Ilustrasi |
Oleh: Rudi Hendrik
Tahun 2016
Sebelumnya:
Kini tinggallah Dedy, Irma dan kedua putri mereka, Rani dan Rina. Mereka
duduk bersama di sofa itu. Dedy telah mengatakan bahwa mereka harus menerima
keputusan dari Rani sebelum mereka meninggalkan ruangan itu. Keluarga ini
sedang bermusyawarah.
Berkumpulnya keempat anggota keluarga itu di satu waktu seperti saat ini,
sangat langka terjadi. Dan, memberi kesan yang mendalam saat ini juga. Dengan
demikian mereka benar-benar merasa bahwa mereka adalah satu keluarga, meski
tanpa si bungsu, yaitu Roni.
Abduh telah pulang dengan membawa satu kesempatan. Pemuda itu akan
datang lagi ke rumah tersebut besok malam bersama keluarga besar untuk melamar.
Arahan dari Dedy dan Irma kepada Abduh agar datang bersama orang tuanya,
memberi pesan bahwa 75 persen peluangnya menikah dengan Rani sudah pasti.
Belum lagi musyawarah keluarga itu dimulai, dari ruangan dalam muncul
berlari Lina, pembantu, dengan membawa ponsel yang berbunyi, tanda ada yang
menelepon. Rani segera mengenali nada dering ponselnya.
“Sejak tadi berbunyi di kamar, Neng,” kata Lina memberi tahu Rani.
Pembantu itu segera memberikan ponsel yang dibawanya kepada Rani. Namun,
nada deringnya terhenti. Saat Rani melihatnya, ada tiga kali panggilan berulang
dari Gazza yang tak terjawab.
“Siapa, Ran?” tanya Irma.
“Bang Gazza, Ma,” jawab Rani.
Rina yang duduk di sisi Rani mendelik seperti mendengar sesuatu yang
menggembirakan.
“Telepon balik, telepon balik!” seru Rina cepat seraya melotot kepada
kakaknya.
“Coba telepon balik, mungkin penting,” kata Irma.
Rani pun menelepon balik.
“Assalamu ‘alaikum!” ucap
Gazza di telepon, tak perlu waktu lama mendapat jawaban.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab
Rani.
“Keraskan speaker-nya,” bisik
Irma.
“Maaf, Bang Gazza, ini saya sedang bersama orang tua dan Rina, bolehkah
jika speaker-nya saya keraskan agar
mereka dengar?” tanya Rani.
“Kenapa dikasih tahu? Kenapa kamu berubah lugu gitu sih, Ran?” dumel
Irma mendengar kata-kata Rani berterus terang pada Gazza, membuat Rina jadi
tertawa melihat ekspresi ibunya.
“Silakan, Ran. Itu lebih baik,” kata Gazza di telepon.
Rani pun mengaktifkan speaker
ponsel itu sehingga mereka semua bisa mendengar suara Gazza.
“Assalamu ‘alaikum, Pak dan
Bu!” sapa Gazza.
“Wa ‘alaikum salam warahmatullah!”
jawab Dedy dan Irma agak keras.
“Di sini juga ada Rina, Bang!” teriak Rina dengan ekspresi merengut.
“Hahaha!” Gazza malah tertawa mendengar teriakan Rina. Lalu ucapnya, “Assalamu ‘alaikum, Rina!”
“Wa ‘alaikum salam warahmatullahi
wa barakatuhu!” jawab Rina panjang dan semangat ceria.
“Genit banget sih!” hardik Irma kepada Rina.
Rina malah tertawa cuek.
“Salam kenal, Pak Dedy!” sapa Gazza.
“Ya,” jawab Dedy singkat.
“Saya beberapa kali datang ke hotel milik Pak Dedy, tapi baru belakangan
tahu siapa pemiliknya, hahaha!” kata Gazza.
Dedy kerutkan kening mendengar itu, lalu ia bertanya kepada istrinya
dengan pandangan mata.
“Gazza wartawan, Pa,” bisik Irma menjelaskan.
“Ya ya ya! Datang ke hotel aku dalam rangka tugas liputan ya?” kata Dedy
menanggapi Gazza.
“Benar, Pak,” jawab Gazza. “Saya hanya ingin menyampaikan pesan dari
sahabat saya, Awang Setiawan, untuk memperkuat pesan sebelumnya yang telah saya
bicarakan bersama Rani dan Ibu di rumah.”
“Lain kali kalau mau ke sini, kasih tahu gua juga dong, Bang!” kata Rina
menyahut.
Gaza terdengar tertawa kecil. Setelahnya Gazza berbicara kembali.
“Selain yang pernah saya sampaikan kepada Ibu dan Rani, Awang memberi
masukan baru. Ada sebuah pengadilan agama yang disebut Majelis Qadha yang sifatnya
internal di sebuah komunitas muslim tertentu. Beberapa hakimnya, saya dan Awang
mengenalnya. Para hakimnya orang-orang yang ahli di bidang hukum Islam dan insya Allah proses pengadilan dan
putusannya adalah adil. Apa pun nanti putusan para hakim, secara hakikatnya tidak
akan merugikan Rani dan itu akan menjadikannya wanita bersih. Dari status, maaf,
pezina, menjadi muslimah bertobat yang bersih dari dosa-dosa zina. Jika
nantinya Rani bersedia melaksanakan seluruh hasil keputusan dari Majelis Qadha.”
“Tapi nanti, setelah disidang begitu, anak Mama tetap akan dicambuk,
kan?” tanya Irma dengan nada agak keras.
“Mungkin saja, bisa iya bisa juga tidak, Bu. Bisa jadi pemahaman saya
dan Awang kemungkinan besar akan ada hukum cambuk, tetapi ilmu kami masih sangat
terbatas, berbeda dengan para hakim yang tentunya memiliki ilmu yang jauh lebih
dalam dan tinggi,” jawab Gazza.
“Lokasi Majelis Qadha itu sendiri di mana, Dik Gazza?” tanya Dedy.
“Di Lampung, Pak.”
“Bagaimana dengan legalitas pengadilan agama itu sendiri?” tanya Dedy
lagi.
“Pengadilan ini sedikit pun tidak diintervensi oleh hukum-hukum negara,
Pak. Pengadilan ini murni berdasarkan syariat Islam yang khusus untuk mengadili
dengan adil dan bijaksana orang-orang yang mau tunduk kepada hukum-hukum Allah semata.
Majelis Qadha ini bekerja hanya untuk beribadah kepada Allah semata, Pak,”
jelas Gazza. “Ini hanya sekedar masukan dan informasi penting yang semoga saja
bisa mempengaruhi keputusan final Rani.”
“Terima kasih, Dik Gazza,” ucap Dedy. “Tentunya akan kami pertimbangkan
masukannya.”
“Saya rasa cukup sampai di sini dulu, Pak,” kata Gazza.
“Bang Gazza!” panggil Rina cepat. Lalu tanpa memperdulikan pandangan
ayah dan ibunya, ia bertanya kepada Gazza, “Kapan Bang Gazza dan Bang Awang mau
datang ke mari?”
“Hanya jika Rani memilih Awang,” jawab Gazza.
“Hanya,” ucap Rina bernada kecewa.
“Barakallah fiikum, assalamu
‘alaikum!” ucap Gazza mengakhiri pembicaraannya.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab
mereka.
“Mama tetap tidak setuju, tetap saja itu akan membuat kamu dicambuk, Rani!”
tandas Irma. “Mama rasa Abduh adalah pilihan yang tepat. Meski kamu belum
begitu kenal, cinta akan datang seiring itu. Terlebih lagi kita belum pernah
bertemu dengan yang namanya Awang itu, cuma Rina yang pernah.”
“Tapi Rina pilih Awang, Ma,” kata Rina menimpali.
“Tapi Awang akan membuat kakakmu dicambuk. Kamu tega melihatnya?” kata
Irma.
“Kalau memang itu adalah cara membersihkan dosa Rani, kenapa tidak.
Daripada memilih yang aman sedangkan dosanya tidak terjamin bersih, buat apa?
Itukan sama saja cuma untuk menutup aib, Ma,” kilah Rina tidak mau kalah.
“Waw! Rina sudah bisa berdebat dalam masalah agama, ya,” kata Dedy
seraya tersenyum kecil.
Rina jadi terdiam merengut mendengar kata-kata ayahnya yang baginya
bukanlah suatu pujian, tapi sindiran. Timbul kedongkolan di dalam hatinya.
“Papa sendiri lebih cenderung agar masalah ini cepat selesai dan aib ini
bisa tertutupi dengan baik,” kata Dedy.
“Rina enggak setuju sama pemikiran Papa!” sergah Rina lalu diam lagi dan
memilih mengambil setangkai anggur di keranjang buah di meja.
“Rani, siapa pilihanmu?” tanya Dedy.
Rani tidak langsung menjawab. Dengan wajah sedikit mengerenyit, ia
membalas pandangan ayah dan ibunya.
“Siapa, Ran?” tanya Irma mendesak.
“Saya lebih memilih Awang, Ma,” jawab Rani.
“Mama tidak setuju!” pekik Irma cepat seraya berdiri. “Kamu akan
dicambuk dan kamu pasti mati. Sekuat apa tubuh kamu itu menahan cambukan?
Bagaimana kamu mau menikah kalau kamu mati?”
“Tapi Rani ikhlas, kalaupun Rani nantinya sampai mati dicambuk,” ucap
Rani lirih.
“Tapi Mama dan Papa yang tidak ikhlas!” tegas Irma. Benar-benar marah.
Ia masih berdiri.
“Ma!” kata Rina kembali buka suara. “Bang Fito, Gunawan dan Abduh,
mereka datang kepada Rani. Tapi Bang Awang, kita yang datang menawarkan Rani.
Ini menunjukkan Bang Awang punya kedudukan lebih terhormat dibandingkan yang
lain. Dia enggak memandang kecantikan Rani dan enggak memandang kekayaan kita.”
“Itu tandanya dia enggak cinta sama Rani!” debat Irma pula.
Irma lalu melangkah meninggalkan forum musyawarah itu. Sebelum pergi
dari ruang tamu itu, ia berhenti dan berbalik.
“Pokoknya tidak ada lagi kesempatan untuk Gazza dan Awang. Kalau kamu
memilih mereka, Mama akan lepas tangan!” teriak Irma.
Rani dan Rina hanya terdiam. Akhirnya dengan gerakan yang menunjukkan
kekesalan, Rina bangkit dan berjalan menuju tangga untuk naik ke kamarnya di
lantai dua.
“Sepertinya tidak ada jalan lain selain kamu menuruti kemauan mamamu,”
kata Dedy.
Rani hanya terdiam. Seketika itu juga, pikirannya menjadi kalut, karena
pilihannya justru ditolak oleh ibunya.
Sementara itu, di kamarnya Rina menelepon.
“Wi, elu bisa sambungin gua ke Badar, gak?” tanya Rina kepada sahabat
satu gengnya Indah Pertiwi yang sedang belajar di kelas.
“Entar gua telepon balik, lagi jamnya Pak Suryo!” kata Indah berbisik di
ponsel seraya agak merunduk, menghindari pandangan Pak Suryo yang terkenal
galak.
Guru yang saat ini mengajar di kelas dua sekretaris adalah Suryo
Manutdilogo, guru matematika yang terkenal “killer”.
Pria berkulit hitam dengan potongan rambut seperti ABRI.
“Pak!” seru Indah seraya angkat tangan kanan.
“Hem?” tanya Pak Suryo dengan tatapan tajam kepada Indah.
“Izin ke belakang, Pak!” kata Indah.
“Silakan,” kata Pak Suryo mengizinkan.
Kepergian Indah Pertiwi mendapat perhatian dari kelima siswi teman satu
Geng Bintang Tujuh lainnya. Mereka yakin Indah tidak bermaksud pergi ke toilet.
Mereka ingin ikut, tapi itu tidak akan mungkin jika gurunya adalah Pak Suryo.
Indah melangkah pergi ke pintu kelas dua akuntansi. Indah izin dengan guru
pengajar untuk bicara kepada Barada, dengan dalih urusan penting.
Barada pun izin kepada gurunya dan segera menemui Indah.
“Ada apa?” tanya Barada setibanya di luar kelas.
“Rina mau bicara sama elu. Yuk ke wc, takut kepergok Pak Suryo!” kata
Indah.
Barada hanya tertawa datar, membuat lesung pipi gadis berjilbab itu
terlihat jelas mempermanis wajahnya. Keduanya segera turun ke lantai dasar,
tempat toilet berada.
“Sepertinya penting banget, ya?” tanya Barada.
“Tebak-tebakan gua sih, Kak Rani sudah milih calon, tapi bukan Bang
Awang,” kata Indah.
Sambil menuruni tangga, Indah menelepon Rina. Rina yang memang sudah
menunggu di kamarnya, segera menjawab. Indah memberikan ponselnya kepada
Barada.
“Assalamu ‘alaikum, Cantik!”
salam Barada dengan tersenyum, seraya mereka masuk area toilet wanita.
“Wa ‘alaikum salaaam,” jawab
Rina seraya tertawa kecil karena disebut “Cantik”. Namun, tawanya seketika
berubah menjadi curahan kekecewaannya terhadap apa yang baru saja terjadi di
rumahnya. “Usaha kita jadi sia-sia, Badar. Kita semua berharap Rani memilih
Bang Awang, dan Rani sudah memilih Bang Awang. Tapi Mama enggak setuju dengan
alasan Rani akan dihukum cambuk. Mama pasang harga mati yang menolak Bang
Awang. Mama setujunya sama Abduh yang muncul belakangan. Imbasnya, Mama juga
menolak Bang Gazza!”
“Terus, masalahnya apa?” tanya Barada seolah tidak mengerti.
“Ih, Badar!” kesal Rina. “Masalahnya adalah Rani terpaksa menikah dengan
Abduh, bukan dengan Bang Awang pilihan Rani!”
“Insya Allah jodoh Kak Rani
enggak akan ke mana, Rin. Jika memang nyatanya Bang Awang bukan jodoh Kak Rani,
kita juga tidak bisa memaksakan. Mungkin Allah memang menghendaki Bang Abduh
adalah jodoh Kak Rani,” ujar Barada.
“Aaah!” pekik Rina kesal mendengar tanggapan Barada. Awalnya ia berharap
Barada memberi solusi, tapi justru menguatkan mamanya.
“Tenang, Rin!” kata Barada.
“Kenapa sih?” tanya Indah penasaran.
Barada sejenak melihat suasana di toilet itu, tidak ada pintu yang
tertutup, menunjukkan tidak ada orang lain di tempat itu selain mereka. Maka
Barada memutuskan mengaktifkan speaker
ponsel agar Indah pun bisa mendengar percakapan dengan Rina.
“Terus, kita biarin aja Rani nikah sama Abduh? Sedangkan kita enggak
ngapa-ngapain?” tanya Rina dengan nada protes.
“Tentunya kita berusaha, tapi kita tidak bisa memaksa harus sesuai
dengan apa yang kita inginkan. Jangan sampai kita memaksa, apalagi bila justru
menciptakan masalah yang lebih serius. Hubungan anak dan orang tua juga sangat
penting, Cantik,” kata Barada.
“Elu ke sini kek, Badar. Coba yakinkan Mama sama Papa!”
“Enggak bisa dong, Rin,” tolak Barada.
“Kenapa enggak bisa? Gua yang hancur aja elu bisa benerin, elu juga
pasti bisa benerin pemikiran Mama!” tandas Rina.
“Hahaha!”
Kata-kata Rina membuat Barada dan Indah tertawa, tapi justru membuat
Rina kian kesal.
“Begini loh, Bu,” kata Barada lagi, kali ini menyebut Rina “ibu”.
“Pertama, siapa saya? Saya anak kemarin sore yang baru tumbuh, sedangkan
orangtua kamu adalah orang tua. Levelnya enggak kena. Memang bisa saja saya
datang bertemu bapak ibu kamu dan mencoba memahamkan mereka tentang pilihan Kak
Rani, tapi mereka juga memiliki pemikiran yang menurut versi mereka adalah
benar. Dan saya sangat yakin, jika saya melakukan hal itu, mereka justru akan
tersinggung. Dan orang yang pantas berbicara kepada mereka adalah orang yang
seusia dengan mereka atau yang lebih tua. Yang kedua, masalah ini adalah urusan
dalam negeri keluarga kamu. Tidak mungkin saya bisa bebas melakukan banyak
intervensi. Demikian, Cantik.”
“Iya, Rin. Gua sepakat sama Badar!” sahut Indah.
“Ternyata enggak ada jalan. Padahal besok malam Abduh akan datang
bersama keluarga besarnya,” keluh Rina.
“Saran saya sih, kita ikut arus saja sambil menunggu adanya peluang.
Kita doakan saja Kak Rani memang dapat yang terbaik. Dan, yakinilah, siapa pun
yang terpilih untuk Kak Rani, itulah yang terbaik Allah berikan. Yakinlah,
Allah Mahabaik. Bagaimana, Bu?” kata Barada.
“Oke deh kalau begitu,” ucap Rina akhirnya, hempaskan napas pasrah. “Eh,
mau dengar cerita mahal, gak?”
“Apaan?” tanya Barada dan Indah bersamaan.
“Tentang dua calon yang lain, Bang Fito sama Gunawan. Ceritanya begini ....”
(RH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar