Tiga Tuan Muda

Tina Cihuy berdiri bersebelahan dengan Rajab Syah. Mahjur Supeno berdiri bersebelah dengan Cucun Maghfirah. Ayu Nostalgia berdiri bersebelahan dengan Aditya Harapan.

Selain mereka berenam, masih ada satu orang yang berada di ruangan itu, yaitu Subana Tirtawana atau Pak Tirta, Kepala Pelayan Keluarga Rudy.

Keenam karyawan baru itu kini berada di sebuah ruangan mewah. Setiap dinding memiliki satu pintu berwarna hitam, tiga pintu tertutup dan satu terbuka. Mereka tadi masuk melalui pintu yang terbuka.

Di tengah ruangan ada sofa biru terang berformasi melingkari satu meja kaca yang modelnya bulat.

Di satu sudut ruangan ada sebuah cermin besar yang lebarnya satu depa, tinggi 2 meter. Cermin itu dalam bingkai kayu hitam bergaya ukiran klasik.

Pak Tirta dan keenam karyawan baru itu berdiri menunggu sambil menghadap ke arah cermin besar.

Zerzz!

“Hah!” kejut ketiga sopir dan ketiga pengawal itu serentak, saat tiba-tiba di cermin muncul kilatan-kilatan listrik.

“Kacanya singlet!” seru Tina terkejut.

“Hahaha!”

Suasana yang tadi hening mencekam, tiba-tiba buyar lantaran celetukan Tina yang memancing mereka tertawa. Pak Tirta membiarkan mereka tertawa, karena memang ucapan Tina terdengar lucu.

“Tina, kamu pikir kaca itu pakaian dalam? Hahaha!” timpal Jur lalu tertawa.

“Korslet, bukan singlet, Tina,” ralat Ayu.

“Singlet itu orang yang masih sendiri, belum punya pasangan,” kata Rajab Syah, pria kurus mungil yang sekarang berstatus sopir.

“Itu mah single,” sahut Ayu.

“Itumah teman saya,”kata Tina lagi.

“Teman kamu mah Angela, Tina!” kata Ayu lagi.

“Iya, itu maksud saya,” kata Tina.

“Selalu begitu kalau dibilangin,” sungut Ayu.

Zerzz!

Aliran listrik yang terlihat seperti petir-petir kecil semakin banyak. Membuat keenam karyawan baru itu tegang. Bibir Tina dan Ayu sampai ternganga tanpa sadar. Namun, tampak Pak Tirta tenang-tenang saja.

Tiba-tiba sebuah tangan muncul keluar dari dalam cermin.

“Allahuakbar!” pekik Tina sambil buru-buru ke belakang tubuh Rajab Syah yang juga tegang atas bawah.

“Allahumma!” pekik Ayu terkejut.

Tanpa sadar Ayu memeluk lengan Aditya Harapan, pemuda gagah berambut jambul yang akan menjadi sopir. Karena ikut tegang, Aditya tidak sadar kalau ada yang empuk-empuk menyentuh lengannya.

Berbeda dengan Cucun yang tegang sambil memegangi ujung jari telunjuk Jur yang besar. Jur pun tegang atas bawah. Mereka semua terkejut hingga agak gemetar saat melihat tangan itu muncul keluar dari dalam cermin, tapi kemudian masuk lagi.

Semua memandang ke arah cermin. Tidak ada apa-apa lagi selain kilatan-kilatan listrik yang menyelimuti cermin.

“Huwwa!” teriak seorang anak lelaki yang tiba-tiba melompat keluar dari dalam cermin. Mengejutkan keenam karyawan baru itu.

“Ya Allah!” jerit Tina sambil spontan melompat naik ke punggung Rajab, ia menelungkupkan wajahnya ke pundak lelaki berusia kepala tiga itu.

Sementara Rajab yang badannya lebih mungil, bukannya senang karena Tina naik ke punggungnya, tetapi berdiri dengan dua kaki gemetar.

Sementara Ayu, dia bersujud ke lantai, tidak mau melihat bocah yang keluar dari dalam cermin. Aditya Harapan berdiri gemetar, kaki sampai ke gigi gemetar kencang. Gagahnya pun luntur seketika.

Sementara Cucun masih bisa berdiri meski gemetar, tetapi kali ini ia berlindung di belakang badan Jur yang besar. Jur sendiri berdiri gagah, tetapi tetap saja kakinya gemetar.

Ekstremnya tes uji nyali tiga hari yang lalu memberi rasa trauma bagi mereka.

Anak kecil yang melompat keluar dari dalam cermin sepertinya memang bukan manusia. Pasalnya dia memiliki warna kulit seputih kertas atau kapas, bukan putih dalam artian kuning langsat atau putih kesusuan. Kulitnya benar-benar seputih kapas. Sepasang bibirnya hitam, benar-benar hitam sehitam tinta. Pupil matanya berwarna kuning. Lingkaran matanya bergaris hitam tebal seperti memakai maskara. Rambutnya hitam mengkilap tersisir rapi ke belakang seperti gaya rambut Dewa Judi. Meski tampak menyeramkan, ia memiliki hidung yang mancung seperti orang bule. Model dagunya sedikit belah.

Anak seumuran sepuluh tahun itu mengenakan baju putih, celana putih. Memakai kain sayap merah seperti Superman. Kuku-kuku jari tangannya berwarna hijau alami.

“Hahaha!”

Anak lelaki itu tertawa terbahak-bahak melihat keenam karyawan baru Keluarga Hendrik itu.

“Selamat datang, Tuan Muda Gawa!” ucap Pak Tirta seraya tersenyum ramah dan membungkuk sedikit sejenak sebagai tanda hormat.

“Pak Tirta, yang mana sopir dan pengawalku?” tanya anak lelaki yang disebut sebagai Tuan Muda Gawa oleh Pak Tirta. Tawanya masih tersisa dalam ucapannya.

“Mereka,” jawab Pak Tirta sambil menunjuk sopan kepada Ayu dan Aditya. “Namanya Aditya Harapan dan Ayu Nostalgia.”

Gawa mendekati Aditya yang menelan salivanya, terlihat jelas jakun di lehernya bergerak naik turun beberapa kali. Gawa tersenyum-senyum mendekatkan wajahnya ke bawah wajah Aditya yang lebih tinggi. Sesekali Gawa mengeluarkan ujung lidah yang berwarna biru pekat dan bercabang.

“Ampun! Ampun, Tututu... Tuan!” teriak Aditya akhirnya, ketakutan sambil termundur.

Bduk!

Aditya tersandung oleh kaki Ayu yang bersujud ketakutan di belakangnya. Aditya pun terjatuh kesakitan.

Pak!

“Ayu!” panggil Gawa kencang sambil menepuk bokong Ayu yang besar, menggiurkan untuk ditepuk.

“Emaaak!” jerit Ayu kencang sambil meram kuat-kuat.

“Hahaha!” semakin tertawa Gawa melihat Ayu.

Namun, Gawa tiba-tiba berhenti tertawa. Ia mendelik, membuat matanya terlihat menyeramkan.

“Hahaha...!” Meledak habis tawa Gawa sambil menunjuk Ayu. Lalu katanya di sela-sela tawanya, “Ayu ngompol!”

Pak Tirta hanya tersenyum.

Tina, Jur, dan yang lainnya sebenarnya ingin tertawa, tetapi rasa takut mereka lebih mendominasi.

Ketakutan mereka berenam semakin jadi saat dari dalam cermin keluar sesosok perempuan muda. Meski yang keluar kali ini adalah sosok yang cantik, tetapi tetap saja menakutkan.

Perempuan yang keluar dari dalam cermin memiliki kulit yang sama dengan Gawa, seputih kapas. Rambutnya yang sepunggung berombak, semuanya berwarna biru muda. Pupil matanya berwarna biru dan terlihat indah. Hidungnya mancung dengan model dagu sedikit belah. Warna bibirnya juga biru. Namun, kuku-kuku jari tangannya berwarna hijau. Gadis berusia masih enam belas tahun itu mengenakan pakaian seperti gaun berwarna biru muda keputihan.

“Heh! Berisik sekali!” hardik gadis aneh itu kepada Gawa.

“Ayu ngompol, Kak!” jawab Gawa sambil menunjuk Ayu. Ia masih tertawa memegangi perutnya.

Meski itu lucu bagi Gawa, tetapi gadis itu tidak tersenyum sedikit pun.

“Selamat datang, Nona Fatara,” ucap Pak Tirta sambil tersenyum dan membungkuk.

“Iya, Pak,” ucap gadis bernama Fatara itu. Ekspresinya dingin. Ia berjalan pergi ke sofa. Ia pun tampak tidak peduli dengan kondisi yang menimpa keenam karyawan baru itu.

Terakhir, putra tertua dari Rudy Hendrik dan Lestari melangkah keluar dari dalam cermin.

Lengkap sudah ketakutan Tina dan yang lainnya melihat kemunculan orang yang lebih dewasa dari Gawa dan Fatara.

Ia seorang pemuda tampan yang memiliki kemancungan hidung yang sempurna. Dengan hanya melihat hidungnya, mungkin akan banyak gadis yang tergila-gila. Namun, sama seperti kedua adiknya, pemuda berusia delapan belas tahun itu berkulit seputih kapas. Model rambutnya tidak biasa, pendek di depan, tetapi gondrong ikal di belakang. Rambutnya hitam dan tebal. Sepasang alisnya sedikit tebal lagi panjang. Pupil matanya berwarna ungu. Lingkar matanya hitam seperti adiknya. Bibirnya berwarna hitam sehitam rambutnya. Tinggi tubuhnya terbilang jangkung, tapi tidak berlebih. Bahunya lebar dan besar. Kemeja hitam lengan pendek yang dikenakannya membuat kedua tangannya terlihat kekar. Tampaknya ia pemuda yang menjaga penampilan fisik sebagai seorang lelaki. Sama dengan yang lain, semua kuku jarinya berwarna hijau.

Ia adalah Karaz Hendrik. Usianya sembilan belas tahun. Ketika keluar dari cermin, ia langsung tersenyum kepada Pak Tirta.

“Selamat pagi, Pak Tirta!” sapa Karaz lebih dahulu.

“Selamat pagi, Tuan Muda Karaz,” jawab Pak Tirta, tersenyum sambil membungkuk menghormat.

Sejenak Karaz diam berdiri di tempatnya. Ia memperhatikan keenam karyawan baru yang kondisinya memprihatinkan.

“Tidak perlu takut dengan kami. Kami tidak akan mencelakakan kalian. Ayo semuanya, bangun, berdiri yang benar!” kata Karaz. Lalu katanya lagi, “Jika kalian takut seperti ini, bagaimana kalian bisa mengawal tuan-tuan kalian?”

“I... iya, Tuan!” ucap Jur yang memiliki psikis lebih kuat dibandingkan rekan-rekannya yang lain.

Tina turun dari gendongan, Cucun keluar dari balik punggung Jur, Rajab sudah berdiri tegak meski kakinya masih gemetar, dan Aditya sudah berdiri kembali. Sementara Ayu, dengan berat dan malu perlahan bergerak bangun. Ia benar-benar gemetar, sama seperti Tina.

Gawa sudah pergi duduk ke sofa, di dekat kakak perempuannya.

“Baik, ayo tarik napas yang dalam dulu. Lalu keluarkan pelan-pelan. Ulangi beberapa kali, agar perasaan kalian lebih tenang,” kata Karaz kepada para karyawan itu.

Keenam karyawan baru yang berposisi sebagai pengawal dan sopir itu melakukan arahan Karaz.

“Sudah mendingan?” tanya Karaz kepada mereka setelah tiga kali tarik dan buang napas.

Mereka berenam manggut-manggut meski masih ketar-ketir dan jantung masih berlari sprint. Namun, kegetaran pada kaki dan gigi mereka sudah berkurang banyak.

“Perkenalkan, inilah kami, ketiga putra Tuan Rudy. Namaku Karaz. Yang cantik menakutkan di sana namanya Fatara. Yang paling suka jahil dan kecil, namanya Gawa. Ini hari pertama kalian mengawal kami ke sekolah. Jangan takut, nanti kalian akan terbiasa,” ujar Karaz yang sesekali tersenyum dalam bicaranya, membuat Tina, Ayu dan Cucun mulai terpesona kepada tuan mudanya.

Karaz lalu menunjuk Ayu.

“Nama kamu siapa?” tanyanya.

“A... Ayu, Tuan,” jawab Ayu gagap dan suara bergetar.

“Kamu harus tanggung jawab. Ganti pakaian kamu dan bersihkan air kamu!” perintah Karaz.

“I... iya, Tuan,” jawab Ayu sambil mengerenyit tidak sakit. Lalu makinya dalam hati, “Ayu jelek, kenapa pakai ngompol segala. Malu banget di depan Tuan Karaz yang gantengnya seawan....” (RH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar