Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
Ini kedua kalinya Afrizal menginjakkan kakinya di rumah
mewah itu. Dengan dikawal dua lelaki besar, ia membawa tumpukan kotak-kotak
martabak yang diantarnya. Kali ini rumah itu tidak ada keramaian dan musik,
sepi-sepi saja.
Dalam kegundahan dan kebingungannya, akhirnya Afrizal
memutuskan mengantar pesanan ke si pemesan, meskipun kurang dua porsi. Ia telah
siap menanggung kerugian ataupun tuntutan si pemesan. Usai mengantarkan paket,
barulah ia akan pulang untuk mempertanggungjawabkan kecerobohannya kepada
bosnya, yaitu Ringgo.
Afrizal dan kedua lelaki besar itu masuk ke dalam hingga
tembus ke sisi belakang rumah, di kolam renang yang besar. Tidak jauh di
pinggir kolam renang berpola angka tiga itu, duduklah Garda Prabowo menekuni
laptopnya. Di sisi laptopnya ada secangkir minuman yang masih berasap tipis dan
sebuah ponsel. Di sisi lain di meja yang sama, ada pula cangkir yang lain,
tetapi kursinya kosong.
Garda Prabowo menunjuk lantai dekat meja, memerintahkan agar
paket martabak yang dibawa Afrizal diletakkan di sana.
Afrizal dan kedua anak buah Garda meletakkan tumpukan
martabak di lantai dekat kaki meja kaca itu. Usai itu, Afrizal tidak langsung
keluarkan surat tanda terima, ia berdiri diam tidak jauh dari meja menghadap
kepada Garda yang sibuk dengan pekerjaannya. Afrizal bisa melihat adanya bias
sinar merah redup dari balik lengan kanan baju Garda.
“Bicaralah!” perintah Garda kepada Afrizal tanpa
memandangnya, karena ia tetap fokus kepada pekerjaannya.
“Ee... begini, Bos. Martabak pesanannya dicuri orang dua
kotak,” kata Afrizal agak gugup.
Dingin reaksi yang diberikan oleh Garda. Ia menutup
laptopnya begitu saja.
“Duduk!” perintahnya lagi.
Afrizal selaku orang yang bersalah, hanya menurut. Ia duduk
di kursi yang kosong, berseberangan dengan Garda.
“Diminum!” perintah Garda lagi.
Afrizal mengangguk patuh, lalu meraih cangkir berisi kopi di
depannya. Minuman itu seolah memang disediakan untuknya.
Dari sisi lain muncul seorang lelaki botak berkaos hitam.
Jari tangan kirinya menenteng sebuah kacamata hitam. Ia adalah Dhoni Sardi. Ia
memilih duduk di kursi lain, agak jauh dari meja Garda, tapi perhatiannya
tertuju kepada Afrizal.
Ketika Afrizal menyempatkan diri memandang kepada Dhoni
Sardi, ia pun melihat adanya sinar redup merah dari balik kain hitam lengan kanan
baju pria botak itu. Namun, Afrizal tidak tahu sinar aneh apa itu. Sementara
dua pria besar bernama Del dan Joy berdiri tepat di belakang kursi Afrizal,
seolah berdiri menjaga Afrizal agar tidak kabur ke mana-mana.
Kondisi itu membuat pribadi Afrizal cukup was-was. Namun,
pikir Afrizal, bukankah dia hanya menghilangkan dua kotak makanan? Ia tidak
menghilangkan uang senilai ratusan juta. Ia merasa bisa menggantinya meski
dengan harga yang dua atau tiga kali lipat.
“Beri Afrizal satu kotak, Joy!” perintah Garda.
Joy yang berwajah sangar dengan mata model lebar, bergerak
mengambil satu kotak martabak dan meletakkannya di depan Afrizal.
“Kamu sudah pernah makan martabak?” tanya Garda santai
dengan punggung disandarkan.
“Sudah, Bos,” jawab Afrizal.
“Martabak pesanan khusus?” tanya Garda lagi.
“Belum, Bos.”
“Sekarang cobalah makan yang khusus ini!”
Sadar telah berbuat salah, Afrizal masih menurut, karena
menurutnya permintaan konsumen yang satu ini masih wajar. Afrizal membuka kotak
wadah itu. Ketika dibuka, aroma martabak itu memang lebih enak dan wangi
dibandingkan martabak yang biasa. Afrizal pun mengambil satu potong dan
memakannya.
“Ringgo sudah telepon saya sebelum kamu sampai ke sini,”
kata Garda. “Saya sudah lama menjadi pelanggan Martabak Raja Rasa ini. Saya adalah
pelanggan nomor satu. Kurir sebelum kamu, Zal, saya tidak berani pesan banyak.
Barulah di tangan kamu, saya pesan besar, padahal saya tidak suka dengan
martabak.”
Mendengar kalimat terakhir Garda, raut wajah Afrizal berubah
heran.
“Lalu untuk apa Bos selalu pesan martabak sebanyak ini jika
tidak suka martabak? Untuk orang lain?” tanya Afrizal, sekaligus untuk
mencairkan komunikasinya.
“Tumpukan yang paling bawah. Itulah yang paling saya sukai
dari martabak pesanan khusus yang suka kamu bawa ini.”
Afrizal lalu mencoba membongkar tumpukan atas untuk
mengambil tumpukan bawah dalam kotak itu. Namun, kening Afrizal jadi berkerut
saat ia mendapatkan benda putih yang dibungkus plastik kecil putih. Tidak hanya
satu bungkus, tapi beberapa. Ia ambil satu bungkus dan juga menunjukkannya
kepada Garda dan yang lainnya.
“Apa ini, Bos?” tanya Afrizal.
“Kamu tidak tahu itu apa, Zal?” tanya Garda seraya tersenyum
samar, ia menilai ketidaktahuan Afrizal itu adalah hal yang lucu.
“Tidak, Bos,” jawab Afrizal lugu.
“Di setiap martabak pesanan khusus, pasti ada benda-benda
itu. Tanpa adanya benda itu, namanya bukan martabak pesanan khusus. Itu adalah
sabu-sabu,” jelas Garda.
“Astaghfirullah!”
ucap Afrizal terkejut bukan main.
Spontan sebungkus sabu-sabu itu dihempaskan kembali ke
kotak. Afrizal seketika berdiri mundur, sehingga kursi duduknya terdorong jatuh
di depan kaki Del dan Joy. Tegang wajah Afrizal. Kondisi itu membuat jantungnya
berdetak kencang.
Sungguh Afrizal tidak menyangka sedikit pun bahwa selama ini
ia telah menjadi kurir yang menyebarluaskan narkoba. Jelas, tanpa sadar ia
berstatus sebagai “pengedar”. Narkoba sudah sangat jelas hukumnya, yaitu haram.
Itu berarti pamannya adalah produsen.
Afrizal telah terperangkap dalam lingkaran dunia hitam.
Pekerjaan halalnya seketika berubah menjadi pekerjaan haram. Bergejolak
amarahnya di dalam dada, tapi kepada siapa ia harus melampiaskan kemarahannya.
Kepada Om Ringgo. Ia harus marah kepada pamannya itu. Seketika ia teringat kata-kata
Alice kepadanya pada awal mereka bertemu di depan kamar, “Hati-hati jika kerja
dengan Ayah.”
Kalimat itu seolah memberi tanda bahwa Alice tahu jika
ayahnya adalah produsen narkoba. Namun, yang jadi permasalahan sekarang adalah
Afrizal telah menghilangkan dua paket barang haram itu. Dua paket itu dicuri
berbayar oleh Marli dan Lidya. Tentunya Garda Prabowo selaku pemilik barang
perusak anak bangsa itu tidak akan membiarkan Afrizal begitu saja.
“Barang berharga saya sudah hilang dua paket dan kamulah penanggungjawabnya.
Usaha saya, usaha Ringgo dan usaha bandar-bandar yang lainnya, terancam bubar
jika barang yang hilang itu sampai ke tangan polisi. Maaf, Zal, kamu berurusan
dengan orang yang sangat salah. Sekarang saya bertanya kepada kamu, apa solusi
yang kamu tawarkan untuk bisa mengembalikan barang saya itu dan kami semua aman
dari endusan polisi?” ujar Garda, tetap duduk santai di kursinya.
Afrizal diam, bingung, panik, tidak bisa menjawab. Ingin
rasanya ia berlari kabur lalu melupakan apa yang telah ia kerjakan. Namun, itu
jiwa pengecut. Meski ia merasa telah dijebak oleh pamannya sendiri, tapi ia
benci sifat pengecut dan itu bukan karakternya. Ia merasa tetap harus
bertanggung jawab, apa pun risikonya. Ia merasa bahwa dirinyalah yang memang
terlalu bodoh tapi tidak pernah merasa bodoh.
“Kamu tidak bisa memberi solusi? Oke, jika demikian, saya
yang akan memberi kamu solusi,” kata Garda. Ia lalu berdiri dan melangkah
meninggalkan kursinya. “Barang saya hilang dan dibawa oleh orang yang tidak
bisa kamu lacak keberadaannya. Usaha saya dan yang lainnya terancam hancur,
betapa kecerobohanmu itu berefek sangat besar bagi satu dunia. Orang-orang
seperti kami tidak memiliki sisi jiwa kemanusiaan. Jadi, hukuman yang paling
layak untukmu adalah hukuman mati.”
Mendelik sepasang mata Afrizal mendengar ancaman itu. Ia
tidak menganggap itu hanya sekedar ancaman gurauan, tapi orang yang hidup di
dunia hitam yang menjanjikan uang melimpah semodel obat-obat terlarang,
membunuh orang adalah hal yang mungkin sudah biasa terjadi.
“Namun, jika kamu tidak mau mati, kamu bisa memilih tetap
menjadi kurir barang-barang mahal ini atau kamu bekerja secara pribadi sebagai
anak buah saya. Kalau kamu memilih tetap menjadi kurir, kamu akan tetap
memakmurkan usaha narkoba banyak pengusaha. Tapi kalau kamu bekerja secara
pribadi kepada saya, kamu hanya membela kepentingan saya. Saya tahu kamu adalah
keluaran pesantren. Jadi, kerja untuk saya dampak negatifnya lebih kecil
dibandingkan menjadi kurir. Yang mana yang kamu pilih?”
“Dua-duanya tidak!” jawab Afrizal tegas dan mantap.
Jawaban Afrizal justru membuat Garda tertawa kecil. Lalu
katanya, “Jangan membuat saya marah, Nak. Kamu pilih yang mana?”
“Satu pun tidak saya pilih, karena keduanya adalah pekerjaan
haram!” tandas Afrizal.
“Kurang ajar!” umpat Garda marah lalu tangan kirinya
menyentuh lengan kanannya yang dalam pandangan Afrizal terdapat sinar merah.
Zerzzz!
Tiba-tiba dari bawah telapak kaki Garda menjalar sinar merah
dan menyelimuti seluruh tubuh lelaki itu. Seiring itu, sosok berselimut sinar
merah itu melompat menerjang dada Afrizal. (RH)
Berlanjut: Harzai Yang Tersudut (10)
Berlanjut: Harzai Yang Tersudut (10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar