Anak Nisan

Namanya Anisa Putri. Seorang gadis belia berambut lurus sebahu. Ia selalu suka memakai pakaian warna hitam selain seragam sekolahnya. Bahkan semua benda-benda lain selain pakaian, juga berwarna hitam.

Dua tahun lalu, orangtua yang tinggal satu-satunya, yaitu ibunya, wafat. Itu menjadi pukulan yang sangat dalam dan berat bagi kejiwaannya. Sedemikian sayangnya ia kepada ibunya, sepekan lamanya ia memilih tidur bermalam di atas pusara ibunya sambil memeluk batu nisan.

Tindakan Anisa itu membuat geger warga sekampung. Saat ia dibujuk pulang oleh warga hingga oleh Pak RW, Anisa selalu menangis dan mengamuk karena tidak mau pergi dari makam ibunya. Hingga suatu ketika, Anisa dibawa paksa oleh para tetangga dan dikurung di rumahnya. Namun, ia tetap saja memiliki cara untuk kabur dan menginap di makam ibunya.

Setelah sepekan bermalam di makam tanpa rasa takut sedikit pun, akhirnya Anisa pulang sendiri. Ia tinggal sebatang kara di rumahnya. Awalnya, tetangga terdekat mau membantu Anisa dan menganggapnya sebagai keluarga sendiri, tetapi kemudian mereka menyerah. Perilaku Anisa yang dianggap aneh-aneh membuat mereka takut dan menghindar.

Anisa Putri menjadi anak perempuan yang tidak pernah tersenyum dan jarang bicara. Jika ditanya selalu diam dan pergi tanpa ekspresi. Ketika ia pergi sekolah, ia selalu di-bully dan teman-temannya takut kepadanya.

Akhirnya warga kampung memberi Anisa nama baru, yaitu Anisa si Anak Nisan.

Lama kelamaan, ia menjadi anak mandiri. Ia mengurus rumah sendiri, bersekolah sendiri, dan berusaha memenuhi kebutuhannya sehari-hari sendiri. Meski terlihat sebagai anak yang aneh, sejumlah warga tetap iba kepadanya sebagai seorang anak yatim piatu. Ketika warga mulai terbiasa dengan karakter anehnya, bantuan berupa uang dan bahan makanan sehari-hari warga berikan. Warga tidak mau ada orang menderita kelaparan di lingkungan mereka.

Setelah enam bulan lamanya hidup sebatang kara, tiba-tiba ada sepasang suami istri datang dari Jakarta yang mengaku sebagai kakak dari ayah Anisa. Namanya Pak Sustawo dan istrinya bernama Nurul Cahya. Nurul Cahya lah yang berstatus sebagai kakak dari ayah Anisa.

Ketika adiknya wafat saat keponakannya berusia lima tahun, Nurul datang ke Kotabumi di Lampung. Namun, saat ibu Anisa wafat, mereka tidak mendapat kabar. Setelah mendapat kabar beberapa bulan kemudian dan mendapat cerita tentang kondisi Anisa, barulah Nurul dan suaminya memutuskan untuk mengasuh Anisa.

Karena mengenal bibinya dan setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Anisa mau ikut bibinya ke Jakarta.

Akhirnya Anisa pindah ke Jakarta. Di sana ia melanjutkan sekolahnya hingga lulus SD. Beruntung bagi Anisa, bibi dan pamannya sabar meski ia terlihat sebagai gadis yang aneh. Kedua sepupu perempuannya yang usianya lebih tua akhirnya bisa menerimanya, meski awalnya sempat protes karena keanehan Anisa yang menyeramkan.

Sementara itu di kantor Kepala Sekolah SMP Derajat Mulya, Kepala Sekolah kedatangan murid baru aneh plus menyeramkan, yaitu Gawa Hendrik yang berkulit seputih kapas, bermata kuning, dan berbibir hitam sehitam tinta. Meski wajahnya sangat tampan, tetapi tetap saja penampilannya menyeramkan.

“Si... silakan masuk!” ucap Kurnia Huzaifah masih tergagap.

“Terima kasih, Pak,” ucap Ayu Nostalgia sebagai pengawal atau asisten pribadi Gawa.

Gawa Hendrik dan Ayu melangkah masuk.

“Nama kamu Gawa Hendrik?” tanya Kurnia, sudah tidak gagap.

“Benar, Pak,” jawab Gawa lantang seraya tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih dan rapinya. “Mama pasti sudah cerita?”

“Benar. Sebentar ya, biar Bapak panggilkan wali kelasmu.”

Baru saja Kurnia meraih ponselnya, tiba-tiba dari luar berlari masuk Bu Rossa Amelia tanpa pakai salam lagi.

“Pak!” teriak  Bu Rossa di dalam ruangan itu.

Di belakang Bu Rossa muncul Pak Mudi Ternama yang juga masuk, tapi tidak seheboh Bu Rossa.

“Nah, ini wali kelasmu sudah datang sendiri sebelum dipanggil,” kata Kurnia. Lalu tanyanya kepada Bu Rossa heran, “Ada apa, Bu? Kok seperti orang baru lihat setan?”

“Iya, Pak. Sa... saya baru lihat setan!” kata Bu Rossa megap-megap seperti kesusahan bernapas.

“Di mana?” tanya Kepala Sekolah serius.

“Ini setannya, Pak Kurnia!” tunjuk Bu Rossa kepada Gawa.

“Bu Rossa, Gawa Hendrik ini adalah murid baru di Kelas 7C, murid Ibu. Gawa ini hanya memiliki kelainan pada fisiknya yang ia miliki bukan atas kehendaknya, jadi tolong Bu Rossa tidak mempelopori hukuman sosial kepadanya,” ujar Kurnia dengan nada lembut. Perasaannya sudah tenang, tidak gugup lagi seperti tadi.

“Tapi, Pak.... Tadi lidahnya seperti lidah biawak!” kata Bu Rossa, bersikeras.

“Ah, tidak, kok,” sangkal Kurnia. “Lidahnya biasa kok, hanya bibirnya yang hitam dan matanya kuning. Biasa itu mah, keturunan bule.”

“Benar, Pak. Saya lihat sendiri lidahnya!” kata Bu Rossa ngotot.

“Coba Gawa tunjukkan lidahmu ke Bu Rossa!” perintah Kurnia kepada Gawa.

“Aaa!” Gawa membuka mulutnya lebar-lebar agak lama.

Bu Rossa dan Pak Mudi segera melongoki rongga mulut gawa yang giginya putih bersih tanpa lubang, dan lidahnya juga normal seperti lidah manusia pada umumnya. Sedikit pun tidak terlihat ada tanda-tanda keanehan dalam rongga mulut itu.

“Bagaimana, Bu Rossa?” tanya Kurnia.

“Be... bersih,” ucap Bu Rossa mengerenyit heran karena tidak menemukan sebuah lidah aneh di dalam mulut Gawa.

“Cukup, Gawa!” kata Kurnia.

Gawa pun menutup mulutnya.

“Mungkin Bu Rossa berhalusinasi karena melihat kelainan pada diri Gawa,” kata Pak Mudi.

“Benar, bukankah Bu Rossa suka nonton film horor seperti film Pocong Ngelawak?” kata Kurnia menguatkan dugaan “halusinasi”.

Bu Rossa Amelia menatap Gawa. Anak yang ditatap hanya tersenyum manis seolah tanpa dosa.

Teeet! Teeet! Teeet!

Tiba-tiba terdengar tiga kali jeritan bel listrik, tanda masuk kelas bagai seluruh siswa.

“Silakan Bu Rossa membawa Gawa ke kelas dan jelaskan kepada seluruh teman-teman barunya tentang kondisi Gawa yang agak berbeda,” kata Kurnia.

“Iya, Pak,” ucap Bu Rossa patuh.

Akhirnya, Bu Rossa Amelia membawa Gawa ke Kelas 7C. Ayu Nostalgia tetap mengawal di belakang. Namun, ketika masuk ke kelas, Ayu berdiri di luar layaknya seorang satpam pintu. Kacamata hitam ia pakai agar terlihat lebih gaya.

Akhirnya Bu Rossa mulai terbiasa berada di dekat Gawa. Ketika ia masuk bersama membawa Gawa, hebohlah seluruh murid Kelas 7C.

“Tenang semua, Anak-Anak!” seru Bu Rossa di depan kelas. Di sisi kanannya berdiri Gawa.

Maka, senyaplah suasana kelas yang semula seperti pasar murah dadakan. Semua mata hanya tertuju kepada sosok Gawa yang menurut mereka begitu aneh.

“Ayo, Gawa, perkenalkan dirimu kepada teman-teman barumu!” suruh Bu Rossa.

“Hai, Teman-Teman! Perkenalkan, nama saya Gawa Hendrik, panggil saja saya Gawa. Saya pindahan dari luar negeri. Jika kalian melihat saya aneh, ya beginilah saya. Saya sudah seperti ini sejak lahir, jadi kelainan ini bukan kehendak saya. Meski saya aneh, tetapi saya ingin berteman dengan semuanya. Salam kenal semuanya!” kata Gawa memperkenalkan dirinya seraya tersenyum ramah. Di kata-kata akhirnya ia agak membungkuk kepada teman-temannya yang berjumlah dua puluh sembilan anak.

“Baik, perkenalan yang bagus,” ucap Bu Rossa. Lalu perintahnya kepada Gawa, “Duduklah di kursi yang kosong di sebelah Anisa!”

Baru saja Gawa melangkah menuju satu-satunya kursi kosong yang ada paling belakang, murid-murid yang awalnya duduk dengan gelisah, tiba-tiba berhamburan berlari ke sisi kanan dan kiri kelas menjauhi Gawa sejauh-jauhnya.

Anak-anak kini pada menumpuk di sisi kanan dan kiri dengan wajah mengerenyit ketakutan, bahkan ada yang saling berpelukan. Dengan tetap tersenyum seperti orang dewasa, Gawa terus berjalan menuju kursi kosong di belakang.

Namun, dari kesemua murid itu, ada satu murid yang tetap duduk di kursinya, yaitu Anisa Putri. Kursinya tepat bersebelahan dengan kursi yang akan diduduki oleh Gawa. Mereka akan satu meja. Selama ini kursi di sebelahnya kosong karena tidak ada satu pun murid yang mau duduk satu bangku bersamanya.

“Hai!” sapa Gawa ketika tiba di bangku Anisa.

Anisa hanya menatap datar tanpa ekspresi. Ia tidak memberi respon terhadap sapaan Gawa.

Gawa hanya tersenyum. Setidaknya murid perempuan itu tidak takuk dengan dirinya, pikir Gawa. Gawa pun duduk di kursi tersebut.

Selanjutnya, Bu Rossa lah yang bingung melihat murid-muridnya yang lain menumpuk di pinggiran kelas. (RH)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar