Terjebak Lingkaran Hitam (9)

Ilustrasi: terbelenggu. (Gambar: Potret Online)
Novel: Ratu Suku Lix
Tahun 2017

Bab Sebelumnya:


Ini kedua kalinya Afrizal menginjakkan kakinya di rumah mewah itu. Dengan dikawal dua lelaki besar, ia membawa tumpukan kotak-kotak martabak yang diantarnya. Kali ini rumah itu tidak ada keramaian dan musik, sepi-sepi saja.
Dalam kegundahan dan kebingungannya, akhirnya Afrizal memutuskan mengantar pesanan ke si pemesan, meskipun kurang dua porsi. Ia telah siap menanggung kerugian ataupun tuntutan si pemesan. Usai mengantarkan paket, barulah ia akan pulang untuk mempertanggungjawabkan kecerobohannya kepada bosnya, yaitu Ringgo.

Afrizal dan kedua lelaki besar itu masuk ke dalam hingga tembus ke sisi belakang rumah, di kolam renang yang besar. Tidak jauh di pinggir kolam renang berpola angka tiga itu, duduklah Garda Prabowo menekuni laptopnya. Di sisi laptopnya ada secangkir minuman yang masih berasap tipis dan sebuah ponsel. Di sisi lain di meja yang sama, ada pula cangkir yang lain, tetapi kursinya kosong.

Garda Prabowo menunjuk lantai dekat meja, memerintahkan agar paket martabak yang dibawa Afrizal diletakkan di sana. 

Afrizal dan kedua anak buah Garda meletakkan tumpukan martabak di lantai dekat kaki meja kaca itu. Usai itu, Afrizal tidak langsung keluarkan surat tanda terima, ia berdiri diam tidak jauh dari meja menghadap kepada Garda yang sibuk dengan pekerjaannya. Afrizal bisa melihat adanya bias sinar merah redup dari balik lengan kanan baju Garda.

“Bicaralah!” perintah Garda kepada Afrizal tanpa memandangnya, karena ia tetap fokus kepada pekerjaannya.
“Ee... begini, Bos. Martabak pesanannya dicuri orang dua kotak,” kata Afrizal agak gugup.
Dingin reaksi yang diberikan oleh Garda. Ia menutup laptopnya begitu saja.
“Duduk!” perintahnya lagi.
Afrizal selaku orang yang bersalah, hanya menurut. Ia duduk di kursi yang kosong, berseberangan dengan Garda.
“Diminum!” perintah Garda lagi.
Afrizal mengangguk patuh, lalu meraih cangkir berisi kopi di depannya. Minuman itu seolah memang disediakan untuknya.
Dari sisi lain muncul seorang lelaki botak berkaos hitam. Jari tangan kirinya menenteng sebuah kacamata hitam. Ia adalah Dhoni Sardi. Ia memilih duduk di kursi lain, agak jauh dari meja Garda, tapi perhatiannya tertuju kepada Afrizal.
Ketika Afrizal menyempatkan diri memandang kepada Dhoni Sardi, ia pun melihat adanya sinar redup merah dari balik kain hitam lengan kanan baju pria botak itu. Namun, Afrizal tidak tahu sinar aneh apa itu. Sementara dua pria besar bernama Del dan Joy berdiri tepat di belakang kursi Afrizal, seolah berdiri menjaga Afrizal agar tidak kabur ke mana-mana.
Kondisi itu membuat pribadi Afrizal cukup was-was. Namun, pikir Afrizal, bukankah dia hanya menghilangkan dua kotak makanan? Ia tidak menghilangkan uang senilai ratusan juta. Ia merasa bisa menggantinya meski dengan harga yang dua atau tiga kali lipat.
“Beri Afrizal satu kotak, Joy!” perintah Garda.
Joy yang berwajah sangar dengan mata model lebar, bergerak mengambil satu kotak martabak dan meletakkannya di depan Afrizal.
“Kamu sudah pernah makan martabak?” tanya Garda santai dengan punggung disandarkan.
“Sudah, Bos,” jawab Afrizal.
“Martabak pesanan khusus?” tanya Garda lagi.
“Belum, Bos.”
“Sekarang cobalah makan yang khusus ini!”
Sadar telah berbuat salah, Afrizal masih menurut, karena menurutnya permintaan konsumen yang satu ini masih wajar. Afrizal membuka kotak wadah itu. Ketika dibuka, aroma martabak itu memang lebih enak dan wangi dibandingkan martabak yang biasa. Afrizal pun mengambil satu potong dan memakannya.
“Ringgo sudah telepon saya sebelum kamu sampai ke sini,” kata Garda. “Saya sudah lama menjadi pelanggan Martabak Raja Rasa ini. Saya adalah pelanggan nomor satu. Kurir sebelum kamu, Zal, saya tidak berani pesan banyak. Barulah di tangan kamu, saya pesan besar, padahal saya tidak suka dengan martabak.”
Mendengar kalimat terakhir Garda, raut wajah Afrizal berubah heran.
“Lalu untuk apa Bos selalu pesan martabak sebanyak ini jika tidak suka martabak? Untuk orang lain?” tanya Afrizal, sekaligus untuk mencairkan komunikasinya.
“Tumpukan yang paling bawah. Itulah yang paling saya sukai dari martabak pesanan khusus yang suka kamu bawa ini.”
Afrizal lalu mencoba membongkar tumpukan atas untuk mengambil tumpukan bawah dalam kotak itu. Namun, kening Afrizal jadi berkerut saat ia mendapatkan benda putih yang dibungkus plastik kecil putih. Tidak hanya satu bungkus, tapi beberapa. Ia ambil satu bungkus dan juga menunjukkannya kepada Garda dan yang lainnya.

“Apa ini, Bos?” tanya Afrizal.
“Kamu tidak tahu itu apa, Zal?” tanya Garda seraya tersenyum samar, ia menilai ketidaktahuan Afrizal itu adalah hal yang lucu.
“Tidak, Bos,” jawab Afrizal lugu.
“Di setiap martabak pesanan khusus, pasti ada benda-benda itu. Tanpa adanya benda itu, namanya bukan martabak pesanan khusus. Itu adalah sabu-sabu,” jelas Garda.
Astaghfirullah!” ucap Afrizal terkejut bukan main.
Spontan sebungkus sabu-sabu itu dihempaskan kembali ke kotak. Afrizal seketika berdiri mundur, sehingga kursi duduknya terdorong jatuh di depan kaki Del dan Joy. Tegang wajah Afrizal. Kondisi itu membuat jantungnya berdetak kencang.
Sungguh Afrizal tidak menyangka sedikit pun bahwa selama ini ia telah menjadi kurir yang menyebarluaskan narkoba. Jelas, tanpa sadar ia berstatus sebagai “pengedar”. Narkoba sudah sangat jelas hukumnya, yaitu haram. Itu berarti pamannya adalah produsen.
Afrizal telah terperangkap dalam lingkaran dunia hitam. Pekerjaan halalnya seketika berubah menjadi pekerjaan haram. Bergejolak amarahnya di dalam dada, tapi kepada siapa ia harus melampiaskan kemarahannya. Kepada Om Ringgo. Ia harus marah kepada pamannya itu. Seketika ia teringat kata-kata Alice kepadanya pada awal mereka bertemu di depan kamar, “Hati-hati jika kerja dengan Ayah.”
Kalimat itu seolah memberi tanda bahwa Alice tahu jika ayahnya adalah produsen narkoba. Namun, yang jadi permasalahan sekarang adalah Afrizal telah menghilangkan dua paket barang haram itu. Dua paket itu dicuri berbayar oleh Marli dan Lidya. Tentunya Garda Prabowo selaku pemilik barang perusak anak bangsa itu tidak akan membiarkan Afrizal begitu saja.
“Barang berharga saya sudah hilang dua paket dan kamulah penanggungjawabnya. Usaha saya, usaha Ringgo dan usaha bandar-bandar yang lainnya, terancam bubar jika barang yang hilang itu sampai ke tangan polisi. Maaf, Zal, kamu berurusan dengan orang yang sangat salah. Sekarang saya bertanya kepada kamu, apa solusi yang kamu tawarkan untuk bisa mengembalikan barang saya itu dan kami semua aman dari endusan polisi?” ujar Garda, tetap duduk santai di kursinya.
Afrizal diam, bingung, panik, tidak bisa menjawab. Ingin rasanya ia berlari kabur lalu melupakan apa yang telah ia kerjakan. Namun, itu jiwa pengecut. Meski ia merasa telah dijebak oleh pamannya sendiri, tapi ia benci sifat pengecut dan itu bukan karakternya. Ia merasa tetap harus bertanggung jawab, apa pun risikonya. Ia merasa bahwa dirinyalah yang memang terlalu bodoh tapi tidak pernah merasa bodoh.

“Kamu tidak bisa memberi solusi? Oke, jika demikian, saya yang akan memberi kamu solusi,” kata Garda. Ia lalu berdiri dan melangkah meninggalkan kursinya. “Barang saya hilang dan dibawa oleh orang yang tidak bisa kamu lacak keberadaannya. Usaha saya dan yang lainnya terancam hancur, betapa kecerobohanmu itu berefek sangat besar bagi satu dunia. Orang-orang seperti kami tidak memiliki sisi jiwa kemanusiaan. Jadi, hukuman yang paling layak untukmu adalah hukuman mati.”
Mendelik sepasang mata Afrizal mendengar ancaman itu. Ia tidak menganggap itu hanya sekedar ancaman gurauan, tapi orang yang hidup di dunia hitam yang menjanjikan uang melimpah semodel obat-obat terlarang, membunuh orang adalah hal yang mungkin sudah biasa terjadi.

“Namun, jika kamu tidak mau mati, kamu bisa memilih tetap menjadi kurir barang-barang mahal ini atau kamu bekerja secara pribadi sebagai anak buah saya. Kalau kamu memilih tetap menjadi kurir, kamu akan tetap memakmurkan usaha narkoba banyak pengusaha. Tapi kalau kamu bekerja secara pribadi kepada saya, kamu hanya membela kepentingan saya. Saya tahu kamu adalah keluaran pesantren. Jadi, kerja untuk saya dampak negatifnya lebih kecil dibandingkan menjadi kurir. Yang mana yang kamu pilih?”

“Dua-duanya tidak!” jawab Afrizal tegas dan mantap.
Jawaban Afrizal justru membuat Garda tertawa kecil. Lalu katanya, “Jangan membuat saya marah, Nak. Kamu pilih yang mana?”
“Satu pun tidak saya pilih, karena keduanya adalah pekerjaan haram!” tandas Afrizal.
“Kurang ajar!” umpat Garda marah lalu tangan kirinya menyentuh lengan kanannya yang dalam pandangan Afrizal terdapat sinar merah.
Zerzzz!
Tiba-tiba dari bawah telapak kaki Garda menjalar sinar merah dan menyelimuti seluruh tubuh lelaki itu. Seiring itu, sosok berselimut sinar merah itu melompat menerjang dada Afrizal. (RH)

Berlanjut: Harzai Yang Tersudut (10)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar