1
Tiga Tuan Muda
Tina Cihuy berdiri bersebelahan dengan Rajab Syah.
Mahjur Supeno berdiri bersebelah dengan Cucun Maghfirah.
Ayu Nostalgia berdiri bersebelahan dengan Aditya Harapan.
Selain mereka berenam, masih ada satu orang yang berada
di ruangan megah itu, yaitu Subana Tirtawana atau Pak Tirta, Kepala Pelayan
Keluarga Rudy. Pak Tirta adalah seorang lelaki tua yang selalu berpakaian serba
putih dengan sisiran rambut putihnya yang rapi ke belakang. Ia membawa sebuah
tongkat pendek warna biru seperti tongkat sulap.
Keenam karyawan baru itu kini berada di sebuah ruangan
mewah. Setiap dinding memiliki satu pintu berwarna hitam, tiga pintu tertutup
dan satu terbuka. Mereka tadi masuk melalui pintu yang terbuka.
Di tengah ruangan ada sofa biru terang berformasi
melingkari satu meja kaca yang modelnya bulat.
Di satu sudut ruangan ada sebuah cermin besar yang
lebarnya satu depa, tinggi 2 meter. Cermin itu dalam bingkai kayu hitam bergaya
ukiran klasik.
Keenam karyawan baru itu mengenakan seragam baju kemeja
putih dengan rok dan celana berwarna hitam. Sepatu dan kaos kaki mereka juga
berwarna hitam.
Karyawan baru pertama bernama Tina Cihuy, gadis usia 23
tahun berambut sepunggung yang diikat satu di belakang. Ia tipe wanita yang
suka tampil simpel tanpa mau banyak proses. Meski faktanya, bedak tebal dan
lipstiknya merah terang, tidak seimbang dengan tatanan rambutnya yang
sederhana. Kaos kaki hitamnya panjang hampir menyentuh lutut.
Karyawan baru kedua yang juga pasangan Tina adalah Rajab
Syah. Ia seorang lelaki berusia empat puluh tahun, tapi ia bertubuh kecil dan
mungil. Tingginya pun hanya sebahu Tina Cihuy.
Karyawan ketiga adalah Mahjur Supeno yang akrab dipanggil
Jur saja. Mahjur seorang pemuda besar, besar karena otot-ototnya yang besar.
Sabuk kulitnya berwarna hitam berkepala tengkorak. Bajunya kemeja ketat lengan
pendek warna putih, memperlihatkan tonjolan otot dada dan lengan yang
berombak-ombak. Lehernya tampak kokoh dengan tampilan rambut cepak. Wajahnya
tidak begitu tampan, tetapi kacamata hitamnya yang seperti kacamata orang buta
membuatnya terlihat keren. Ia berhidung mancung, bertulang rahang kokoh dan
berbibir seksi agak tebal. Pria itu berusia 25 tahun.
Di sisi Jur berdiri gadis tercantik di antara mereka yang
bernama Cucun Maghfirah. Gadis berusia 25 tahun itu berwajah putih bersih,
berhidung bangir dan bermulu mata lentik. Melihat dari kwalitas kecantikan
wajah dan tipe bodinya, seharusnya ia ikut casting bintang sinetron
atau audisi model, bukan justru melamar ke rumah tua yang ternyata banyak
setannya itu.
Karyawan kelima adalah Ayu Nostalgia. Ia seorang gadis
perawan yang makmur dari segi fisik. Kedua pipinya laksana bakpao lapis cokelat
karena memang ia berkulit putih, tetapi kurang banyak. Hidungnya seksi meski
agak pesek. Sepasang alisnya hitam panjang, lebih panjang dari aslinya, meski
sedikit tidak imbang. Sekali bertemu pandang dengan Ayu, maka orang pun akan
langsung tahu bahwa alisnya sedikit panjang sebelah. Gadis berlemak berusia 21
tahun itu tampil dengan kemeja lengan panjang yang agak ketat, sehingga lipatan
lemak tubuhnya tampak berbaris dari bawah hingga atas. Rambutnya dikuncir kanan
dan kiri agar ia terlihat cantik dan lebih imut, tetapi tetap saja terkesan
amit-amit. Untuk lebih cantik, kuncirannya diikat dengan lilitan pita kuning.
Karyawan keenam bernama Aditya Harapan. Seorang pemuda tampan
tapi pakai ukuran pas-pasan. Gaya rambutnya jambul model ekor ayam jago. Tubuhnya
cukup berisi, meskit tidak sebesar Jur. Ia punya kumis tipis yang
menjengkelkan, karena lebih tebal di kedua ujungnya. Ia adalah sopir untuk tuan
muda, sama seperti Rajab Syah dan Cucum Maghfirah.
Sementara Tina Cihuy, Mahjur Supeno dan Ayu Nostalgia
akan bekerja sebagai asisten atau pengawal tuan muda.
Pak Tirta dan keenam karyawan baru itu berdiri menunggu
sambil menghadap ke arah cermin besar.
Zerzz!
“Hah!” kejut ketiga sopir dan ketiga pengawal itu
serentak, saat tiba-tiba di cermin muncul kilatan-kilatan listrik.
“Kacanya singlet!” seru Tina terkejut.
“Hahaha!”
Suasana yang tadi hening mencekam, tiba-tiba buyar
lantaran celetukan Tina yang memancing mereka tertawa. Pak Tirta membiarkan
mereka tertawa, karena memang ucapan Tina terdengar lucu.
“Tina, kamu pikir kaca itu pakaian dalam? Hahaha!” timpal
Jur lalu tertawa.
“Korslet, bukan singlet, Tina,” ralat Ayu.
“Singlet itu orang yang masih sendiri, belum punya
pasangan,” kata Rajab Syah.
“Itu mah single,” sahut Ayu.
“Itu mah teman saya,” kata Tina lagi.
“Teman kamu mah Angela, Tina!” kata Ayu lagi.
“Iya, itu maksud saya,” kata Tina.
“Selalu begitu kalau dibilangin,” sungut Ayu.
Zerzz!
Aliran listrik yang terlihat seperti petir-petir kecil,
semakin banyak, membuat keenam karyawan baru itu tegang. Bibir Tina dan Ayu
sampai ternganga tanpa sadar. Namun, tampak Pak Tirta tenang-tenang saja.
Tiba-tiba sebuah tangan muncul keluar dari dalam cermin.
“Allahuakbar!” pekik Tina sambil buru-buru ke belakang
tubuh Rajab Syah yang juga tegang atas bawah.
“Allahumma!” pekik Ayu terkejut.
Tanpa sadar Ayu memeluk lengan Aditya Harapan, pemuda
gagah berambut jambul yang akan menjadi sopir. Karena ikut tegang, Aditya tidak
sadar kalau ada yang empuk-empuk menyentuh lengannya.
Berbeda dengan Cucun yang tegang sambil memegangi ujung
jari telunjuk Jur yang besar. Jur pun tegang atas bawah. Mereka semua terkejut
hingga agak gemetar saat melihat tangan itu muncul keluar dari dalam cermin,
tapi kemudian masuk lagi.
Semua memandang ke arah cermin. Tidak ada apa-apa lagi
selain kilatan-kilatan listrik yang menyelimuti cermin.
“Huwwa!” teriak seorang anak lelaki yang tiba-tiba
melompat keluar dari dalam cermin. Mengejutkan keenam karyawan baru itu.
“Ya Allah!” jerit Tina sambil spontan melompat naik ke
punggung Rajab, ia menelungkupkan wajahnya ke pundak lelaki berusia kepala empat
itu.
Sementara Rajab yang badannya lebih mungil, bukannya
senang karena Tina naik ke punggungnya, tetapi berdiri dengan dua kaki gemetar.
Sementara Ayu, dia bersujud ke lantai, tidak mau melihat
bocah yang keluar dari dalam cermin. Aditya Harapan berdiri gemetar, kaki
sampai ke gigi gemetar kencang. Gagahnya pun luntur seketika.
Sementara Cucun masih bisa berdiri meski gemetar, tetapi
kali ini ia berlindung di belakang badan Jur yang besar. Jur sendiri berdiri
gagah, tetapi tetap saja kakinya gemetar.
Ekstremnya tes uji nyali tiga hari yang lalu memberi rasa
trauma bagi mereka.
Tiga hari yang lalu, puluhan pelamar di Keluarga Hendrik harus
melewati salah satu tes yang paling menyiksa mental, yaitu tes uji nyali di
lorong dan ruangan yang ada banyak penampakan. Ada sepuluh orang yang lulus,
enam di antaranya adalah mereka. Di tes uji nyali mereka harus berhadapan
langsung dengan makhluk astral berbagai bentuk. Hasilnya, banyak yang pingsan,
banyak yang ngompol, dan semuanya trauma. Namun, sepuluh terbaik masuk kategori
lulus.
Anak kecil yang melompat keluar dari dalam cermin
sepertinya memang bukan manusia. Pasalnya dia memiliki warna kulit seputih
kertas atau kapas, bukan putih dalam artian kuning langsat atau putih kesusuan.
Kulitnya benar-benar seputih kapas. Sepasang bibirnya hitam, benar-benar hitam
sehitam tinta. Pupil matanya berwarna kuning. Lingkaran matanya bergaris hitam
tebal seperti memakai maskara. Rambutnya hitam mengkilap tersisir rapi ke
belakang seperti gaya rambut Dewa Judi. Meski tampak menyeramkan, ia memiliki
hidung mancung seperti orang bule. Model dagunya sedikit belah.
Anak seumuran sepuluh tahun itu mengenakan baju putih,
celana putih. Memakai kain sayap merah seperti Superman. Kuku-kuku jari tangannya
berwarna hijau alami.
“Hahaha!”
Anak lelaki itu tertawa terbahak-bahak melihat keenam
karyawan baru Keluarga Hendrik itu.
“Selamat datang, Tuan Muda Gawa!” ucap Pak Tirta seraya
tersenyum ramah dan membungkuk sedikit sejenak sebagai tanda hormat.
“Pak Tirta, yang mana sopir dan pengawalku?” tanya anak
lelaki yang disebut sebagai Tuan Muda Gawa oleh Pak Tirta. Tawanya masih
tersisa dalam ucapannya.
“Mereka,” jawab Pak Tirta sambil menunjuk sopan kepada
Ayu dan Aditya. “Namanya Aditya Harapan dan Ayu Nostalgia.”
“Aditya penuh harapan dan Ayu penuh nostalgia,” ucap
Gawa.
Gawa mendekati Aditya yang menelan salivanya, terlihat
jelas jakun di lehernya bergerak naik turun beberapa kali. Gawa
tersenyum-senyum sambil mendekatkan wajahnya ke bawah wajah Aditya yang lebih
tinggi. Sesekali Gawa mengeluarkan ujung lidah yang berwarna biru pekat dan
bercabang.
“Ampun! Ampun, Tu-tu-tuan!” teriak Aditya akhirnya,
ketakutan sambil termundur.
Bduk!
Aditya tersandung oleh kaki Ayu yang bersujud ketakutan
di belakangnya. Aditya pun jatuh terjengkang kesakitan.
Pak!
“Ayu!” panggil Gawa kencang sambil menepuk bokong Ayu
yang besar, menggiurkan untuk ditepuk.
“Emaaak!” jerit Ayu kencang sambil meram kuat-kuat.
“Hahaha!” semakin tertawa Gawa melihat Ayu.
Namun, Gawa tiba-tiba berhenti tertawa. Ia mendelik,
membuat matanya terlihat menyeramkan.
“Hahaha...!” Meledak habis tawa Gawa sambil menunjuk Ayu.
Lalu katanya di sela-sela tawanya, “Ayu ngompol!”
Pak Tirta hanya tersenyum.
Tina, Jur, dan yang lainnya sebenarnya ingin tertawa,
tetapi rasa takut mereka lebih mendominasi.
Ketakutan mereka berenam semakin jadi saat dari dalam
cermin keluar sesosok perempuan muda. Meski yang keluar kali ini adalah sosok
yang cantik, tetapi tetap saja menakutkan.
Perempuan yang keluar dari dalam cermin memiliki kulit
yang sama dengan Gawa, seputih kapas. Rambutnya yang sepunggung berombak,
semuanya berwarna biru muda. Pupil matanya berwarna biru dan terlihat indah.
Hidungnya mancung dengan model dagu sedikit belah. Warna bibirnya juga biru.
Namun, kuku-kuku jari tangannya berwarna hijau. Gadis berusia masih enam belas
tahun itu mengenakan pakaian seperti gaun berwarna biru muda keputihan.
“Heh! Berisik sekali!” hardik gadis aneh itu kepada Gawa.
“Ayu ngompol, Kak! Hahaha!” jawab Gawa sambil menunjuk
Ayu. Ia masih tertawa memegangi perutnya.
Meski itu lucu bagi Gawa, tetapi gadis itu tidak
tersenyum sedikit pun.
“Selamat datang, Nona Muda Fatara,” ucap Pak Tirta sambil
tersenyum dan membungkuk.
“Iya, Pak,” ucap gadis bernama Fatara itu. Ekspresinya
dingin. Ia berjalan pergi ke sofa. Ia pun tampak tidak peduli dengan kondisi
yang menimpa keenam karyawan baru itu.
Terakhir, putra tertua dari Rudy Hendrik dan Lestari
melangkah keluar dari dalam cermin.
Lengkap sudah ketakutan Tina dan yang lainnya melihat
kemunculan orang yang lebih dewasa dari Gawa dan Fatara.
Ia seorang pemuda tampan yang memiliki kemancungan hidung
yang sempurna. Dengan hanya melihat hidungnya, mungkin akan banyak gadis yang
tergila-gila. Namun, sama seperti kedua adiknya, pemuda berusia 19 itu berkulit
seputih kapas. Model rambutnya tidak biasa, pendek di depan, tetapi gondrong
ikal di belakang. Rambutnya hitam dan tebal. Sepasang alisnya sedikit tebal
lagi panjang. Pupil matanya berwarna ungu. Lingkar matanya hitam seperti adiknya.
Bibirnya berwarna hitam sehitam rambutnya. Tinggi tubuhnya terbilang jangkung,
tapi tidak berlebih. Bahunya lebar dan besar. Kemeja hitam lengan pendek yang
dikenakannya membuat kedua tangannya terlihat kekar. Tampaknya ia pemuda yang
menjaga penampilan fisik sebagai seorang lelaki. Sama dengan yang lain, semua
kuku jarinya berwarna hijau.
Ia adalah Karaz Hendrik. Ketika keluar dari cermin, ia
langsung tersenyum kepada Pak Tirta.
“Selamat pagi, Pak Tirta!” sapa Karaz lebih dahulu.
“Selamat pagi, Tuan Muda Karaz,” jawab Pak Tirta,
tersenyum sambil membungkuk menghormat.
Sejenak Karaz diam berdiri di tempatnya. Ia memperhatikan
keenam karyawan baru yang kondisinya memprihatinkan.
“Tidak perlu takut dengan kami. Kami tidak akan
mencelakakan kalian. Ayo semuanya, bangun, berdiri yang benar!” kata Karaz.
Lalu katanya lagi, “Jika kalian takut seperti ini, bagaimana kalian bisa
mengawal tuan-tuan kalian?”
“I... iya, Tuan!” ucap Jur yang memiliki psikis lebih
kuat dibandingkan rekan-rekannya yang lain.
Tina turun dari gendongan, Cucun keluar dari balik
punggung Jur, Rajab sudah berdiri tegak meski kakinya masih gemetar, dan Aditya
sudah berdiri kembali. Sementara Ayu, dengan berat dan malu perlahan bergerak
bangun. Ia benar-benar gemetar, sama seperti Tina.
Gawa sudah pergi duduk ke sofa, di dekat kakak
perempuannya.
“Baik, ayo tarik napas yang dalam dulu. Lalu keluarkan
pelan-pelan. Ulangi beberapa kali, agar perasaan kalian lebih tenang,” kata
Karaz kepada para karyawan itu.
Keenam karyawan baru yang berposisi sebagai pengawal dan
sopir itu melakukan arahan Karaz.
“Sudah mendingan?” tanya Karaz kepada mereka setelah tiga
kali tarik dan buang napas.
Mereka berenam manggut-manggut meski masih ketar-ketir
dan jantung masih berlari sprint. Namun, kegetaran pada kaki dan gigi mereka
sudah berkurang banyak.
“Perkenalkan, inilah kami, ketiga putra Tuan Rudy. Namaku
Karaz. Yang cantik menakutkan di sana namanya Fatara. Yang paling suka jahil
dan kecil, namanya Gawa. Ini hari pertama kalian mengawal kami ke sekolah.
Jangan takut, nanti kalian akan terbiasa,” ujar Karaz yang sesekali tersenyum
dalam bicaranya, membuat Tina, Ayu dan Cucun mulai terpesona kepada tuan
mudanya.
Karaz lalu menunjuk Ayu.
“Nama kamu siapa?” tanyanya.
“A-a-ayu, Tuan,” jawab Ayu gagap dan suara bergetar.
“Kamu harus tanggung jawab. Ganti pakaian kamu dan
bersihkan air kamu!” perintah Karaz.
“I... iya, Tuan,” jawab Ayu sambil mengerenyit tidak
sakit. Lalu makinya dalam hati, “Ayu jelek, kenapa pakai ngompol segala. Malu
banget di depan Tuan Karaz yang gantengnya seawan ....”
“Selain mengawal kami, kalian juga bertugas melindungi
kami. Pasti akan banyak serangan verbal, bahkan bisa sampai serangan fisik dari
orang-orang yang benci. Ketika itu terjadi, kalian yang mengawal kami harus
menjadi tameng hidup. Contoh kasus, jika ada yang melempar saya batu, maka
pengawal saya harus cepat melindungi saya. Lebih baik kalian yang luka daripada
tuan muda kalian. Mengerti?”
“Mengerti, Tuan!” ucap mereka semua serentak, meski itu
bertentangan dengan kata hati mereka yang protes.
“Siapa yang mengawalku?” tanya Karaz.
“Tina Cihuy, Tuan,” jawab Pak Tirta sambil menunjuk Tina dengan
ibu jari.
“Bagaimana, Tina? Apakah kau bisa melindungi dari
lemparan batu?” tanya Karaz kepada Tina yang menunjukkan ekspresi bingung.
“Eee … anu, Tuan. Bajunya kecil atau besar?” tanya Tina.
“Kok baju?” tanya Karaz.
“Maksud Tina itu, batunya kecil atau besar,” ralat Ayu
yang merupakan sahabat kental Tina.
“Maaf, Tuan Muda. Tina ini punya penyakit suka salah kata
saat bicara,” jelas Pak Tirta.
“Oh ya? Ini menarik, Gawa. Tapi kau jangan usil mengerjai
pengawalku,” kata Karaz kepada adiknya.
“Hahahak!” tawa Gawa.
“Masalah batu bisa kau simpulkan sendiri, Tina,” kata
Karaz.
“Ba-ba-baik, Tuan. Akan saya sampulkan sendiri,” jawab
Tina.
“Hahahak!” tawa Gawa sendiri, sebab Fatara tidak tergugah
sedikit pun untuk tertawa. (RH)