Ilustrasi |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Tanpa ada janji
sebelumnya, kedua motor laki itu berhenti bersamaan di depan pintu gerbang
rumah pengusaha hotel Dedy Sirana yang punya anak bernama Rani, Rina dan Roni.
Kedua motor itu datang dari arah yang berbeda dan bertemu di tempat yang sama.
Kedua pria yang
wajahnya tertutup helm besar tersebut jadi saling pandang, seolah saling
curiga.
“Assalamu ‘alaikum!”
Kesan saling curiga
yang tergambar seketika pupus ketika pria bermotor Byson mengucapkan salam.
Pria itu tidak lain adalah Fito, seorang penantang yang ingin menikahi Rani.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab pria bermotor Ninja hijau yang adalah
Abduh, pemuda yang juga ingin menikahi Rani tapi lewat jalur ayahnya.
Tet teet!
Seorang dari
mereka membunyikan klakson. Tak berapa lama, muncullah seorang pemuda yang
bernama Iwan mendatangi kedua tamu itu, tapi berhenti sebatas di balik pintu.
“Mau bertemu
siapa, Pak?” tanya Iwan kepada kedua pria di atas motor.
“Pak Dedy,”
jawab Abduh.
“Saya mau ketemu
Rani, sudah janji,” jawab Fito pula.
Tanpa bertanya
lagi, Iwan segera membuka gerbang. Kedua motor pun masuk.
Tampak di
halaman, mobil mewah merek Rush
parkir bersama sebuah mobil polisi. Mobil Toyota Rush menunjukkan bahwa Dedy Sirana ada di rumah.
Sedangkan keberadaan mobil polisi menimbulkan pertanyaan bagi kedua tamu itu.
Setelah keduanya
membuka helm, barulah tampak wajah tampan kedua pemuda itu.
“Abduh,” kata
Abduh memperkenalkan diri kepada Fito seraya mengulurkan tangan.
“Fito,” kata
Fito menyambut ramah jabatan tangan Abduh.
Keduanya pun
membuka jaket yang mereka kenakan, sehingga tampaklah bahwa keduanya mengenakan
pakaian takwa, alias baju koko.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Fito di teras
rumah.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab suara seorang
wanita dari dalam rumah.
Saat pintu
dibuka, hawa dingin pendingin ruangan seketika menyeruak keluar. Sosok anggun
nan cantik seorang gadis berjilbab putih berdiri dengan senyum manis.
Fito tahu, itu
bukan Rani, melainkan Rina, adik Rani. Sementara Abduh tidak mengenal gadis
yang membuka pintu untuk mereka.
Informasi bahwa
akan datang para kandidat calon suami kakaknya, membuat Rina mengkhususkan diri
untuk izin tidak masuk sekolah hari itu, dengan dalih “acara lamaran kakak”.
Sejak pagi, Rina
yang punya status mantan gadis bandel, menyibukkan diri bersama mama dan para
pembantunya.
Mengenai Fito,
Rina mengenalnya. Tapi tidak kepada Abduh, barulah pertama kali ini ia bertemu
pemuda itu.
“Bang Fito ingin
bertemu dengan Kak Rani?” tanya Rina dengan senyum ramahnya.
“Ya. Tapi, jika
Bapak dan Ibu ada, saya lebih baik bertemu dengan mereka,” jawab Fito agak
kikuk.
“Kalau abang
yang satunya?” tanya Rina kepada Abduh.
“Nama saya
Abduh, mau bertemu dengan Bapak,” jawab Abduh.
“Silakan masuk,”
kata Rina seraya memberi keluasan jalan.
Kedua pemuda
tampan itu pun melangkah masuk.
“Bapak di sana,”
tunjuk Rina ke arah kursi tamu dekat tangga menuju lantai dua rumah itu.
Di sofa tamu,
tampak Dedy Sirana sedang berbincang dengan dua orang pria berjaket kulit hitam
yang tidak diresleting. Lelaki yang lebih muda berpotongan rambut seperti
aparat dan memiliki lengan yang besar. Sementara pria yang lebih tua berperut
agak gendut dan berambut gondrong sebahu. Ia memelihara kumis tipis.
Abduh dan Fito
mendatangi dan menyalami Dedy Sirana dan kedua tamunya. Meski kedua tamu Dedy
berpakaian biasa, tapi baik Abduh dan Fito dapat menebak bahwa kedua tamu itu
adalah polisi.
“Silakan duduk!”
kata Dedy.
Abduh dan Fito
duduk di kursi yang masih kosong. Sementara di meja telah penuh dengan hidangan
makanan dan minuman.
Di sisi lain,
Rina memilih duduk di anak tangga, tidak jauh dari mereka. Sangat jelas bahwa
ia ingin tahu apa yang akan dibicarakan dan apa yang akan terjadi.
Dari sisi dalam
rumah muncul nyonya rumah, yaitu Irma Lulubana dengan dandanan yang cantik
untuk wanita seusianya.
Melihat
kemunculan istrinya, Dedy segera berkata, “Panggil Rani, tamunya sudah datang!”
Tanpa menjawab,
Irma berbalik kembali masuk ke dalam.
“Baik, Pak, saya
rasa urusan kami sudah selesai. Kami memiliki tugas yang lain,” kata pria
gondrong kepada Dedy Sirana.
“Terima kasih
banyak sudah membantu, Rus,” ucap Dedy seraya tersenyum.
Polisi gondrong
bernama Rusli itu bangkit yang diikuti oleh rekannya. Keduanya menjabat tangan
Dedy.
“Rin, sesekali
main ke rumah Om, ya!” kata Rusli kepada Rina tanpa menghampirinya.
“Insya Allah, Om!” sahut Rina seraya
tersenyum manis kepada Rusli dan temannya.
Dedy mengantar
kedua tamunya hingga teras. Sementara Abduh dan Fito duduk menunggu.
Dari ruangan
dalam muncul seorang wanita yang bekerja sebagai pembantu. Ia membawa minuman
untuk dua tamu yang baru datang.
Tidak berapa
lama, Irma muncul bersama Rani yang mengenakan pakaian putih kuning dan berjilbab kuning. Rani
berjalan dengan wajah tertunduk, seperti gadis pingitan dengan rasa malu yang tinggi.
“Ya Allah, dia
bukan Rani yang dulu, dia bukan Rani ...” membatin Fito.
Terakhir kali
Fito melihat Rani adalah di hari pemakaman Sando. Sebelum-sebelumnya, Rani
bukan wanita pemalu yang berjalan menundukkan wajah.
“Beban batinnya
pasti begitu berat,” ucap Fito dalam hati menyimpulkan.
Berbeda kata
hati Abduh ketika melihat kemunculan Rani.
“Subhanallah, apakah wanita secantik ini
benar-benar memiliki aib perzinaan?” ucap hati Abduh. “Terlalu malang nasibnya ....”
“Kenalkan, Irma,
mamanya Rani,” kata Irma ramah seraya menyalami kedua tamunya yang
ganteng-ganteng.
“Fito, Tante.”
“Saya Abduh.”
Sementara Rani
langsung duduk di kursi. Wajahnya terus menunduk.
Fito yang sangat
mengenal sosok Rani, dalam hati benar-benar dibuat bingung. Dulu, jika bertemu
dengannya, Rani langsung menyapanya, bahkan tidak sungkan menepuk bahunya.
Ingin rasanya ia menyapa Rani sebagaimana yang biasa ia lakukan, tapi ia
menahan diri, terlebih ini ada di depan orang tua Rani.
Mereka yang ada
di kursi tidak tahu, Rina yang duduk di tangga tiba-tiba memalingkan wajahnya
ke arah lain, seolah khawatir jika terlihat oleh mereka. Rina menyeka matanya
dengan kain lengan baju biru mudanya. Perasaan sedih tiba-tiba menyeruak di
dadanya ketika melihat sikap yang ditunjukkan kakaknya di depan kedua pemuda
itu. Rina menarik napas dalam-dalam untuk menekan gejolak perasaan yang
membuatnya ingin menangis. Bahkan air mata sudah menggenang di tepian lingkar
mata gadis cantik itu, karenanya ia buru-buru menyeka matanya.
“Rani dulu liar
kayak gua, tapi karena dosa itu dia tunduk seperti perempuan yang enggak berani
melihat orang lain, enggak berani melihat dunia,” membatin Rina.
Rina segera
berdiri dan berlari naik ke lantai dua. Hal itu ia lakukan karena
ketidaktegaannya pada kondisi Rani yang membuatnya tidak bisa menahan rasa iba.
Ia harus ke atas agar tidak ketahuan menangis. Sementara Irma hanya melihat
anaknya naik tanpa tahu apa yang dirasakan putrinya itu.
“Bukankah ada
yang satu lagi, yang namanya Gunawan, kenapa tidak datang?” tanya Irma kepada
kedua pemuda itu.
“Ya, katanya ada
satu lagi teman Rani yang juga ingin melamar Rani?” tanya Dedy pula sambil
datang dan duduk di kursinya.
“Iya, Pak. Saya
dan Gunawan memang sedang saling berlomba untuk mendapatkan hati Rani. Namun
sayang, Gunawan harus gugur lebih dulu sebelum datang ke mari,” jawab Fito
dengan kata-kata yang rendah sebagai orang yang berbicara kepada orang yang
lebih tua, yaitu ayah dan ibunya Rani.
Sementara itu,
Rina yang tadi naik, kembali turun lagi dan berhenti duduk di tangga. Ia sudah
bisa mengontrol emosinya.
“Kenapa?” tanya
Irma kepada Fito.
“Tadi malam
Gunawan meninggal, Bu,” jawab Fito pelan dan sedih.
“Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’uun!”
ucap mereka serentak agak terkejut.
Meski tetap
menundukkan wajah, tapi hati Rani lebih terkejut. Ia takut jika meninggalnya
Gunawan terkait syarat yang ia berikan.
“Meninggal
kenapa?” tanya Irma lagi jadi lebih penasaran.
“Tadi malam
Gunawan adu minum dengan orang bule. Karena terlalu banyak minum, jantungnya
tidak kuat dan meninggal dunia di rumah sakit. Saya dan Gunawan adalah sahabat
yang sangat suka minum-minuman, Bu, Pak. Tapi alhamdulillah, sejak kami memutuskan bersaing untuk melamar dan
mendapatkan cinta Rani, kami berhenti minum dan berlomba-lomba untuk menjadi
pemuda yang benar dan mengerti agama. Tapi sayang, karena tergiur dengan uang
taruhan yang besar, Gunawan memilih kembali minum. Dan karena telah belajar
agama pula, saya jadi tahu bahwa sahabat saya Gunawan ternyata harus mati dalam
kondisi akhir yang buruk. Kami sahabat yang ....”
Fito yang
bercerita terpaksa memutus kata-katanya, karena kesedihan yang muncul di
dadanya tentang kematian sahabat minumnya membuatnya ingin menangis. Ia harus
berusaha menahan emosi sedihnya agar tidak menangis di depan Rani dan kedua
orang tuanya.
Tak berapa lama,
Fito kembali berusaha untuk menguasai nada suaranya dan melanjutkan ceritanya.
“Gunawan tidak
hanya kalah dalam persaingan untuk mendapatkan cinta Rani, tapi juga kalah dalam
segala-galanya. Dan saya.... Hikh!”
Fito kembali
berhenti berkata. Satu suara tangisan keluar dari dirinya. Fito membungkuk
dalam duduknya seraya menutupi kedua wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Tak berapa lama,
muncul pula suara tangis dari diri Rani. Wanita yang kini hatinya diliputi oleh
kabut penyesalan itu turut menangis. Irma yang terbawa oleh cerita kesedihan
Fito, jadi terkejut mendengar tangis anaknya. Segera ia merangkul bahu Rani dan
menarik tubuh anaknya agar bersandar padanya.
Situasi sedih
itu membuat Rina mau tidak mau turut meneteskan air mata di tangga, tanpa
suara.
Bagi Fito, akan
terlalu malu rasanya jika sebagai seorang pemuda harus menangis berlebihan,
karenanya ia berusaha mengontrol emosinya.
Sementara Dedy
Sirana dan Abduh sejauh ini hanya diam mendengarkan.
“Dan pada
akhirnya, Pak, saya bisa mengambil hikmah dan harus mengambil hikmah dari
peristiwa ini,” lanjut Fito dengan nada mengandung ketegaran batin. “Memang,
sebelumnya saya sangat berambisi untuk bisa merebut hati dan diri Rani,
terlebih saya sudah jatuh cinta cukup lama, ketika Rani menjadi pacar Sando
almarhum. Selama ini saya dan Rani akrab sebagai teman dan sahabat. Bahkan,
setelah hampir dua minggu saya belajar agama, saya masih berambisi untuk
menjadikan Rani sebagai istri saya, apalagi saya tahu bahwa Rani adalah anak
orang kaya. Hingga dua malam yang lalu, saya mendapat pelajaran yang sangat
berharga dari Al-Quran yang membuat saya benar-benar merenung. Dari renungan
ini saya menyimpulkan bahwa saya telah salah. Ternyata selama ini saya hanya
memburu sesuatu yang sangat kecil dan tidak ada artinya, yang jika saya peroleh
justru mungkin akan membawa orang lain ke dalam keburukan ....”
“Apa itu, Nak
Fito?” tanya Dedy memotong. Apa yang disampaikan Fito telah menggugah
keingintahuan pengusaha hotel itu.
“Jelas bahwa
perjuangan saya selama ini, khususnya untuk mendapatkan Rani, semata-mata untuk
mendapatkan tubuh seorang wanita yang cantik dan materi yang berlimpah, meski
saya tidak pernah mengatakan itu. Padahal, apalah artinya seorang wanita cantik
dan limpahan harta dibandingkan dengan apa yang Allah tawarkan?” ujar Fito yang
kini lidahnya sudah berani menyebut lafaz Allah, nama yang dulu seolah sangat
pantang untuk ia sebut. “Setelah mendapat pelajaran tentang perintah Allah yang
hanya memerintahkan saya untuk semata-mata berikhlas diri dalam beribadah
kepada-Nya, saya jadi tersadar dan menyimpulkan bahwa saya telah salah selama
ini. Niat saya telah salah untuk menikahi Rani. Terlebih-lebih, saya tidak
mungkin menang di atas petaka yang menimpa sahabat saya Gunawan. Jadi, Pak, Bu,
saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak dan Ibu, terkhusus kepada
Rani.”
“Ya ya ya, saya
paham, saya paham,” ucap Dedy manggut-manggut seraya menatap ke langit-langit.
“Jadi, nak Fito
tetap akan melamar Rani?” tanya Irma agak ragu, tapi perlu kejelasan.
“Ran, maafin
gua!” ucap Fito khusus kepada Rani yang masih tertunduk di lengan ibunya. Fito
menyapa sebagai mana bahasa yang biasa ia dan Rani pakai dalam pergaulan mereka
sebelumnya. Fito melanjutkan kata-katanya kepada Rani, “Gua memang cinta banget
sama elu, tapi gua berusaha tahu diri dan gua sekarang punya tujuan yang lebih
besar dan agung. Gua mau benar-benar bertobat.”
“Iya, Bang,”
ucap Rani akhirnya, setelah sekian lama menunduk terdiam. Wajahnya hanya
mengangguk tapi tetap menunduk, seolah begitu malu rasanya jika wajah cantik
itu sampai dilihat oleh Fito dan Abduh.
“Jadi, Nak Fito
tidak jadi melamar Rani?” tanya Irma lagi yang belum merasa yakin.
“Pak, Bu, sekali
lagi saya minta maaf sebesar-besarnya kepada keluarga ini. Saya memutuskan
untuk mengundurkan diri. Dan karenanya, saya mohon diri,” jawan Fito sekaligus
izin pamit.
“Terus terang,
aku tersentuh oleh kisah kamu, Fito. Namun sayang, Tuhan berkehendak lain,”
kata Dedy. “Aku dan keluargaku turut berduka cita atas meninggalnya sahabat
kamu yang bernama Gunawan. Kami tentunya berharap, kamu benar-benar menjadi
manusia yang baik, yang tidak lagi menyentuh minuman memabukkan yang telah
merenggut jiwa Gunawan. Dan tentunya, aku pun harus berat hati dan lapang dada
menerima keputusan bijakmu itu, Fito.”
“Terima kasih
banyak, Pak, Bu,” ucap Fito.
Fito lalu
berdiri. Ia menyalami Dedy, Irma, Rani dan Abduh.
“Rani, semoga
elu bahagia bersama pria yang tepat,” ucap Fito mendoakan.
“Iya, Bang.
Maafin Rani selama ini,” kata Rani tetap menunduk, ada sisipan suara tangis
dalam ucapan pelannya.
“Assalamu ‘alaikum!” ucap Fito kepada
mereka lalu beranjak pergi.
“Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab
mereka.
Dedy mengantar
Fito hingga ke teras.
Sekembalinya
Dedy ke tempat duduknya, Dedy pun langsung menanyai Abduh, “Bagaimana dengan
kamu, Abduh?”
“Sangat berbeda
dengan Fito tadi, saya tetap datang untuk melamar Rani,” jawab Abduh.
Deg!
Meski sudah tahu
maksud Abduh sebelum-sebelumnya, tapi ketika pemuda itu menyampaikan niatnya,
tetap saja ada rasa yang menyentuh hati Rani. Rasa yang bukan menyakitkan,
tetapi rasa yang memberi siraman harum semerbak bagi hatinya yang terluka.
Kini Rani
kembali duduk sendiri tanpa bersandar lagi kepada ibunya, tapi tetap saja ia
tidak berani memandang wajah Abduh.
“Begini, Abduh,”
kata Dedy serius. “Mungkin tidak banyak, tapi aku sudah tahu siapa kamu.
Beberapa hari ini, aku meminta dua polisi tadi untuk menyelidiki siapa kamu
sebenarnya.”
“Menyelidiki
saya, Pak?” tanya Abduh agak terkejut.
“Ya. Itu
konsekuensi dari langkah kamu sebagai orang asing yang tiba-tiba muncul di
tengah drama keluarga aku. Dan ternyata dari hasil informasi yang dikumpulkan,
kamu tidak ada masalah. Jadi, bagi aku juga tidak ada masalah. Aku hanya bisa
bertanya kepada anakku, apakah dia mau menerima kamu,” ujar Dedy.
“Alhamdulillah jika Bapak tidak ada
masalah,” kata Abduh seraya tersenyum, posisinya semakin mendekat kepada
target.
“Mama pun tidak
ada masalah, tinggal Rani saja,” kata Irma seraya tersenyum.
“Alhamdulillah,” ucap Abduh lagi. Dalam
hati ia bersyukur, “Tetap mudahkan, ya Allah.”
“Rani, bagaimana
dengan nak Abduh?” tanya Irma kepada Rani.
Rani tidak
langsung menjawab, ia memilih diam, terkesan tampak berpikir dalam
ketertundukannya.
“Meski baru kali
ini saya dan Rani berkomunikasi, apakah Rani bersedia menjadi calon istri
saya?” tanya Abduh langsung kepada Rani.
“Saya minta
waktu untuk mempertimbangkannya, Bang Abduh,” jawab Rani akhirnya.
Tek!
Jawaban itu
bagai satu cubitan yang memberi kekecewaan kepada perasaan Abduh. Meski ada
rasa kecewa, tapi baginya itu tidak masalah. Sehingga Abduh pun memberi senyuman
menanggapi jawaban Rani.
Dedy dan Irma merasa
sedikit kecewa pula, sebab urusannya akan memakan waktu lagi dan ada proses
tambahan, tapi mereka harus mengerti kondisi hati putri mereka.
Di sisi lain,
ada secercah kegembiraan di hati Rina mendengar jawaban Rani, sebab ia memiliki
seorang jagoan sendiri untuk menjadi penyelamat kakaknya. Rina menjagokan Awang
Setiawan, meskipun ia telah mendengar bahwa Awang yang seperti Amir Khan itu
memberi syarat yang berat kepada Rani.
“Karena Rani
meminta waktu untuk mempertimbangkan, dan menurut aku itu hal yang sewajarnya. Aku
menyarankan agar besok malam Dik Abduh datang lagi bersama orang tua. Setuju
dan tidaknya Rani besok malam, Dik Abduh harus menerima keputusan itu,” ujar
Dedy.
“Benar, Nak
Abduh, lebih baik demikian, sebab masih ada calon lain yang mungkin lebih
dipilih oleh Rani,” kata Irma.
“Iya, Pak,”
jawab Abduh lapang dada. (RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar