Pilihan Mama (20)

Ilustrasi
Oleh: Rudi Hendrik

Tahun 2016

Sebelumnya:

Kini tinggallah Dedy, Irma dan kedua putri mereka, Rani dan Rina. Mereka duduk bersama di sofa itu. Dedy telah mengatakan bahwa mereka harus menerima keputusan dari Rani sebelum mereka meninggalkan ruangan itu. Keluarga ini sedang bermusyawarah.


Berkumpulnya keempat anggota keluarga itu di satu waktu seperti saat ini, sangat langka terjadi. Dan, memberi kesan yang mendalam saat ini juga. Dengan demikian mereka benar-benar merasa bahwa mereka adalah satu keluarga, meski tanpa si bungsu, yaitu Roni.

Abduh telah pulang dengan membawa satu kesempatan. Pemuda itu akan datang lagi ke rumah tersebut besok malam bersama keluarga besar untuk melamar. Arahan dari Dedy dan Irma kepada Abduh agar datang bersama orang tuanya, memberi pesan bahwa 75 persen peluangnya menikah dengan Rani sudah pasti.

Belum lagi musyawarah keluarga itu dimulai, dari ruangan dalam muncul berlari Lina, pembantu, dengan membawa ponsel yang berbunyi, tanda ada yang menelepon. Rani segera mengenali nada dering ponselnya.

“Sejak tadi berbunyi di kamar, Neng,” kata Lina memberi tahu Rani.

Pembantu itu segera memberikan ponsel yang dibawanya kepada Rani. Namun, nada deringnya terhenti. Saat Rani melihatnya, ada tiga kali panggilan berulang dari Gazza yang tak terjawab.

“Siapa, Ran?” tanya Irma.

“Bang Gazza, Ma,” jawab Rani.

Rina yang duduk di sisi Rani mendelik seperti mendengar sesuatu yang menggembirakan.

“Telepon balik, telepon balik!” seru Rina cepat seraya melotot kepada kakaknya.

“Coba telepon balik, mungkin penting,” kata Irma.

Rani pun menelepon balik.

Assalamu ‘alaikum!” ucap Gazza di telepon, tak perlu waktu lama mendapat jawaban.

Wa ‘alaikum salam!” jawab Rani.

“Keraskan speaker-nya,” bisik Irma.

“Maaf, Bang Gazza, ini saya sedang bersama orang tua dan Rina, bolehkah jika speaker-nya saya keraskan agar mereka dengar?” tanya Rani.

“Kenapa dikasih tahu? Kenapa kamu berubah lugu gitu sih, Ran?” dumel Irma mendengar kata-kata Rani berterus terang pada Gazza, membuat Rina jadi tertawa melihat ekspresi ibunya.

“Silakan, Ran. Itu lebih baik,” kata Gazza di telepon.

Rani pun mengaktifkan speaker ponsel itu sehingga mereka semua bisa mendengar suara Gazza.

Assalamu ‘alaikum, Pak dan Bu!” sapa Gazza.

Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab Dedy dan Irma agak keras.

“Di sini juga ada Rina, Bang!” teriak Rina dengan ekspresi merengut.

“Hahaha!” Gazza malah tertawa mendengar teriakan Rina. Lalu ucapnya, “Assalamu ‘alaikum, Rina!”

Wa ‘alaikum salam warahmatullahi wa barakatuhu!” jawab Rina panjang dan semangat ceria.

“Genit banget sih!” hardik Irma kepada Rina.

Rina malah tertawa cuek.

“Salam kenal, Pak Dedy!” sapa Gazza.

“Ya,” jawab Dedy singkat.

“Saya beberapa kali datang ke hotel milik Pak Dedy, tapi baru belakangan tahu siapa pemiliknya, hahaha!” kata Gazza.

Dedy kerutkan kening mendengar itu, lalu ia bertanya kepada istrinya dengan pandangan mata.

“Gazza wartawan, Pa,” bisik Irma menjelaskan.

“Ya ya ya! Datang ke hotel aku dalam rangka tugas liputan ya?” kata Dedy menanggapi Gazza.

“Benar, Pak,” jawab Gazza. “Saya hanya ingin menyampaikan pesan dari sahabat saya, Awang Setiawan, untuk memperkuat pesan sebelumnya yang telah saya bicarakan bersama Rani dan Ibu di rumah.”

“Lain kali kalau mau ke sini, kasih tahu gua juga dong, Bang!” kata Rina menyahut.

Gaza terdengar tertawa kecil. Setelahnya Gazza berbicara kembali.

“Selain yang pernah saya sampaikan kepada Ibu dan Rani, Awang memberi masukan baru. Ada sebuah pengadilan agama yang disebut Majelis Qadha yang sifatnya internal di sebuah komunitas muslim tertentu. Beberapa hakimnya, saya dan Awang mengenalnya. Para hakimnya orang-orang yang ahli di bidang hukum Islam dan insya Allah proses pengadilan dan putusannya adalah adil. Apa pun nanti putusan para hakim, secara hakikatnya tidak akan merugikan Rani dan itu akan menjadikannya wanita bersih. Dari status, maaf, pezina, menjadi muslimah bertobat yang bersih dari dosa-dosa zina. Jika nantinya Rani bersedia melaksanakan seluruh hasil keputusan dari Majelis Qadha.”

“Tapi nanti, setelah disidang begitu, anak Mama tetap akan dicambuk, kan?” tanya Irma dengan nada agak keras.

“Mungkin saja, bisa iya bisa juga tidak, Bu. Bisa jadi pemahaman saya dan Awang kemungkinan besar akan ada hukum cambuk, tetapi ilmu kami masih sangat terbatas, berbeda dengan para hakim yang tentunya memiliki ilmu yang jauh lebih dalam dan tinggi,” jawab Gazza.

“Lokasi Majelis Qadha itu sendiri di mana, Dik Gazza?” tanya Dedy.

“Di Lampung, Pak.”

“Bagaimana dengan legalitas pengadilan agama itu sendiri?” tanya Dedy lagi.

“Pengadilan ini sedikit pun tidak diintervensi oleh hukum-hukum negara, Pak. Pengadilan ini murni berdasarkan syariat Islam yang khusus untuk mengadili dengan adil dan bijaksana orang-orang yang mau tunduk kepada hukum-hukum Allah semata. Majelis Qadha ini bekerja hanya untuk beribadah kepada Allah semata, Pak,” jelas Gazza. “Ini hanya sekedar masukan dan informasi penting yang semoga saja bisa mempengaruhi keputusan final Rani.”

“Terima kasih, Dik Gazza,” ucap Dedy. “Tentunya akan kami pertimbangkan masukannya.”

“Saya rasa cukup sampai di sini dulu, Pak,” kata Gazza.

“Bang Gazza!” panggil Rina cepat. Lalu tanpa memperdulikan pandangan ayah dan ibunya, ia bertanya kepada Gazza, “Kapan Bang Gazza dan Bang Awang mau datang ke mari?”

“Hanya jika Rani memilih Awang,” jawab Gazza.

“Hanya,” ucap Rina bernada kecewa.

Barakallah fiikum, assalamu ‘alaikum!” ucap Gazza mengakhiri pembicaraannya.

Wa ‘alaikum salam!” jawab mereka.

“Mama tetap tidak setuju, tetap saja itu akan membuat kamu dicambuk, Rani!” tandas Irma. “Mama rasa Abduh adalah pilihan yang tepat. Meski kamu belum begitu kenal, cinta akan datang seiring itu. Terlebih lagi kita belum pernah bertemu dengan yang namanya Awang itu, cuma Rina yang pernah.”

“Tapi Rina pilih Awang, Ma,” kata Rina menimpali.

“Tapi Awang akan membuat kakakmu dicambuk. Kamu tega melihatnya?” kata Irma.

“Kalau memang itu adalah cara membersihkan dosa Rani, kenapa tidak. Daripada memilih yang aman sedangkan dosanya tidak terjamin bersih, buat apa? Itukan sama saja cuma untuk menutup aib, Ma,” kilah Rina tidak mau kalah.

“Waw! Rina sudah bisa berdebat dalam masalah agama, ya,” kata Dedy seraya tersenyum kecil.

Rina jadi terdiam merengut mendengar kata-kata ayahnya yang baginya bukanlah suatu pujian, tapi sindiran. Timbul kedongkolan di dalam hatinya.

“Papa sendiri lebih cenderung agar masalah ini cepat selesai dan aib ini bisa tertutupi dengan baik,” kata Dedy.

“Rina enggak setuju sama pemikiran Papa!” sergah Rina lalu diam lagi dan memilih mengambil setangkai anggur di keranjang buah di meja.

“Rani, siapa pilihanmu?” tanya Dedy.

Rani tidak langsung menjawab. Dengan wajah sedikit mengerenyit, ia membalas pandangan ayah dan ibunya.

“Siapa, Ran?” tanya Irma mendesak.

“Saya lebih memilih Awang, Ma,” jawab Rani.

“Mama tidak setuju!” pekik Irma cepat seraya berdiri. “Kamu akan dicambuk dan kamu pasti mati. Sekuat apa tubuh kamu itu menahan cambukan? Bagaimana kamu mau menikah kalau kamu mati?”

“Tapi Rani ikhlas, kalaupun Rani nantinya sampai mati dicambuk,” ucap Rani lirih.

“Tapi Mama dan Papa yang tidak ikhlas!” tegas Irma. Benar-benar marah. Ia masih berdiri.

“Ma!” kata Rina kembali buka suara. “Bang Fito, Gunawan dan Abduh, mereka datang kepada Rani. Tapi Bang Awang, kita yang datang menawarkan Rani. Ini menunjukkan Bang Awang punya kedudukan lebih terhormat dibandingkan yang lain. Dia enggak memandang kecantikan Rani dan enggak memandang kekayaan kita.”

“Itu tandanya dia enggak cinta sama Rani!” debat Irma pula.

Irma lalu melangkah meninggalkan forum musyawarah itu. Sebelum pergi dari ruang tamu itu, ia berhenti dan berbalik.

“Pokoknya tidak ada lagi kesempatan untuk Gazza dan Awang. Kalau kamu memilih mereka, Mama akan lepas tangan!” teriak Irma.

Rani dan Rina hanya terdiam. Akhirnya dengan gerakan yang menunjukkan kekesalan, Rina bangkit dan berjalan menuju tangga untuk naik ke kamarnya di lantai dua.

“Sepertinya tidak ada jalan lain selain kamu menuruti kemauan mamamu,” kata Dedy.

Rani hanya terdiam. Seketika itu juga, pikirannya menjadi kalut, karena pilihannya justru ditolak oleh ibunya.

Sementara itu, di kamarnya Rina menelepon.

“Wi, elu bisa sambungin gua ke Badar, gak?” tanya Rina kepada sahabat satu gengnya Indah Pertiwi yang sedang belajar di kelas.

“Entar gua telepon balik, lagi jamnya Pak Suryo!” kata Indah berbisik di ponsel seraya agak merunduk, menghindari pandangan Pak Suryo yang terkenal galak.

Guru yang saat ini mengajar di kelas dua sekretaris adalah Suryo Manutdilogo, guru matematika yang terkenal “killer”. Pria berkulit hitam dengan potongan rambut seperti ABRI.

“Pak!” seru Indah seraya angkat tangan kanan.

“Hem?” tanya Pak Suryo dengan tatapan tajam kepada Indah.

“Izin ke belakang, Pak!” kata Indah.

“Silakan,” kata Pak Suryo mengizinkan.

Kepergian Indah Pertiwi mendapat perhatian dari kelima siswi teman satu Geng Bintang Tujuh lainnya. Mereka yakin Indah tidak bermaksud pergi ke toilet. Mereka ingin ikut, tapi itu tidak akan mungkin jika gurunya adalah Pak Suryo.

Indah melangkah pergi ke pintu kelas dua akuntansi. Indah izin dengan guru pengajar untuk bicara kepada Barada, dengan dalih urusan penting.

Barada pun izin kepada gurunya dan segera menemui Indah.

“Ada apa?” tanya Barada setibanya di luar kelas.

“Rina mau bicara sama elu. Yuk ke wc, takut kepergok Pak Suryo!” kata Indah.

Barada hanya tertawa datar, membuat lesung pipi gadis berjilbab itu terlihat jelas mempermanis wajahnya. Keduanya segera turun ke lantai dasar, tempat toilet berada.

“Sepertinya penting banget, ya?” tanya Barada.

“Tebak-tebakan gua sih, Kak Rani sudah milih calon, tapi bukan Bang Awang,” kata Indah.

Sambil menuruni tangga, Indah menelepon Rina. Rina yang memang sudah menunggu di kamarnya, segera menjawab. Indah memberikan ponselnya kepada Barada.

Assalamu ‘alaikum, Cantik!” salam Barada dengan tersenyum, seraya mereka masuk area toilet wanita.

Wa ‘alaikum salaaam,” jawab Rina seraya tertawa kecil karena disebut “Cantik”. Namun, tawanya seketika berubah menjadi curahan kekecewaannya terhadap apa yang baru saja terjadi di rumahnya. “Usaha kita jadi sia-sia, Badar. Kita semua berharap Rani memilih Bang Awang, dan Rani sudah memilih Bang Awang. Tapi Mama enggak setuju dengan alasan Rani akan dihukum cambuk. Mama pasang harga mati yang menolak Bang Awang. Mama setujunya sama Abduh yang muncul belakangan. Imbasnya, Mama juga menolak Bang Gazza!”

“Terus, masalahnya apa?” tanya Barada seolah tidak mengerti.

“Ih, Badar!” kesal Rina. “Masalahnya adalah Rani terpaksa menikah dengan Abduh, bukan dengan Bang Awang pilihan Rani!”

Insya Allah jodoh Kak Rani enggak akan ke mana, Rin. Jika memang nyatanya Bang Awang bukan jodoh Kak Rani, kita juga tidak bisa memaksakan. Mungkin Allah memang menghendaki Bang Abduh adalah jodoh Kak Rani,” ujar Barada.

“Aaah!” pekik Rina kesal mendengar tanggapan Barada. Awalnya ia berharap Barada memberi solusi, tapi justru menguatkan mamanya.

“Tenang, Rin!” kata Barada.

“Kenapa sih?” tanya Indah penasaran.

Barada sejenak melihat suasana di toilet itu, tidak ada pintu yang tertutup, menunjukkan tidak ada orang lain di tempat itu selain mereka. Maka Barada memutuskan mengaktifkan speaker ponsel agar Indah pun bisa mendengar percakapan dengan Rina.

“Terus, kita biarin aja Rani nikah sama Abduh? Sedangkan kita enggak ngapa-ngapain?” tanya Rina dengan nada protes.

“Tentunya kita berusaha, tapi kita tidak bisa memaksa harus sesuai dengan apa yang kita inginkan. Jangan sampai kita memaksa, apalagi bila justru menciptakan masalah yang lebih serius. Hubungan anak dan orang tua juga sangat penting, Cantik,” kata Barada.

“Elu ke sini kek, Badar. Coba yakinkan Mama sama Papa!”

“Enggak bisa dong, Rin,” tolak Barada.

“Kenapa enggak bisa? Gua yang hancur aja elu bisa benerin, elu juga pasti bisa benerin pemikiran Mama!” tandas Rina.

“Hahaha!”

Kata-kata Rina membuat Barada dan Indah tertawa, tapi justru membuat Rina kian kesal.

“Begini loh, Bu,” kata Barada lagi, kali ini menyebut Rina “ibu”. “Pertama, siapa saya? Saya anak kemarin sore yang baru tumbuh, sedangkan orangtua kamu adalah orang tua. Levelnya enggak kena. Memang bisa saja saya datang bertemu bapak ibu kamu dan mencoba memahamkan mereka tentang pilihan Kak Rani, tapi mereka juga memiliki pemikiran yang menurut versi mereka adalah benar. Dan saya sangat yakin, jika saya melakukan hal itu, mereka justru akan tersinggung. Dan orang yang pantas berbicara kepada mereka adalah orang yang seusia dengan mereka atau yang lebih tua. Yang kedua, masalah ini adalah urusan dalam negeri keluarga kamu. Tidak mungkin saya bisa bebas melakukan banyak intervensi. Demikian, Cantik.”

“Iya, Rin. Gua sepakat sama Badar!” sahut Indah.

“Ternyata enggak ada jalan. Padahal besok malam Abduh akan datang bersama keluarga besarnya,” keluh Rina.

“Saran saya sih, kita ikut arus saja sambil menunggu adanya peluang. Kita doakan saja Kak Rani memang dapat yang terbaik. Dan, yakinilah, siapa pun yang terpilih untuk Kak Rani, itulah yang terbaik Allah berikan. Yakinlah, Allah Mahabaik. Bagaimana, Bu?” kata Barada.

“Oke deh kalau begitu,” ucap Rina akhirnya, hempaskan napas pasrah. “Eh, mau dengar cerita mahal, gak?”

“Apaan?” tanya Barada dan Indah bersamaan.

“Tentang dua calon yang lain, Bang Fito sama Gunawan. Ceritanya begini ....” (RH)



Berlanjut: Pesan dari Pendekar (21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar