Ilustrasi: membaca Al-Quran. (Thayyiba.com) |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Geng Muslimah Bintang Tujuh (13)
Meski sudah berjaket
tebal, leher sudah dibalut syal dan kedua tangan ditutupi sarung tangan, tapi
tetap saja hawa dingin di tengah malam itu meresap masuk membuat kulit Fito
merasa agak menggigil.
Jalanan Jakarta
lengang, tapi tetap ada kendaraan yang beraktivitas di tengah malam itu. Tidak
butuh waktu lama bagi Fito untuk sampai dan berhenti di halaman sebuah masjid
yang tidak besar, karena keluasannya terbatas oleh dua bangunan rumah di kanan
dan kirinya. Masjid itu tak bertingkat, berwarna putih dan hijau muda. Nama
masjid itu ditulis dengan huruf Arab besar di sisi atas yang berbunyi “Masjid
Ash-Shiroth”.
Setelah memparkir aman
motor besarnya, Fito melepas helm, syal, jaket dan sarung tangannya. Kini ia
tampil memakai baju koko putih bagus.
Fito kemudian pergi
berwudu lalu pergi masuk ke masjid. Di depan sana, depan mimbar, seorang pria
berkoko putih bersarung biru dan berpeci putih, berdiri sedang melaksanakan
salat. Orang itu tidak lain adalah Ustaz Darsono yang kini menjadi guru
spiritual Fito. Jam dinding kotak di atas tembok masjid menunjukkan pukul 02.10
WIB.
Setelah memakai peci
hitamnya, sebagaimana di malam-malam sebelumnya, Fito langsung berdiri merapat
di sisi kanan Ustaz Darsono. Ia menempelkan bahu kirinya dengan bahu kanan
Ustaz, menempelkan sisi luar telapak kaki kirinya dengan sisi luar kaki kanan
Ustaz, mengaturnya sehingga mata kaki dan sisi luar betis keduanya saling
bersentuhan. Karena seperti itulah yang Ustaz Darsono ajarkan kepada Fito
posisi saf orang salat
berjemaah.
Sejak Fito menjadi
makmum dalam salat tahajud itu, Ustaz Darsono mengeraskan bacaan salatnya.
Fito sudah melalui
beberapa malam pembelajaran khusus kepada ustaz penjual bubur ayam itu. Sebelum
mendapat pembelajaran, terlebih dulu mereka melaksanakan salat malam.
Awal-awalnya Fito harus berjuang dan cukup merasa kesulitan mengikuti jadwal
belajar yang tidak biasa itu. Ia harus berjuang bangun jam satu malam dan
melawan rasa kantuk. Pembelajaran yang sampai waktu salat Subuh tersebut,
membuat Fito harus berjuang pula mengatur waktu paginya. Perasaan kantuk yang
berat dan harus berangkat kerja, membuatnya kewalahan mengatur diri.
Namun, itu hanya
beberapa hari awal. Hingga pada akhirnya, Fito merasakan efek positif pada
dirinya. Ilmu yang diajarkan oleh Ustaz Darsono terasa begitu dalam menyerap ke
dalam daya ingatnya sehingga ia merasa menjadi orang bodoh yang banyak baru
tahu. Selain itu, meski ia menghitung dirinya kurang tidur, tapi ia merasa
fisiknya lebih segar, terutama di saat ketika bangun di pagi hari.
Usai menyelesaikan
salat tahajud yang dilengkapi dengan tiga rakaat salat witir, plus berdoa,
mulailah Ustaz Darsono memberi pelajaran kepada Fito. Ustaz Darsono memberikan
sebuah Al-Quran terjemahan kepada pemuda itu.
“Sekarang kamu buka
Al-Quran surat Az-Zalzalah, surat ke-99!” perintah Ustaz Darsono.
Fito segera
melakukannya. Di malam sebelumnya, Fito telah diajarkan bagaimana cara mencari
surat atau ayat di dalam Al-Quran.
“Sudah, Ustaz,” kata
Fito setelah menemukan surat yang dimaksud.
“Kamu baca satu ayat
dengan suara keras, lalu baca terjemahannya dan diam renungkan selama dua
menit,” kata Ustaz Darsono.
Fito pun mulai membaca,
“A’udzu billaahi....”
“Doa menuntut ilmu
dulu!” potong Ustaz Darsono mengingatkan.
“Robbi zidni ‘ilman, alloohumma...” Fito membaca, tapi tersendat
ketika ia lupa.
“Alloohumman fa’ni, bimaa...” Ustaz Darsono menuntun yang segera
diikuti oleh Fito hingga selesai. “Besok malam harus sudah hapal!”
“Bisa minta dituliskan
bacaannya, Ustaz?” tawar Fito.
“Kamu itu orang
kantoran, tinggal cari di Mbah Google. Lanjutkan!”
Fito melanjutkan
membaca ta’awudz dan basmalah. Lalu membaca ayat pertama dari
surat Az-Zalzalah.
“Izaa zulzilatil ardhu zilzalahaa,” baca Fito.
“Idzaa, bukan izaa. Jika
tulisan latin, pakai huruf d dan z, dza.
Idza zulzilatil ardhu zilzalahaa,”
kata Ustaz Darsono mengoreksi.
“Izaa,” ucap Fito mencoba.
“Idzaa, dza dza dza, idzaa zul!” tegas Ustaz Darsono sambil sedikit
memajukan wajahnya untuk memperlihatkan gerak lidahnya di dalam mulutnya yang
agak terbuka.
“Idzaa,” coba Fito lagi.
“Ya. Jadi bedakan dzal dengan zal. Lanjutkan!”
Maka mulailah Fito
membaca dengan benar satu ayat, kemudian membaca terjemahannya, lalu diam
merenungi makna sesuai dengan pemahaman di kepala yang apa adanya. Selanjutnya
ayat kedua, terjemahannya, dan kembali direnungkan dan dibayangkan maknanya.
Sementara Ustaz Darsono
membaca Al-Quran, tetapi jika Fito ada kesalahan dalam membaca ayat, ia segera
meluruskannya.
“Sudah, Ustaz,” kata
Fito setelah selesai merenungkan ayat terakhir dari Surat Az-Zalzalah.
“Gambaran apa yang kamu
dapat?” tanya Ustaz Darsono.
“Film Hollywood,
Ustaz,” jawab Fito seraya tersenyum kecil, khawatir jawabannya salah.
“Film Hollywood yang
seperti apa?” tanya Ustaz Darsono serius, tanpa memandang remeh jawaban pemuda
di depannya itu.
“Seperti filmnya Tom
Cruise, Independence Day yang ada serangan dari alien, Ustaz. Atau seperti
film ‘2012’, kiamatnya Amerika. Atau film Vulcano,
semburan lava. Wah keren, Ustaz. Juga film zombie yang keluar dari dalam kubur.
Wah serem, Ustaz,” ujar Fito berapi-api.
Ustaz Darsono
manggut-manggut. Lalu katanya, “Apa yang kamu tonton itu sedikit pun tidak
menyamai kelebihdahsyatan dan kelebihseraman apa yang terjadi pada hari yang
disebutkan di dalam Al-Quran itu. Itu adalah benar-benar hari kiamat yang akan
menghancurkan seluruh kehidupan di dunia. Dan saat itu, manusia tidak akan bisa
tersenyum sedikit pun.”
“Lalu apa yang dimaksud
dzarrah itu, Ustaz?” tanya Fito.
“Adalah hal yang
seberat biji sawi, atau seberat debu, atau partikel yang lebih kecil dari atom.
Itu menunjukkan bahwa perbuatan sekecil apa pun yang kamu lakukan, yang manusia
lakukan, akan dibalas pada hari itu,” jelas Ustaz Darsono. “Jadi, tidak akan
ada yang luput. Dan kamu hanya akan menuai kerugian, jika niat kamu hanya untuk
seorang perempuan dan harta.”
Fito terdiam menunduk,
merenung. Kemudian ada angguk-angguk kecil oleh kepalanya, seolah ia memahami
sesuatu.
“Sekarang baca Surat
Al-Bayyinah, surat ke-98,” kata Ustaz Darsono, karena ia nanti ingin
menjelaskan tentang perintah menjalankan agama dengan ikhlas, sebagaimana ayat
yang tercantum di dalam surat itu.
Sementara di keesokan
harinya, di sisi lain, Gunawan melakukan pertemuan terakhir dengan guru
spiritualnya, Ki Rogo.
“Ki, saya resah,” keluh
pemuda saingan utama Fito dalam upaya melamar Rani.
“Katakan, sebab ini
adalah pertemuan terakhir kita. Jangan sampai ada yang kamu pendam. Jika ada,
jangan menyesal jika kamu gagal,” kata Ki Rogo dengan nada suara dan ekspresi
wajah yang selalu berwibawa.
“Saya merasa, saingan
saya lebih berpeluang menang dari pada saya,” kata Gunawan dengan wajah
mengerenyit gundah.
“Bodoh!” sentak pria
bersorban dan berjubah putih itu memaki.
Bentakan itu membuat
Gunawan terkejut sehingga secara refleks kepalanya mundur sejengkal dan
wajahnya berubah agak takut.
“Bagaimana saya bisa
memenangkan kamu, kalau kamu sendiri tidak percaya diri begitu, hah?!”
Nada suara Ki Rogo
masih tinggi memarahi Gunawan.
“Kamu sudah kalah,
Gunawan. Sekarang lebih baik kamu pulang!” kata Ki Rogo.
“Tapi, Ki, saya tidak
mau kalah!” kata Gunawan cepat meski dengan suara agak bergetar, wajahnya
berekspresi sedih berharap kepada Ki Rogo.
“Tapi kamu harus percaya
diri seratus persen!” tandas Ki Rogo.
“I... iya, Ki!” jawab
Gunawan dengan nada keras pula.
Ki Rogo sejenak diam
sambil tak berkedip menatap tajam mata Gunawan, membuat pemuda itu merasa kian
tidak nyaman.
“Jadi, kamu tetap mau
terus dan menang?” tanya Ki Rogo lagi.
“Ya, Ki,” jawab Gunawan
lagi, lebih lemah.
“Sebenarnya sangat
sulit. Keraguan kamu membuat peluang kamu turun di bawah 50 persen. Hanya ada
satu cara yang bisa saya tawarkan, yaitu menggunakan jasa kekuatan yang tidak
terlihat,” kata Ki Rogo.
“Maksudnya, Ki?” tanya
Gunawan tidak mengerti.
“Saya akan meminta
bantuan jin,” jelas Ki Rogo.
“Tapi, bukankah itu
musyrik, Ki?” tanya Gunawan dengan nada dan ekspresi wajah takut-takut cemas.
“Lancang!” teriak Ki
Rogo gusar dengan sepasang mata mendelik dalam lingkaran hitam maskaranya.
Bentakan yang lebih
keras dari sebelumnya itu benar-benar membuat Gunawan gemetar ciut.
“Tapi baik, baik, akan
saya jelaskan,” kata Ki Rogo tiba-tiba bernada lembut, dengan seketika ia
menahan amarahnya. “Pertanyaanmu memang wajar, sebab kamu belum mengerti. Kamu
tahu mukjizat Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam?”
“Iya, Ki. Nabi Sulaiman
bisa mengerti bahasa binatang, mengendarai angin dan punya pasukan jin,” jawab
Gunawan dengan nada suara bergetar, efek dari bentakan Ki Rogo tadi.
“Nabi Sulaiman selalu
meminta bantuan jasa para jin. Apakah itu disebut musyrik?” kata Ki Rogo.
“Tentu ti...tidak, Ki,”
jawab Gunawan.
“Benar. Mana mungkin
nabi Allah berbuat musyrik. Nah, hal yang sama akan saya lakukan seperti apa
yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman, yaitu meminta bantuan jasa jin. Saya akan
meminta bantuan jasa beberapa jin yang bersahabat dengan saya. Jin-jin itu akan
membuat saingan kamu mengalami gangguan. Ini jelas kiat yang sangat berat,
tentunya membutuhkan mahar yang juga cukup besar,” ujar Ki Rogo.
“Berapa, Ki?” tanya
Gunawan yang langsung paham dengan istilah mahar, yang berarti pembayaran,
meskipun Ki Rogo berdalih itu adalah sedekah atau infak.
“Lima juta,” jawab Ki
Rogo. “Bagaimana?”
“Tapi bagaimana ya, Ki?
Saya hanya bawa satu juta,” kata Gunawan.
“Untuk yang ini tidak
bisa ditawar, sebab ini kiat yang sangat berat,” tandas Ki Rogo.
“Bagaimana kalau saya
transfer aja, Ki?” tawar Gunawan.
“Bisa, tapi saya baru
bekerja jika uang itu sudah masuk. Ya sudah, kamu boleh pulang, karena cuma
cara itu harapan kamu.”
“Iya, Ki.”
“Ada satu syarat lagi
setelah uang itu ditransfer, yaitu kamu harus menghisap tiga batang rokok
kretek sampai habis dalam satu kali kesempatan. Itu harus diniatkan untuk para
jin, sebagai hadiah bagi mereka karena membantu kamu. Minta bantuan orang saja
kita beri uang rokok, apa lagi mereka,” jelas Ki Rogo.
“Iya, Ki.”
Gunawan akhirnya
pulang.
Meski patuh terhadap
arahan dari guru spiritualnya, tapi hati Gunawan diliputi keraguan.
Namun, keraguannya itu
tidak bisa membantu mencegah dirinya untuk mentrasfer uang sebesar permintaan
Ki Rogo. Dan, keraguannya itu juga tidak menghalanginya untuk membeli tiga
batang rokok yang ia hisap habis tiga batang berturut-turut.
Gunawan merokok di
depan sebuah warteg, seraya menghabiskan waktu sorenya. Di sisinya tegak
segelas tanggung kopi hitam.
Warteg itu adalah salah
satu tempat yang kerap ia mampiri hanya untuk merokok dan mengopi tanpa makan, lokasinya
tidak jauh dari kantor.
Raut wajah Gunawan sore
itu tidak menunjukkan ada kelegaan di dalam hati dan perasaannya. Sangat jelas
tergambar bahwa otaknya sedang berpikir hal yang tidak membuatnya nyaman.
“Gua ragu sama Ki
Rogo,” membatin Gunawan sambil bibirnya menghisap rokok yang masih terjepit di
sela jari tangan kirinya. Usai menghembuskan gumpalan asap dari kedua lubang
hidungnya, tangan kanannya meraih gelas dan mengangkatnya menempel ke bibir.
Hanya rasa asap dan air
hitam itu yang ia rasakan nikmat di sore itu.
Sebuah sepeda motor
bertangki besar berhenti di depan warteg.
“Woiii, rupanya jagoan
gua ada di sini!” seru lelaki pengendara motor kepada Gunawan.
Gunawan yang mengenal pria
15 tahun lebih tua darinya itu, hanya diam memandang. Barulah ketika pria
berkumis berjaket cokelat itu menghampirinya, ia bertanya, “Nyari gua, Bang
Gim?”
“Iya!” jawab pria
bernama Burojim Ahlan yang akrab dipanggil “Gim” saja.
Burojim tampak begitu
senang bertemu dengan Gunawan, seperti menemukan orang yang bisa memberinya
pinjaman utang tanpa bunga.
“Gua dari tadi siang
nyari-nyari elu, sampai gua muter-muter di sekitar tongkrongan biasa,” kata
Burojim dengan nada suara yang agak meledak-ledak, lalu tanpa sungkan mengambil
gelas kopi Gunawan yang kemudian dia minum sambil berdiri. “Taruhannya 20 juta,
Bro!”
“Apaan?” tanya Gunawan
tak mengerti.
Dengan gerakan
bersemangat, Burojim duduk di samping Gunawan sambil menepuk paha pemuda itu.
Seenaknya lagi ia merebut rokok Gunawan dan menghisapnya beberapa kali sedotan
bibir.
Gunawan sendiri tidak
merasa terganggu dengan ulah Burojim yang merupakan salah seorang teman sekantor
dan juga teman di meja minum.
“Ada bule yang lagi
nyari lawan minum. Kalau dia menang, lima juta doang. Tapi kalau dia kalah, 20
juta, Bro!” ujar Burojim penuh semangat menyampaikan “kabar gembira” kepada
Gunawan.
“Gua lagi krisis, duit
gua lagi habis, Bang Gim!” kata Gunawan.
“Tenaaang!” kata
Burojim panjang seraya tertawa enteng. “Kalau elu sampai kalah, gua sama Detol,
Erik, Sugiono dan Uun yang bayarin. Kita orang mah tahu kehebatan elu sama Fito
untuk urusan minum. Gua juga tadi nyari Fito, tapi gak ketemu.”
“Ah, Fito mah udah gak
bakalan minum lagi, dia lagi tobat!”
kata Gunawan.
“Gua lihat sih begitu,
sama ama elu. Tapi gua sama yang lainnya gak percaya kalau lu berdua bakal tobat. Kita orang kenal elu
berdua kayak apa, hahaha!” kata Burojim. “Lu ikut ya?”
“Aduuh!” keluh Gunawan
mengerenyit. Dia jadi bingung. Jelas, dia akan gugur dalam duel dengan Fito
jika ketahuan minum lagi. Namun, separuh dari taruhan itu saja, sudah jumlah
uang yang cukup untuk menutupi biaya yang dia keluarkan untuk Ki Rogo.
Sementara di dalam benaknya, keraguan terhadap Ki Rogo akhirnya berbicara, “Gua
gak yakin Ki Rogo pakai jasa jin yang cuma dibayar tiga batang rokok. Buktinya,
pas Bang Gim ngisap rokok gua, jin itu enggak protes ....”
“Pokoknya ntar malam lu
datang ke Teler Dewa!” tandas Burojim, menyebut nama sebuah diskotik gelap.
“Ini giliran elu ngalahin Fito!”
“Oke!” jawab Gunawan
pada akhirnya, terdengar mantap.
Maka, beberapa jam
kemudian, di sebuah diskotik gelap, terjadilah satu ajang keramaian yang begitu
bising.
Diskotik Teler Dewa
disebut diskotik gelap karena di dalamnya memang gelap. Selain itu, disebut
gelap karena diskotik itu beroperasi secara ilegal dan hanya mendapat
perlindungan dari seorang oknum militer.
Lampu warna-warni yang
berkelap-kelip, menyorot tidak beraturan, tidak memberikan penerangan yang
begitu jelas di dalam ruangan yang memiliki arena joget massal. House music yang menyentak-nyentak
begitu kuat memaksa jantung dan darah untuk ikut berjoget seperti orang kerasukan
setan. Tak kenal lagi yang namanya perempuan atau lelaki, mereka bercampur aduk
dalam alam irama disko yang diracik oleh seorang DJ (disk jockey) perempuan berambut pendek.
Dengan lihainya, DJ
cantik berpakaian agak terbuka bahunya itu memainkan jari-jarinya di CD decks. Sebuah headphones melingkar di leher jenjangnya. Ia pun turut berjoget di
tempat, penuh semangat dan enerjik.
Di sisi ruangan yang
lain, sama gelap keremangannya, keramaian mengerumuni sebuah meja yang di
atasnya penuh oleh dua kelompok botol bir dengan jumlah yang sama. Tampak
Gunawan yang berdiri di salah satu sisi meja sedang mendapat dukungan besar
dari teman-temannya. Bahkan Burojim memijit-mijit pundak Gunawan.
Di seberang meja
lainnya, seorang pria asing berambut kuning juga siap. Ia mendapat dorongan
semangat dari beberapa teman bulenya yang lain, termasuk teman-teman
Indonesianya. Di tengah-tengah atas meja, sebuah keranjang rotan berisi
tumpukan uang. Semuanya berjumlah Rp25 juta.
Bukan hanya mereka yang
bertaruh, tapi para penonton tidak mau hanya berstatus penonton, mereka pun
mengumpulkan taruhannya kepada seseeorang.
Kondisi botol-botol bir
di atas meja semuanya telah tanpa tutup, jadi tinggal tenggak ke tenggorokan.
“OK every body, calm!” teriak seorang pria besar berbadan berotot
dan berkepala botak. Ia wasit dalam pertaruhan minum bir itu.
Aturannya mudah.
Gunawan dan lawan bulenya hanya dituntut minum bir paling banyak dari lawannya.
Siapa yang ambruk duluan, maka dia yang kalah. Yang menang akan mendapat uang
taruhan Rp25 juta, plus bonus potongan dari uang taruhan para penonton yang
jumlahnya bisa lebih besar lagi.
Semangat pertarungan
begitu menggelora, dipadu irama musik yang menghentak adrenalin untuk bertarung
menjadi juara.
Suara bising dari
suporter petarung dan para penonton yang berdesakan beberapa lapis, berubah
hening, kecuali musik yang tak berhenti.
Wasit adu minum bir itu
mulai berteriak.
“Siaaap!” teriak pria
besar itu panjang, memberi aba-aba agar kedua petarung siap memulai.
Wasit mengangkat tangan
kanan berototnya tinggi-tinggi.
“Go!” pekik wasit sambil menjatuhkan tangannya yang diangkat tadi
sebagai tanda mulai.
Dengan cepat penantang
bule mengambil sebotol bir yang mulut botolnya langsung dia masukkan ke
mulutnya. Kepalanya mendongak, sementara
lehernya terlihat bergerak bergelombang. Bir itu diteguk tanpa henti seperti
meminum air es kelapa muda yang begitu segar.
Glek glek glek...!
Rupanya, Gunawan tidak
kalah gilanya. Tangan kanan kirinya meraih satu botol. Lalu dua mulut botol ia
masukkan ke dalam mulutnya. Air bir itu pun masuk bergelombang tanpa henti ke
dalam tenggorokan dan selanjutnya ke perut.
Para pendukung dan
penonton terus berteriak memberi semangat kepada jagoannya. (RH)
Berlanjut: Penantang yang Luluh (19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar