Harzai Yang Tersudut (10)

Ilustrasi: karakter Auron di Final Fantasy X. (Gambar: Wikia.com)

Novel: Ratu Suku Lix

Tahun 2017

Bab Sebelumnya:

 

Zerzzz!
Tiba-tiba dari bawah telapak kaki Garda menjalar sinar merah dan menyelimuti seluruh tubuh lelaki itu. Seiring itu, sosok berselimut sinar merah itu melompat menerjang dada Afrizal.
Buk!
“Hukh!” keluh Afrizal seiring tubuhnya terjengkang keras dan terhenti di pinggir kolam.


Belum lagi Afrizal berbuat sesuatu, sosok merah sudah datang dan menginjak tangan kirinya.
“Akh!” jerit Afrizal kesakitan, ia merasakan seolah tulang-tulang tangan kirinya hendak berpatahan diinjak, karena tekanan injakan itu terlalu berat, tidak seperti injakan kaki biasa.
Orang yang menginjak tangan Afrizal bukanlah Garda Prabowo, melainkan seorang lelaki berjubah merah berambut merah gelap. Ia memakai kacamata hitam. Kerah jubahnya tinggi dan besar, berdiri melingkar menutupi sebatas bibir. Tangan kanannya yang bersarung tangan merah memegang sebuah pedang besar dan panjang. Sementara tangan kirinya berada dalam baju dan menyembul lewat belahan depan jubah, keadaannya mirip seperti tangan yang sedang patah. Sabuknya tebal dan juga berwarna merah. Ada sebuah kendi besi menggantung di sisi kiri pinggang. Dia adalah Trakko, sosok Harzai dari Dinasti Api Langit.
Melihat perubahan Garda menjadi Harzai, Afrizal langsung sadar bahwa akan terjadi tindak pembunuhan terhadap dirinya, karenanya ia ingin juga berubah menjadi Harzai yang bernama Dho Gho. Cara untuk berubah menjadi Dho Gho, ia harus menyentuh lengan kanannya dengan tangan kiri. Namun, Garda rupanya sudah mengantisipasi dengan cara menginjak tangan kiri Afrizal, sehingga pemuda itu tidak bisa menyentuh benda ajaib yang tertanam di lengan kanannya.
Kini, ujung pedang Trakko sudah menempel di kulit leher Afrizal. Pemuda itu hanya memejamkan mata dengan wajah mengerenyit. Ia pun harus pasrah jika detik berikutnya ia telah masuk ke alam arwah seiring putusnya leher miliknya.
“Saya tahu kamu adalah seorang Harzai. Jika saya ingin, seharusnya kamu sudah saya bunuh sejak pertama kali kita bertemu dan saya bisa memakan Permata Harzai-mu. Namun, sebagai seorang Harzai, tidak mungkin kamu memilih mati sebagai seorang pengedar narkoba, kecuali kamu saat ini tidak tahu apa yang kini menyatu di dalam tubuhmu. Aku yakin kamu adalah seorang yang belum mengerti tentang Harzai. Dan saya yakin, kamu adalah seorang Harzai yang belum pernah membunuh dan bertarung dengan Harzai lain,” kata Trakko dengan logat dan suara milik Garda Prabowo.
Tampak Dhoni Sardi serta Del dan Joy tidak terkejut dengan perubahan yang dilakukan oleh Garda.
Trakko lalu menarik pedangnya menjauh dari leher Afrizal yang menatap Trakko dengan tatapan penuh takut. Trakko menancapkan pedangnya ke lantai, membuat senjata sepanjang tinggi pemiliknya itu berubah menjadi partikel halus yang bersinar lalu lenyap seolah menguap.
Bret!
Dengan tetap menginjak tangan kiri Afrizal, Trakko membungkuk dan meraih lengan baju jaket Afrizal lalu merobeknya dengan paksa. Robekan itu juga merobek lengan baju Afrizal. Maka tampaklah lengan tangan kanan Afrizal. Sinar biru redup seketika menyeruak dan bercokol di lengan itu. Sinar biru itu bersumber dari sebuah batu permata berwarna biru yang tertanam menyatu dengan daging lengan Afrizal.
Setiap lelaki yang mendapatkan Permata Harzai untuk pertama kalinya, akan mendapati permata pengubah wujud itu tiba-tiba telah tertanam sendiri di lengan kanan. Untuk berubah ke wujud Harzai, cukup tangan kiri menyentuh Permata Harzai di lengan kanannya.
Permata biru itu adalah batu yang ditemukan oleh Afrizal di lahan pertanian Pondok Pesantren Ash-Shiroth, batu yang membuatnya berubah menjadi sosok prajurit Mandarin yang tangguh.
“Permata Harzai Dinasti Perwira Fajar,” kata Trakko mengenali jenis permata di lengan Afrizal. “Cahayanya sangat jelas menunjukkan bahwa kamu belum pernah membunuh, Afrizal.”
“Lepaskan saya, Bos!” kata Afrizal seraya menahan sakit dan tangan kanannya memegangi kaki Trakko yang kuat. 

“Siapa nama Harzai-mu?” tanya Trakko tanpa menarik injakannya.
“Dho Gho!” jawab Afrizal setengah menjerit. Afrizal bisa tahu nama Harzai-nya karena memang bagi orang yang baru menjadi Harzai akan beberapa kali bermimpi tentang indentitas Harzai-nya. Hal itu terjadi bagi setiap Harzai. Melalui mimpi, seorang Harzai akan mengetahui nama, asal suku dan dinastinya.

“Saya akan melepaskan kamu jika kamu bekerja untuk saya,” kata Trakko. “Atau kamu saya bunuh dan membiarkan anak buah saya mengambil Permata Harzai milikmu?”

Afrizal tidak menjawab. Ia memilih diam.

“Baik, ini tawaran terakhir saya. Anak buah saya sedang mengintai kediaman Ringgo. Kalau kamu menolak, Ringgo dan anak gadisnya, Alice, akan mati. Bagaimana?” tanya Trakko. Ia akhirnya menarik kakinya dan berbalik berjalan ke arah kursinya, seolah urusan dengan Afrizal sudah selesai. Saat berjalan itu, tubuh Trakko kembali diselimuti sinar merah lalu berubah menjadi Garda seiring lenyapnya sinar merah. Garda duduk dan meraih cangkir kopinya.

Afrizal bangkit dengan wajah meringis kesakitan. Lengan kirinya seolah lumpuh.

“Zal, kamu lihat pria botak itu!” kata Garda sambil menunjuk Dhoni Sardi yang sejak tadi hanya diam menyaksikan. “Dia juga seorang Harzai yang bernama Wors....”

“Apa itu Harzai?” tanya Afrizal memotong.

“Hahaha!” Garda tertawa mendengar pertanyaan Afrizal. “Rileks, Bung. Ayo duduk, lupakan yang tadi.”

Mau tidak mau, Afrizal menurut. Ia bergerak dan pergi duduk satu meja dengan Garda, meski sorot matanya menunjukkan kemarahan yang tinggi. Afrizal harus mengaku kalah, demi keselamatan Ringgo dan Alice, juga dirinya. Jika ia hidup, ia masih punya kesempatan untuk melakukan perbaikan, dari pada harus mati sebagai kurir narkoba.

“Dari mana kamu mendapatkan Permata Harzai itu?” tanya Garda.

“Dari tanah cangkulan pesantren.”

“Kamu pasti diusir dari pesantren karena kamu disangka sebagai siluman jejadian. Permata Harzai yang menyatu di lengan kamu adalah permata ciptaan dari sebuah teknologi tinggi yang menyimpan imajinasi tingkat tinggi. Batu Permata Harzai banyak tersebar di seluruh dunia. Namun yang jelas, saya merasa diuntungkan dengan memiliki Permata Harzai. Yang harus penting untuk kamu ketahui, menjadi seorang Harzai berarti menjadi seorang pembunuh....”

“Apa?!” kejut Afrizal. “Saya tidak akan menjadi seorang pembunuh!”

“Tidak bisa, tidak bisa. Kamu sudah terperangkap oleh kondisi, Zal. Menjadi seorang Harzai otomatis dia harus siap diburu dan dibunuh, atau sebaliknya. Membunuh Harzai yang lain adalah kebutuhan seorang Harzai untuk memperkuat diri agar tidak menjadi santapan Harzai yang lain. Seharusnya saya membunuh kamu, tapi saya lebih membutuhkan kamu dalam kondisi hidup. Suatu saat nanti, Harzai lain akan datang menuntut nyawamu.”

“Bagaimana Harzai lain bisa mengenali bahwa saya adalah Harzai?” tanya Afrizal, ia benar-benar tidak tahu tentang hal itu.
“Setiap Harzai pria bisa dikenali di lengan kanannya dan Harzai wanita di lengan kirinya. Kamu lihat di lengan kananku?”
“Iya.”
“Setiap Harzai adalah petarung-petarung super layaknya super hero yang ada di komik-komik dan film-film. Bangsa Harzai akan mengacaukan peradaban manusia biasa. Nanti akan tiba waktunya, bangsa Harzai akan memegang dunia dan mengendalikan peradaban dunia ini. Seperti kamu, saat ini Harzai di seluruh penjuru dunia dalam fase pencarian jati diri, bahkan beberapa Harzai sudah mulai menginjak  lantai politik untuk masuk ke pemerintahanan. Jika kamu tidak mau jadi pembunuh, bekerjalah untukku. Harzai yang memburu kamu bisa jadi tanggung jawab saya. Oke?”

“Baik,” jawab Afrizal akhirnya.

Deal?” kata Garda sambil ulurkan tangan kanannya untuk berjabatan dengan Afrizal.

Tanpa senyum, Afrizal pun menjabat tangan Garda.

“Selamat bergabung!” ucap Garda seraya tersenyum kecil. “Satu pesanku, jangan pernah berurusan dengan Dhoni, dia Harzai yang haus membunuh.”

“Lalu apa pekerjaan saya?” tanya Afrizal.

“Mudah, kamu cukup mendampingi anak buah saya ketika ada transaksi besar. Jika ada kericuhan yang tidak dikehendaki, kamu harus berubah menjadi Harzai untuk melindungi barang dan anak buahku. Urusan kamu dengan Ringgo, saya yang akan selesaikan. Besok kamu istirahat penuh. Lusa, kamu datanglah ke mari sebelum zuhur. Paham?”

“Baik.”

“Tenang saja, saya bayar tinggi kamu. Ingat, tidak ada ceritanya seorang Harzai pernah ditangkap polisi.”

“Lalu bagaimana dengan barang yang dicuri itu?” tanya Afrizal.

“Itu urusan Ringgo. Jika barang itu sampai jatuh ke tangan polisi, jelas kamu juga akan dicari polisi. Tidak perlu cemas, hanya Harzai bodoh yang tidak bisa mengatasi polisi,” kata Garda. “Ayo, habiskan minumnya.” (RH)

Berlanjut: Emosi Sang Ratu (11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar