Penantang yang Luluh (19)

Ilustrasi
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:

Tanpa ada janji sebelumnya, kedua motor laki itu berhenti bersamaan di depan pintu gerbang rumah pengusaha hotel Dedy Sirana yang punya anak bernama Rani, Rina dan Roni. Kedua motor itu datang dari arah yang berbeda dan bertemu di tempat yang sama.


Kedua pria yang wajahnya tertutup helm besar tersebut jadi saling pandang, seolah saling curiga.

Assalamu ‘alaikum!

Kesan saling curiga yang tergambar seketika pupus ketika pria bermotor Byson mengucapkan salam. Pria itu tidak lain adalah Fito, seorang penantang yang ingin menikahi Rani.

Wa ‘alaikum salam,” jawab pria bermotor Ninja hijau yang adalah Abduh, pemuda yang juga ingin menikahi Rani tapi lewat jalur ayahnya.

Tet teet!

Seorang dari mereka membunyikan klakson. Tak berapa lama, muncullah seorang pemuda yang bernama Iwan mendatangi kedua tamu itu, tapi berhenti sebatas di balik pintu.

“Mau bertemu siapa, Pak?” tanya Iwan kepada kedua pria di atas motor.

“Pak Dedy,” jawab Abduh.

“Saya mau ketemu Rani, sudah janji,” jawab Fito pula.

Tanpa bertanya lagi, Iwan segera membuka gerbang. Kedua motor pun masuk.

Tampak di halaman, mobil mewah merek Rush parkir bersama sebuah mobil polisi. Mobil Toyota Rush menunjukkan bahwa Dedy Sirana ada di rumah. Sedangkan keberadaan mobil polisi menimbulkan pertanyaan bagi kedua tamu itu.

Setelah keduanya membuka helm, barulah tampak wajah tampan kedua pemuda itu.

“Abduh,” kata Abduh memperkenalkan diri kepada Fito seraya mengulurkan tangan.

“Fito,” kata Fito menyambut ramah jabatan tangan Abduh.

Keduanya pun membuka jaket yang mereka kenakan, sehingga tampaklah bahwa keduanya mengenakan pakaian takwa, alias baju koko.

Assalamu ‘alaikum!” salam Fito di teras rumah.

Wa ‘alaikum salam!” jawab suara seorang wanita dari dalam rumah.

Saat pintu dibuka, hawa dingin pendingin ruangan seketika menyeruak keluar. Sosok anggun nan cantik seorang gadis berjilbab putih berdiri dengan senyum manis.

Fito tahu, itu bukan Rani, melainkan Rina, adik Rani. Sementara Abduh tidak mengenal gadis yang membuka pintu untuk mereka.

Informasi bahwa akan datang para kandidat calon suami kakaknya, membuat Rina mengkhususkan diri untuk izin tidak masuk sekolah hari itu, dengan dalih “acara lamaran kakak”.

Sejak pagi, Rina yang punya status mantan gadis bandel, menyibukkan diri bersama mama dan para pembantunya.

Mengenai Fito, Rina mengenalnya. Tapi tidak kepada Abduh, barulah pertama kali ini ia bertemu pemuda itu.

“Bang Fito ingin bertemu dengan Kak Rani?” tanya Rina dengan senyum ramahnya.

“Ya. Tapi, jika Bapak dan Ibu ada, saya lebih baik bertemu dengan mereka,” jawab Fito agak kikuk.

“Kalau abang yang satunya?” tanya Rina kepada Abduh.

“Nama saya Abduh, mau bertemu dengan Bapak,” jawab Abduh.

“Silakan masuk,” kata Rina seraya memberi keluasan jalan.

Kedua pemuda tampan itu pun melangkah masuk.

“Bapak di sana,” tunjuk Rina ke arah kursi tamu dekat tangga menuju lantai dua rumah itu.

Di sofa tamu, tampak Dedy Sirana sedang berbincang dengan dua orang pria berjaket kulit hitam yang tidak diresleting. Lelaki yang lebih muda berpotongan rambut seperti aparat dan memiliki lengan yang besar. Sementara pria yang lebih tua berperut agak gendut dan berambut gondrong sebahu. Ia memelihara kumis tipis.

Abduh dan Fito mendatangi dan menyalami Dedy Sirana dan kedua tamunya. Meski kedua tamu Dedy berpakaian biasa, tapi baik Abduh dan Fito dapat menebak bahwa kedua tamu itu adalah polisi.
“Silakan duduk!” kata Dedy.

Abduh dan Fito duduk di kursi yang masih kosong. Sementara di meja telah penuh dengan hidangan makanan dan minuman.

Di sisi lain, Rina memilih duduk di anak tangga, tidak jauh dari mereka. Sangat jelas bahwa ia ingin tahu apa yang akan dibicarakan dan apa yang akan terjadi.

Dari sisi dalam rumah muncul nyonya rumah, yaitu Irma Lulubana dengan dandanan yang cantik untuk wanita seusianya.

Melihat kemunculan istrinya, Dedy segera berkata, “Panggil Rani, tamunya sudah datang!”

Tanpa menjawab, Irma berbalik kembali masuk ke dalam.

“Baik, Pak, saya rasa urusan kami sudah selesai. Kami memiliki tugas yang lain,” kata pria gondrong kepada Dedy Sirana.

“Terima kasih banyak sudah membantu, Rus,” ucap Dedy seraya tersenyum.

Polisi gondrong bernama Rusli itu bangkit yang diikuti oleh rekannya. Keduanya menjabat tangan Dedy.

“Rin, sesekali main ke rumah Om, ya!” kata Rusli kepada Rina tanpa menghampirinya.

Insya Allah, Om!” sahut Rina seraya tersenyum manis kepada Rusli dan temannya.

Dedy mengantar kedua tamunya hingga teras. Sementara Abduh dan Fito duduk menunggu.

Dari ruangan dalam muncul seorang wanita yang bekerja sebagai pembantu. Ia membawa minuman untuk dua tamu yang baru datang.

Tidak berapa lama, Irma muncul bersama Rani yang mengenakan pakaian  putih kuning dan berjilbab kuning. Rani berjalan dengan wajah tertunduk, seperti gadis pingitan dengan  rasa malu yang tinggi.

“Ya Allah, dia bukan Rani yang dulu, dia bukan Rani ...” membatin Fito.

Terakhir kali Fito melihat Rani adalah di hari pemakaman Sando. Sebelum-sebelumnya, Rani bukan wanita pemalu yang berjalan menundukkan wajah.

“Beban batinnya pasti begitu berat,” ucap Fito dalam hati menyimpulkan.

Berbeda kata hati Abduh ketika melihat kemunculan Rani.

Subhanallah, apakah wanita secantik ini benar-benar memiliki aib perzinaan?” ucap hati Abduh. “Terlalu malang nasibnya ....”

“Kenalkan, Irma, mamanya Rani,” kata Irma ramah seraya menyalami kedua tamunya yang ganteng-ganteng.

“Fito, Tante.”

“Saya Abduh.”

Sementara Rani langsung duduk di kursi. Wajahnya terus menunduk.

Fito yang sangat mengenal sosok Rani, dalam hati benar-benar dibuat bingung. Dulu, jika bertemu dengannya, Rani langsung menyapanya, bahkan tidak sungkan menepuk bahunya. Ingin rasanya ia menyapa Rani sebagaimana yang biasa ia lakukan, tapi ia menahan diri, terlebih ini ada di depan orang tua Rani.

Mereka yang ada di kursi tidak tahu, Rina yang duduk di tangga tiba-tiba memalingkan wajahnya ke arah lain, seolah khawatir jika terlihat oleh mereka. Rina menyeka matanya dengan kain lengan baju biru mudanya. Perasaan sedih tiba-tiba menyeruak di dadanya ketika melihat sikap yang ditunjukkan kakaknya di depan kedua pemuda itu. Rina menarik napas dalam-dalam untuk menekan gejolak perasaan yang membuatnya ingin menangis. Bahkan air mata sudah menggenang di tepian lingkar mata gadis cantik itu, karenanya ia buru-buru menyeka matanya.

“Rani dulu liar kayak gua, tapi karena dosa itu dia tunduk seperti perempuan yang enggak berani melihat orang lain, enggak berani melihat dunia,” membatin Rina.

Rina segera berdiri dan berlari naik ke lantai dua. Hal itu ia lakukan karena ketidaktegaannya pada kondisi Rani yang membuatnya tidak bisa menahan rasa iba. Ia harus ke atas agar tidak ketahuan menangis. Sementara Irma hanya melihat anaknya naik tanpa tahu apa yang dirasakan putrinya itu.

“Bukankah ada yang satu lagi, yang namanya Gunawan, kenapa tidak datang?” tanya Irma kepada kedua pemuda itu.

“Ya, katanya ada satu lagi teman Rani yang juga ingin melamar Rani?” tanya Dedy pula sambil datang dan duduk di kursinya.

“Iya, Pak. Saya dan Gunawan memang sedang saling berlomba untuk mendapatkan hati Rani. Namun sayang, Gunawan harus gugur lebih dulu sebelum datang ke mari,” jawab Fito dengan kata-kata yang rendah sebagai orang yang berbicara kepada orang yang lebih tua, yaitu ayah dan ibunya Rani.

Sementara itu, Rina yang tadi naik, kembali turun lagi dan berhenti duduk di tangga. Ia sudah bisa mengontrol emosinya.

“Kenapa?” tanya Irma kepada Fito.

“Tadi malam Gunawan meninggal, Bu,” jawab Fito pelan dan sedih.

Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’uun!” ucap mereka serentak agak terkejut.

Meski tetap menundukkan wajah, tapi hati Rani lebih terkejut. Ia takut jika meninggalnya Gunawan terkait syarat yang ia berikan.

“Meninggal kenapa?” tanya Irma lagi jadi lebih penasaran.

“Tadi malam Gunawan adu minum dengan orang bule. Karena terlalu banyak minum, jantungnya tidak kuat dan meninggal dunia di rumah sakit. Saya dan Gunawan adalah sahabat yang sangat suka minum-minuman, Bu, Pak. Tapi alhamdulillah, sejak kami memutuskan bersaing untuk melamar dan mendapatkan cinta Rani, kami berhenti minum dan berlomba-lomba untuk menjadi pemuda yang benar dan mengerti agama. Tapi sayang, karena tergiur dengan uang taruhan yang besar, Gunawan memilih kembali minum. Dan karena telah belajar agama pula, saya jadi tahu bahwa sahabat saya Gunawan ternyata harus mati dalam kondisi akhir yang buruk. Kami sahabat yang ....”

Fito yang bercerita terpaksa memutus kata-katanya, karena kesedihan yang muncul di dadanya tentang kematian sahabat minumnya membuatnya ingin menangis. Ia harus berusaha menahan emosi sedihnya agar tidak menangis di depan Rani dan kedua orang tuanya.

Tak berapa lama, Fito kembali berusaha untuk menguasai nada suaranya dan melanjutkan ceritanya.

“Gunawan tidak hanya kalah dalam persaingan untuk mendapatkan cinta Rani, tapi juga kalah dalam segala-galanya. Dan saya.... Hikh!”

Fito kembali berhenti berkata. Satu suara tangisan keluar dari dirinya. Fito membungkuk dalam duduknya seraya menutupi kedua wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Tak berapa lama, muncul pula suara tangis dari diri Rani. Wanita yang kini hatinya diliputi oleh kabut penyesalan itu turut menangis. Irma yang terbawa oleh cerita kesedihan Fito, jadi terkejut mendengar tangis anaknya. Segera ia merangkul bahu Rani dan menarik tubuh anaknya agar bersandar padanya.
Situasi sedih itu membuat Rina mau tidak mau turut meneteskan air mata di tangga, tanpa suara.

Bagi Fito, akan terlalu malu rasanya jika sebagai seorang pemuda harus menangis berlebihan, karenanya ia berusaha mengontrol emosinya.

Sementara Dedy Sirana dan Abduh sejauh ini hanya diam mendengarkan.

“Dan pada akhirnya, Pak, saya bisa mengambil hikmah dan harus mengambil hikmah dari peristiwa ini,” lanjut Fito dengan nada mengandung ketegaran batin. “Memang, sebelumnya saya sangat berambisi untuk bisa merebut hati dan diri Rani, terlebih saya sudah jatuh cinta cukup lama, ketika Rani menjadi pacar Sando almarhum. Selama ini saya dan Rani akrab sebagai teman dan sahabat. Bahkan, setelah hampir dua minggu saya belajar agama, saya masih berambisi untuk menjadikan Rani sebagai istri saya, apalagi saya tahu bahwa Rani adalah anak orang kaya. Hingga dua malam yang lalu, saya mendapat pelajaran yang sangat berharga dari Al-Quran yang membuat saya benar-benar merenung. Dari renungan ini saya menyimpulkan bahwa saya telah salah. Ternyata selama ini saya hanya memburu sesuatu yang sangat kecil dan tidak ada artinya, yang jika saya peroleh justru mungkin akan membawa orang lain ke dalam keburukan ....”

“Apa itu, Nak Fito?” tanya Dedy memotong. Apa yang disampaikan Fito telah menggugah keingintahuan pengusaha hotel itu.

“Jelas bahwa perjuangan saya selama ini, khususnya untuk mendapatkan Rani, semata-mata untuk mendapatkan tubuh seorang wanita yang cantik dan materi yang berlimpah, meski saya tidak pernah mengatakan itu. Padahal, apalah artinya seorang wanita cantik dan limpahan harta dibandingkan dengan apa yang Allah tawarkan?” ujar Fito yang kini lidahnya sudah berani menyebut lafaz Allah, nama yang dulu seolah sangat pantang untuk ia sebut. “Setelah mendapat pelajaran tentang perintah Allah yang hanya memerintahkan saya untuk semata-mata berikhlas diri dalam beribadah kepada-Nya, saya jadi tersadar dan menyimpulkan bahwa saya telah salah selama ini. Niat saya telah salah untuk menikahi Rani. Terlebih-lebih, saya tidak mungkin menang di atas petaka yang menimpa sahabat saya Gunawan. Jadi, Pak, Bu, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak dan Ibu, terkhusus kepada Rani.”

“Ya ya ya, saya paham, saya paham,” ucap Dedy manggut-manggut seraya menatap ke langit-langit.
“Jadi, nak Fito tetap akan melamar Rani?” tanya Irma agak ragu, tapi perlu kejelasan.

“Ran, maafin gua!” ucap Fito khusus kepada Rani yang masih tertunduk di lengan ibunya. Fito menyapa sebagai mana bahasa yang biasa ia dan Rani pakai dalam pergaulan mereka sebelumnya. Fito melanjutkan kata-katanya kepada Rani, “Gua memang cinta banget sama elu, tapi gua berusaha tahu diri dan gua sekarang punya tujuan yang lebih besar dan agung. Gua mau benar-benar bertobat.”

“Iya, Bang,” ucap Rani akhirnya, setelah sekian lama menunduk terdiam. Wajahnya hanya mengangguk tapi tetap menunduk, seolah begitu malu rasanya jika wajah cantik itu sampai dilihat oleh Fito dan Abduh.

“Jadi, Nak Fito tidak jadi melamar Rani?” tanya Irma lagi yang belum merasa yakin.

“Pak, Bu, sekali lagi saya minta maaf sebesar-besarnya kepada keluarga ini. Saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Dan karenanya, saya mohon diri,” jawan Fito sekaligus izin pamit.

“Terus terang, aku tersentuh oleh kisah kamu, Fito. Namun sayang, Tuhan berkehendak lain,” kata Dedy. “Aku dan keluargaku turut berduka cita atas meninggalnya sahabat kamu yang bernama Gunawan. Kami tentunya berharap, kamu benar-benar menjadi manusia yang baik, yang tidak lagi menyentuh minuman memabukkan yang telah merenggut jiwa Gunawan. Dan tentunya, aku pun harus berat hati dan lapang dada menerima keputusan bijakmu itu, Fito.”

“Terima kasih banyak, Pak, Bu,” ucap Fito.

Fito lalu berdiri. Ia menyalami Dedy, Irma, Rani dan Abduh.

“Rani, semoga elu bahagia bersama pria yang tepat,” ucap Fito mendoakan.

“Iya, Bang. Maafin Rani selama ini,” kata Rani tetap menunduk, ada sisipan suara tangis dalam ucapan pelannya.

Assalamu ‘alaikum!” ucap Fito kepada mereka lalu beranjak pergi.

Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab mereka.

Dedy mengantar Fito hingga ke teras.

Sekembalinya Dedy ke tempat duduknya, Dedy pun langsung menanyai Abduh, “Bagaimana dengan kamu, Abduh?”

“Sangat berbeda dengan Fito tadi, saya tetap datang untuk melamar Rani,” jawab Abduh.

Deg!

Meski sudah tahu maksud Abduh sebelum-sebelumnya, tapi ketika pemuda itu menyampaikan niatnya, tetap saja ada rasa yang menyentuh hati Rani. Rasa yang bukan menyakitkan, tetapi rasa yang memberi siraman harum semerbak bagi hatinya yang terluka.

Kini Rani kembali duduk sendiri tanpa bersandar lagi kepada ibunya, tapi tetap saja ia tidak berani memandang wajah Abduh.

“Begini, Abduh,” kata Dedy serius. “Mungkin tidak banyak, tapi aku sudah tahu siapa kamu. Beberapa hari ini, aku meminta dua polisi tadi untuk menyelidiki siapa kamu sebenarnya.”

“Menyelidiki saya, Pak?” tanya Abduh agak terkejut.

“Ya. Itu konsekuensi dari langkah kamu sebagai orang asing yang tiba-tiba muncul di tengah drama keluarga aku. Dan ternyata dari hasil informasi yang dikumpulkan, kamu tidak ada masalah. Jadi, bagi aku juga tidak ada masalah. Aku hanya bisa bertanya kepada anakku, apakah dia mau menerima kamu,” ujar Dedy.

Alhamdulillah jika Bapak tidak ada masalah,” kata Abduh seraya tersenyum, posisinya semakin mendekat kepada target.

“Mama pun tidak ada masalah, tinggal Rani saja,” kata Irma seraya tersenyum.

Alhamdulillah,” ucap Abduh lagi. Dalam hati ia bersyukur, “Tetap mudahkan, ya Allah.”

“Rani, bagaimana dengan nak Abduh?” tanya Irma kepada Rani.

Rani tidak langsung menjawab, ia memilih diam, terkesan tampak berpikir dalam ketertundukannya.
“Meski baru kali ini saya dan Rani berkomunikasi, apakah Rani bersedia menjadi calon istri saya?” tanya Abduh langsung kepada Rani.

“Saya minta waktu untuk mempertimbangkannya, Bang Abduh,” jawab Rani akhirnya.

Tek!

Jawaban itu bagai satu cubitan yang memberi kekecewaan kepada perasaan Abduh. Meski ada rasa kecewa, tapi baginya itu tidak masalah. Sehingga Abduh pun memberi senyuman menanggapi jawaban Rani.

Dedy dan Irma merasa sedikit kecewa pula, sebab urusannya akan memakan waktu lagi dan ada proses tambahan, tapi mereka harus mengerti kondisi hati putri mereka.

Di sisi lain, ada secercah kegembiraan di hati Rina mendengar jawaban Rani, sebab ia memiliki seorang jagoan sendiri untuk menjadi penyelamat kakaknya. Rina menjagokan Awang Setiawan, meskipun ia telah mendengar bahwa Awang yang seperti Amir Khan itu memberi syarat yang berat kepada Rani.

“Karena Rani meminta waktu untuk mempertimbangkan, dan menurut aku itu hal yang sewajarnya. Aku menyarankan agar besok malam Dik Abduh datang lagi bersama orang tua. Setuju dan tidaknya Rani besok malam, Dik Abduh harus menerima keputusan itu,” ujar Dedy.

“Benar, Nak Abduh, lebih baik demikian, sebab masih ada calon lain yang mungkin lebih dipilih oleh Rani,” kata Irma.

“Iya, Pak,” jawab Abduh lapang dada. (RH)



Berlanjut: Pilihan Mama (20)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar