab Rani yang bagi Irma, anaknya itu telah sangat berubah.

Sejak kejadian yang Irma anggap sebagai musibah besar ini, Irma melihat “keliaran” yang ada pada pribadi Rani selama ini telah lenyap, berganti dengan pribadi yang diam dan pemalu. “Mungkin karena beban aib yang dipikulnya”, itulah dugaan Irma kepada anaknya.

“Mama minta nomor teleponnya loh, Nak Gazza. Siapa yang tahu, jika nanti usaha Mama ini mau go internasional, kan tinggal telepon Nak Gazza untuk diberitakan ke tiga bahasa. Bahasa apa saja sih medianya?” kata Irma sambil mengaduk-aduk nasi di piringnya.

“Indonesia, Inggris dan Arab. Yang prioritas adalah versi Arab, karena perjuangan kami lebih fokus ke Palestina dan Timur Tengah, Bu. Ibu bisa kunjungi alamatnya di Mirajnews.com,” jawab Gazza.
Irma segera membuka layar ponselnya untuk masuk ke media yang Gazza sebutkan tadi.

“Jika Ibu berniat donasi sangat bisa, sebab ini media perjuangan Islam yang hampir seratus persen dana operasionalnya berasal dari donasi umat,” tambah Gazza.

“Oh gitu, berkah dong,” ucap Irma kagum. (RH)



Berlanjut: Tantangan Besar dari Botol Bir (18)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar