Tantangan Besar dari Botol Bir (18)

Ilustrasi: membaca Al-Quran. (Thayyiba.com)
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:
Geng Muslimah Bintang Tujuh (13)

Meski sudah berjaket tebal, leher sudah dibalut syal dan kedua tangan ditutupi sarung tangan, tapi tetap saja hawa dingin di tengah malam itu meresap masuk membuat kulit Fito merasa agak menggigil.


Jalanan Jakarta lengang, tapi tetap ada kendaraan yang beraktivitas di tengah malam itu. Tidak butuh waktu lama bagi Fito untuk sampai dan berhenti di halaman sebuah masjid yang tidak besar, karena keluasannya terbatas oleh dua bangunan rumah di kanan dan kirinya. Masjid itu tak bertingkat, berwarna putih dan hijau muda. Nama masjid itu ditulis dengan huruf Arab besar di sisi atas yang berbunyi “Masjid Ash-Shiroth”.

Setelah memparkir aman motor besarnya, Fito melepas helm, syal, jaket dan sarung tangannya. Kini ia tampil memakai baju koko putih bagus.

Fito kemudian pergi berwudu lalu pergi masuk ke masjid. Di depan sana, depan mimbar, seorang pria berkoko putih bersarung biru dan berpeci putih, berdiri sedang melaksanakan salat. Orang itu tidak lain adalah Ustaz Darsono yang kini menjadi guru spiritual Fito. Jam dinding kotak di atas tembok masjid menunjukkan pukul 02.10 WIB.

Setelah memakai peci hitamnya, sebagaimana di malam-malam sebelumnya, Fito langsung berdiri merapat di sisi kanan Ustaz Darsono. Ia menempelkan bahu kirinya dengan bahu kanan Ustaz, menempelkan sisi luar telapak kaki kirinya dengan sisi luar kaki kanan Ustaz, mengaturnya sehingga mata kaki dan sisi luar betis keduanya saling bersentuhan. Karena seperti itulah yang Ustaz Darsono ajarkan kepada Fito posisi saf orang salat berjemaah.

Sejak Fito menjadi makmum dalam salat tahajud itu, Ustaz Darsono mengeraskan bacaan salatnya.

Fito sudah melalui beberapa malam pembelajaran khusus kepada ustaz penjual bubur ayam itu. Sebelum mendapat pembelajaran, terlebih dulu mereka melaksanakan salat malam. Awal-awalnya Fito harus berjuang dan cukup merasa kesulitan mengikuti jadwal belajar yang tidak biasa itu. Ia harus berjuang bangun jam satu malam dan melawan rasa kantuk. Pembelajaran yang sampai waktu salat Subuh tersebut, membuat Fito harus berjuang pula mengatur waktu paginya. Perasaan kantuk yang berat dan harus berangkat kerja, membuatnya kewalahan mengatur diri.

Namun, itu hanya beberapa hari awal. Hingga pada akhirnya, Fito merasakan efek positif pada dirinya. Ilmu yang diajarkan oleh Ustaz Darsono terasa begitu dalam menyerap ke dalam daya ingatnya sehingga ia merasa menjadi orang bodoh yang banyak baru tahu. Selain itu, meski ia menghitung dirinya kurang tidur, tapi ia merasa fisiknya lebih segar, terutama di saat ketika bangun di pagi hari.

Usai menyelesaikan salat tahajud yang dilengkapi dengan tiga rakaat salat witir, plus berdoa, mulailah Ustaz Darsono memberi pelajaran kepada Fito. Ustaz Darsono memberikan sebuah Al-Quran terjemahan kepada pemuda itu.

“Sekarang kamu buka Al-Quran surat Az-Zalzalah, surat ke-99!” perintah Ustaz Darsono.

Fito segera melakukannya. Di malam sebelumnya, Fito telah diajarkan bagaimana cara mencari surat atau ayat di dalam Al-Quran.

“Sudah, Ustaz,” kata Fito setelah menemukan surat yang dimaksud.

“Kamu baca satu ayat dengan suara keras, lalu baca terjemahannya dan diam renungkan selama dua menit,” kata Ustaz Darsono.

Fito pun mulai membaca, “A’udzu billaahi....”

“Doa menuntut ilmu dulu!” potong Ustaz Darsono mengingatkan.

Robbi zidni ‘ilman, alloohumma...” Fito membaca, tapi tersendat ketika ia lupa.

Alloohumman fa’ni, bimaa...” Ustaz Darsono menuntun yang segera diikuti oleh Fito hingga selesai. “Besok malam harus sudah hapal!”

“Bisa minta dituliskan bacaannya, Ustaz?” tawar Fito.

“Kamu itu orang kantoran, tinggal cari di Mbah Google. Lanjutkan!”

Fito melanjutkan membaca ta’awudz dan basmalah. Lalu membaca ayat pertama dari surat Az-Zalzalah.

Izaa zulzilatil ardhu zilzalahaa,” baca Fito.

Idzaa, bukan izaa. Jika tulisan latin, pakai huruf d dan z, dza. Idza zulzilatil ardhu zilzalahaa,” kata Ustaz Darsono mengoreksi.

Izaa,” ucap Fito mencoba.

Idzaa, dza dza dza, idzaa zul!” tegas Ustaz Darsono sambil sedikit memajukan wajahnya untuk memperlihatkan gerak lidahnya di dalam mulutnya yang agak terbuka.

Idzaa,” coba Fito lagi.

“Ya. Jadi bedakan dzal dengan zal. Lanjutkan!”

Maka mulailah Fito membaca dengan benar satu ayat, kemudian membaca terjemahannya, lalu diam merenungi makna sesuai dengan pemahaman di kepala yang apa adanya. Selanjutnya ayat kedua, terjemahannya, dan kembali direnungkan dan dibayangkan maknanya.

Sementara Ustaz Darsono membaca Al-Quran, tetapi jika Fito ada kesalahan dalam membaca ayat, ia segera meluruskannya.

“Sudah, Ustaz,” kata Fito setelah selesai merenungkan ayat terakhir dari Surat Az-Zalzalah.

“Gambaran apa yang kamu dapat?” tanya Ustaz Darsono.

“Film Hollywood, Ustaz,” jawab Fito seraya tersenyum kecil, khawatir jawabannya salah.

“Film Hollywood yang seperti apa?” tanya Ustaz Darsono serius, tanpa memandang remeh jawaban pemuda di depannya itu.

“Seperti filmnya Tom Cruise, Independence Day yang ada serangan dari alien, Ustaz. Atau seperti film ‘2012’, kiamatnya Amerika. Atau film Vulcano, semburan lava. Wah keren, Ustaz. Juga film zombie yang keluar dari dalam kubur. Wah serem, Ustaz,” ujar Fito berapi-api.

Ustaz Darsono manggut-manggut. Lalu katanya, “Apa yang kamu tonton itu sedikit pun tidak menyamai kelebihdahsyatan dan kelebihseraman apa yang terjadi pada hari yang disebutkan di dalam Al-Quran itu. Itu adalah benar-benar hari kiamat yang akan menghancurkan seluruh kehidupan di dunia. Dan saat itu, manusia tidak akan bisa tersenyum sedikit pun.”

“Lalu apa yang dimaksud dzarrah itu, Ustaz?” tanya Fito.

“Adalah hal yang seberat biji sawi, atau seberat debu, atau partikel yang lebih kecil dari atom. Itu menunjukkan bahwa perbuatan sekecil apa pun yang kamu lakukan, yang manusia lakukan, akan dibalas pada hari itu,” jelas Ustaz Darsono. “Jadi, tidak akan ada yang luput. Dan kamu hanya akan menuai kerugian, jika niat kamu hanya untuk seorang perempuan dan harta.”

Fito terdiam menunduk, merenung. Kemudian ada angguk-angguk kecil oleh kepalanya, seolah ia memahami sesuatu.

“Sekarang baca Surat Al-Bayyinah, surat ke-98,” kata Ustaz Darsono, karena ia nanti ingin menjelaskan tentang perintah menjalankan agama dengan ikhlas, sebagaimana ayat yang tercantum di dalam surat itu.

Sementara di keesokan harinya, di sisi lain, Gunawan melakukan pertemuan terakhir dengan guru spiritualnya, Ki Rogo.

“Ki, saya resah,” keluh pemuda saingan utama Fito dalam upaya melamar Rani.

“Katakan, sebab ini adalah pertemuan terakhir kita. Jangan sampai ada yang kamu pendam. Jika ada, jangan menyesal jika kamu gagal,” kata Ki Rogo dengan nada suara dan ekspresi wajah yang selalu berwibawa.

“Saya merasa, saingan saya lebih berpeluang menang dari pada saya,” kata Gunawan dengan wajah mengerenyit gundah.

“Bodoh!” sentak pria bersorban dan berjubah putih itu memaki.

Bentakan itu membuat Gunawan terkejut sehingga secara refleks kepalanya mundur sejengkal dan wajahnya berubah agak takut.

“Bagaimana saya bisa memenangkan kamu, kalau kamu sendiri tidak percaya diri begitu, hah?!”

Nada suara Ki Rogo masih tinggi memarahi Gunawan.

“Kamu sudah kalah, Gunawan. Sekarang lebih baik kamu pulang!” kata Ki Rogo.

“Tapi, Ki, saya tidak mau kalah!” kata Gunawan cepat meski dengan suara agak bergetar, wajahnya berekspresi sedih berharap kepada Ki Rogo.

“Tapi kamu harus percaya diri seratus persen!” tandas Ki Rogo.

“I... iya, Ki!” jawab Gunawan dengan nada keras pula.

Ki Rogo sejenak diam sambil tak berkedip menatap tajam mata Gunawan, membuat pemuda itu merasa kian tidak nyaman.

“Jadi, kamu tetap mau terus dan menang?” tanya Ki Rogo lagi.

“Ya, Ki,” jawab Gunawan lagi, lebih lemah.

“Sebenarnya sangat sulit. Keraguan kamu membuat peluang kamu turun di bawah 50 persen. Hanya ada satu cara yang bisa saya tawarkan, yaitu menggunakan jasa kekuatan yang tidak terlihat,” kata Ki Rogo.

“Maksudnya, Ki?” tanya Gunawan tidak mengerti.

“Saya akan meminta bantuan jin,” jelas Ki Rogo.

“Tapi, bukankah itu musyrik, Ki?” tanya Gunawan dengan nada dan ekspresi wajah takut-takut cemas.

“Lancang!” teriak Ki Rogo gusar dengan sepasang mata mendelik dalam lingkaran hitam maskaranya.

Bentakan yang lebih keras dari sebelumnya itu benar-benar membuat Gunawan gemetar ciut.

“Tapi baik, baik, akan saya jelaskan,” kata Ki Rogo tiba-tiba bernada lembut, dengan seketika ia menahan amarahnya. “Pertanyaanmu memang wajar, sebab kamu belum mengerti. Kamu tahu mukjizat Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam?”

“Iya, Ki. Nabi Sulaiman bisa mengerti bahasa binatang, mengendarai angin dan punya pasukan jin,” jawab Gunawan dengan nada suara bergetar, efek dari bentakan Ki Rogo tadi.

“Nabi Sulaiman selalu meminta bantuan jasa para jin. Apakah itu disebut musyrik?” kata Ki Rogo.
“Tentu ti...tidak, Ki,” jawab Gunawan.

“Benar. Mana mungkin nabi Allah berbuat musyrik. Nah, hal yang sama akan saya lakukan seperti apa yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman, yaitu meminta bantuan jasa jin. Saya akan meminta bantuan jasa beberapa jin yang bersahabat dengan saya. Jin-jin itu akan membuat saingan kamu mengalami gangguan. Ini jelas kiat yang sangat berat, tentunya membutuhkan mahar yang juga cukup besar,” ujar Ki Rogo.

“Berapa, Ki?” tanya Gunawan yang langsung paham dengan istilah mahar, yang berarti pembayaran, meskipun Ki Rogo berdalih itu adalah sedekah atau infak.

“Lima juta,” jawab Ki Rogo. “Bagaimana?”

“Tapi bagaimana ya, Ki? Saya hanya bawa satu juta,” kata Gunawan.

“Untuk yang ini tidak bisa ditawar, sebab ini kiat yang sangat berat,” tandas Ki Rogo.

“Bagaimana kalau saya transfer aja, Ki?” tawar Gunawan.

“Bisa, tapi saya baru bekerja jika uang itu sudah masuk. Ya sudah, kamu boleh pulang, karena cuma cara itu harapan kamu.”

“Iya, Ki.”

“Ada satu syarat lagi setelah uang itu ditransfer, yaitu kamu harus menghisap tiga batang rokok kretek sampai habis dalam satu kali kesempatan. Itu harus diniatkan untuk para jin, sebagai hadiah bagi mereka karena membantu kamu. Minta bantuan orang saja kita beri uang rokok, apa lagi mereka,” jelas Ki Rogo.

“Iya, Ki.”

Gunawan akhirnya pulang.

Meski patuh terhadap arahan dari guru spiritualnya, tapi hati Gunawan diliputi keraguan.

Namun, keraguannya itu tidak bisa membantu mencegah dirinya untuk mentrasfer uang sebesar permintaan Ki Rogo. Dan, keraguannya itu juga tidak menghalanginya untuk membeli tiga batang rokok yang ia hisap habis tiga batang berturut-turut.

Gunawan merokok di depan sebuah warteg, seraya menghabiskan waktu sorenya. Di sisinya tegak segelas tanggung kopi hitam.

Warteg itu adalah salah satu tempat yang kerap ia mampiri hanya untuk merokok dan mengopi tanpa makan, lokasinya tidak jauh dari kantor.

Raut wajah Gunawan sore itu tidak menunjukkan ada kelegaan di dalam hati dan perasaannya. Sangat jelas tergambar bahwa otaknya sedang berpikir hal yang tidak membuatnya nyaman.

“Gua ragu sama Ki Rogo,” membatin Gunawan sambil bibirnya menghisap rokok yang masih terjepit di sela jari tangan kirinya. Usai menghembuskan gumpalan asap dari kedua lubang hidungnya, tangan kanannya meraih gelas dan mengangkatnya menempel ke bibir.

Hanya rasa asap dan air hitam itu yang ia rasakan nikmat di sore itu.

Sebuah sepeda motor bertangki besar berhenti di depan warteg.

“Woiii, rupanya jagoan gua ada di sini!” seru lelaki pengendara motor kepada Gunawan.

Gunawan yang mengenal pria 15 tahun lebih tua darinya itu, hanya diam memandang. Barulah ketika pria berkumis berjaket cokelat itu menghampirinya, ia bertanya, “Nyari gua, Bang Gim?”

“Iya!” jawab pria bernama Burojim Ahlan yang akrab dipanggil “Gim” saja.

Burojim tampak begitu senang bertemu dengan Gunawan, seperti menemukan orang yang bisa memberinya pinjaman utang tanpa bunga.

“Gua dari tadi siang nyari-nyari elu, sampai gua muter-muter di sekitar tongkrongan biasa,” kata Burojim dengan nada suara yang agak meledak-ledak, lalu tanpa sungkan mengambil gelas kopi Gunawan yang kemudian dia minum sambil berdiri. “Taruhannya 20 juta, Bro!”

“Apaan?” tanya Gunawan tak mengerti.

Dengan gerakan bersemangat, Burojim duduk di samping Gunawan sambil menepuk paha pemuda itu. Seenaknya lagi ia merebut rokok Gunawan dan menghisapnya beberapa kali sedotan bibir.

Gunawan sendiri tidak merasa terganggu dengan ulah Burojim yang merupakan salah seorang teman sekantor dan juga teman di meja minum.

“Ada bule yang lagi nyari lawan minum. Kalau dia menang, lima juta doang. Tapi kalau dia kalah, 20 juta, Bro!” ujar Burojim penuh semangat menyampaikan “kabar gembira” kepada Gunawan.

“Gua lagi krisis, duit gua lagi habis, Bang Gim!” kata Gunawan.

“Tenaaang!” kata Burojim panjang seraya tertawa enteng. “Kalau elu sampai kalah, gua sama Detol, Erik, Sugiono dan Uun yang bayarin. Kita orang mah tahu kehebatan elu sama Fito untuk urusan minum. Gua juga tadi nyari Fito, tapi gak ketemu.”

“Ah, Fito mah udah gak bakalan minum lagi, dia lagi tobat!” kata Gunawan.

“Gua lihat sih begitu, sama ama elu. Tapi gua sama yang lainnya gak percaya kalau lu berdua bakal tobat. Kita orang kenal elu berdua kayak apa, hahaha!” kata Burojim. “Lu ikut ya?”

“Aduuh!” keluh Gunawan mengerenyit. Dia jadi bingung. Jelas, dia akan gugur dalam duel dengan Fito jika ketahuan minum lagi. Namun, separuh dari taruhan itu saja, sudah jumlah uang yang cukup untuk menutupi biaya yang dia keluarkan untuk Ki Rogo. Sementara di dalam benaknya, keraguan terhadap Ki Rogo akhirnya berbicara, “Gua gak yakin Ki Rogo pakai jasa jin yang cuma dibayar tiga batang rokok. Buktinya, pas Bang Gim ngisap rokok gua, jin itu enggak protes ....”

“Pokoknya ntar malam lu datang ke Teler Dewa!” tandas Burojim, menyebut nama sebuah diskotik gelap. “Ini giliran elu ngalahin Fito!”

“Oke!” jawab Gunawan pada akhirnya, terdengar mantap.

Maka, beberapa jam kemudian, di sebuah diskotik gelap, terjadilah satu ajang keramaian yang begitu bising.

Diskotik Teler Dewa disebut diskotik gelap karena di dalamnya memang gelap. Selain itu, disebut gelap karena diskotik itu beroperasi secara ilegal dan hanya mendapat perlindungan dari seorang oknum militer.

Lampu warna-warni yang berkelap-kelip, menyorot tidak beraturan, tidak memberikan penerangan yang begitu jelas di dalam ruangan yang memiliki arena joget massal. House music yang menyentak-nyentak begitu kuat memaksa jantung dan darah untuk ikut berjoget seperti orang kerasukan setan. Tak kenal lagi yang namanya perempuan atau lelaki, mereka bercampur aduk dalam alam irama disko yang diracik oleh seorang DJ (disk jockey) perempuan berambut pendek.

Dengan lihainya, DJ cantik berpakaian agak terbuka bahunya itu memainkan jari-jarinya di CD decks. Sebuah headphones melingkar di leher jenjangnya. Ia pun turut berjoget di tempat, penuh semangat dan enerjik.

Di sisi ruangan yang lain, sama gelap keremangannya, keramaian mengerumuni sebuah meja yang di atasnya penuh oleh dua kelompok botol bir dengan jumlah yang sama. Tampak Gunawan yang berdiri di salah satu sisi meja sedang mendapat dukungan besar dari teman-temannya. Bahkan Burojim memijit-mijit pundak Gunawan.

Di seberang meja lainnya, seorang pria asing berambut kuning juga siap. Ia mendapat dorongan semangat dari beberapa teman bulenya yang lain, termasuk teman-teman Indonesianya. Di tengah-tengah atas meja, sebuah keranjang rotan berisi tumpukan uang. Semuanya berjumlah Rp25 juta.

Bukan hanya mereka yang bertaruh, tapi para penonton tidak mau hanya berstatus penonton, mereka pun mengumpulkan taruhannya kepada seseeorang.

Kondisi botol-botol bir di atas meja semuanya telah tanpa tutup, jadi tinggal tenggak ke tenggorokan.
OK every body, calm!” teriak seorang pria besar berbadan berotot dan berkepala botak. Ia wasit dalam pertaruhan minum bir itu.

Aturannya mudah. Gunawan dan lawan bulenya hanya dituntut minum bir paling banyak dari lawannya. Siapa yang ambruk duluan, maka dia yang kalah. Yang menang akan mendapat uang taruhan Rp25 juta, plus bonus potongan dari uang taruhan para penonton yang jumlahnya bisa lebih besar lagi.

Semangat pertarungan begitu menggelora, dipadu irama musik yang menghentak adrenalin untuk bertarung menjadi juara.

Suara bising dari suporter petarung dan para penonton yang berdesakan beberapa lapis, berubah hening, kecuali musik yang tak berhenti.

Wasit adu minum bir itu mulai berteriak.

“Siaaap!” teriak pria besar itu panjang, memberi aba-aba agar kedua petarung siap memulai.

Wasit mengangkat tangan kanan berototnya tinggi-tinggi.

Go!” pekik wasit sambil menjatuhkan tangannya yang diangkat tadi sebagai tanda mulai.

Dengan cepat penantang bule mengambil sebotol bir yang mulut botolnya langsung dia masukkan ke mulutnya.  Kepalanya mendongak, sementara lehernya terlihat bergerak bergelombang. Bir itu diteguk tanpa henti seperti meminum air es kelapa muda yang begitu segar.

Glek glek glek...!

Rupanya, Gunawan tidak kalah gilanya. Tangan kanan kirinya meraih satu botol. Lalu dua mulut botol ia masukkan ke dalam mulutnya. Air bir itu pun masuk bergelombang tanpa henti ke dalam tenggorokan dan selanjutnya ke perut.


Para pendukung dan penonton terus berteriak memberi semangat kepada jagoannya. (RH)


Berlanjut: Penantang yang Luluh (19)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar