TTM 1

1

Tiga Tuan Muda

 

 

Tina Cihuy berdiri bersebelahan dengan Rajab Syah.

Mahjur Supeno berdiri bersebelah dengan Cucun Maghfirah.

Ayu Nostalgia berdiri bersebelahan dengan Aditya Harapan.

Selain mereka berenam, masih ada satu orang yang berada di ruangan megah itu, yaitu Subana Tirtawana atau Pak Tirta, Kepala Pelayan Keluarga Rudy. Pak Tirta adalah seorang lelaki tua yang selalu berpakaian serba putih dengan sisiran rambut putihnya yang rapi ke belakang. Ia membawa sebuah tongkat pendek warna biru seperti tongkat sulap.

Keenam karyawan baru itu kini berada di sebuah ruangan mewah. Setiap dinding memiliki satu pintu berwarna hitam, tiga pintu tertutup dan satu terbuka. Mereka tadi masuk melalui pintu yang terbuka.

Di tengah ruangan ada sofa biru terang berformasi melingkari satu meja kaca yang modelnya bulat.

Di satu sudut ruangan ada sebuah cermin besar yang lebarnya satu depa, tinggi 2 meter. Cermin itu dalam bingkai kayu hitam bergaya ukiran klasik.

Keenam karyawan baru itu mengenakan seragam baju kemeja putih dengan rok dan celana berwarna hitam. Sepatu dan kaos kaki mereka juga berwarna hitam.

Karyawan baru pertama bernama Tina Cihuy, gadis usia 23 tahun berambut sepunggung yang diikat satu di belakang. Ia tipe wanita yang suka tampil simpel tanpa mau banyak proses. Meski faktanya, bedak tebal dan lipstiknya merah terang, tidak seimbang dengan tatanan rambutnya yang sederhana. Kaos kaki hitamnya panjang hampir menyentuh lutut.

Karyawan baru kedua yang juga pasangan Tina adalah Rajab Syah. Ia seorang lelaki berusia empat puluh tahun, tapi ia bertubuh kecil dan mungil. Tingginya pun hanya sebahu Tina Cihuy.

Karyawan ketiga adalah Mahjur Supeno yang akrab dipanggil Jur saja. Mahjur seorang pemuda besar, besar karena otot-ototnya yang besar. Sabuk kulitnya berwarna hitam berkepala tengkorak. Bajunya kemeja ketat lengan pendek warna putih, memperlihatkan tonjolan otot dada dan lengan yang berombak-ombak. Lehernya tampak kokoh dengan tampilan rambut cepak. Wajahnya tidak begitu tampan, tetapi kacamata hitamnya yang seperti kacamata orang buta membuatnya terlihat keren. Ia berhidung mancung, bertulang rahang kokoh dan berbibir seksi agak tebal. Pria itu berusia 25 tahun.

Di sisi Jur berdiri gadis tercantik di antara mereka yang bernama Cucun Maghfirah. Gadis berusia 25 tahun itu berwajah putih bersih, berhidung bangir dan bermulu mata lentik. Melihat dari kwalitas kecantikan wajah dan tipe bodinya, seharusnya ia ikut casting bintang sinetron atau audisi model, bukan justru melamar ke rumah tua yang ternyata banyak setannya itu.

Karyawan kelima adalah Ayu Nostalgia. Ia seorang gadis perawan yang makmur dari segi fisik. Kedua pipinya laksana bakpao lapis cokelat karena memang ia berkulit putih, tetapi kurang banyak. Hidungnya seksi meski agak pesek. Sepasang alisnya hitam panjang, lebih panjang dari aslinya, meski sedikit tidak imbang. Sekali bertemu pandang dengan Ayu, maka orang pun akan langsung tahu bahwa alisnya sedikit panjang sebelah. Gadis berlemak berusia 21 tahun itu tampil dengan kemeja lengan panjang yang agak ketat, sehingga lipatan lemak tubuhnya tampak berbaris dari bawah hingga atas. Rambutnya dikuncir kanan dan kiri agar ia terlihat cantik dan lebih imut, tetapi tetap saja terkesan amit-amit. Untuk lebih cantik, kuncirannya diikat dengan lilitan pita kuning.

Karyawan keenam bernama Aditya Harapan. Seorang pemuda tampan tapi pakai ukuran pas-pasan. Gaya rambutnya jambul model ekor ayam jago. Tubuhnya cukup berisi, meskit tidak sebesar Jur. Ia punya kumis tipis yang menjengkelkan, karena lebih tebal di kedua ujungnya. Ia adalah sopir untuk tuan muda, sama seperti Rajab Syah dan Cucum Maghfirah.

Sementara Tina Cihuy, Mahjur Supeno dan Ayu Nostalgia akan bekerja sebagai asisten atau pengawal tuan muda.

Pak Tirta dan keenam karyawan baru itu berdiri menunggu sambil menghadap ke arah cermin besar.

Zerzz!

“Hah!” kejut ketiga sopir dan ketiga pengawal itu serentak, saat tiba-tiba di cermin muncul kilatan-kilatan listrik.

“Kacanya singlet!” seru Tina terkejut.

“Hahaha!”

Suasana yang tadi hening mencekam, tiba-tiba buyar lantaran celetukan Tina yang memancing mereka tertawa. Pak Tirta membiarkan mereka tertawa, karena memang ucapan Tina terdengar lucu.

“Tina, kamu pikir kaca itu pakaian dalam? Hahaha!” timpal Jur lalu tertawa.

“Korslet, bukan singlet, Tina,” ralat Ayu.

“Singlet itu orang yang masih sendiri, belum punya pasangan,” kata Rajab Syah.

“Itu mah single,” sahut Ayu.

“Itu mah teman saya,” kata Tina lagi.

“Teman kamu mah Angela, Tina!” kata Ayu lagi.

“Iya, itu maksud saya,” kata Tina.

“Selalu begitu kalau dibilangin,” sungut Ayu.

Zerzz!

Aliran listrik yang terlihat seperti petir-petir kecil, semakin banyak, membuat keenam karyawan baru itu tegang. Bibir Tina dan Ayu sampai ternganga tanpa sadar. Namun, tampak Pak Tirta tenang-tenang saja.

Tiba-tiba sebuah tangan muncul keluar dari dalam cermin.

“Allahuakbar!” pekik Tina sambil buru-buru ke belakang tubuh Rajab Syah yang juga tegang atas bawah.

“Allahumma!” pekik Ayu terkejut.

Tanpa sadar Ayu memeluk lengan Aditya Harapan, pemuda gagah berambut jambul yang akan menjadi sopir. Karena ikut tegang, Aditya tidak sadar kalau ada yang empuk-empuk menyentuh lengannya.

Berbeda dengan Cucun yang tegang sambil memegangi ujung jari telunjuk Jur yang besar. Jur pun tegang atas bawah. Mereka semua terkejut hingga agak gemetar saat melihat tangan itu muncul keluar dari dalam cermin, tapi kemudian masuk lagi.

Semua memandang ke arah cermin. Tidak ada apa-apa lagi selain kilatan-kilatan listrik yang menyelimuti cermin.

“Huwwa!” teriak seorang anak lelaki yang tiba-tiba melompat keluar dari dalam cermin. Mengejutkan keenam karyawan baru itu.

“Ya Allah!” jerit Tina sambil spontan melompat naik ke punggung Rajab, ia menelungkupkan wajahnya ke pundak lelaki berusia kepala empat itu.

Sementara Rajab yang badannya lebih mungil, bukannya senang karena Tina naik ke punggungnya, tetapi berdiri dengan dua kaki gemetar.

Sementara Ayu, dia bersujud ke lantai, tidak mau melihat bocah yang keluar dari dalam cermin. Aditya Harapan berdiri gemetar, kaki sampai ke gigi gemetar kencang. Gagahnya pun luntur seketika.

Sementara Cucun masih bisa berdiri meski gemetar, tetapi kali ini ia berlindung di belakang badan Jur yang besar. Jur sendiri berdiri gagah, tetapi tetap saja kakinya gemetar.

Ekstremnya tes uji nyali tiga hari yang lalu memberi rasa trauma bagi mereka.

Tiga hari yang lalu, puluhan pelamar di Keluarga Hendrik harus melewati salah satu tes yang paling menyiksa mental, yaitu tes uji nyali di lorong dan ruangan yang ada banyak penampakan. Ada sepuluh orang yang lulus, enam di antaranya adalah mereka. Di tes uji nyali mereka harus berhadapan langsung dengan makhluk astral berbagai bentuk. Hasilnya, banyak yang pingsan, banyak yang ngompol, dan semuanya trauma. Namun, sepuluh terbaik masuk kategori lulus.

Anak kecil yang melompat keluar dari dalam cermin sepertinya memang bukan manusia. Pasalnya dia memiliki warna kulit seputih kertas atau kapas, bukan putih dalam artian kuning langsat atau putih kesusuan. Kulitnya benar-benar seputih kapas. Sepasang bibirnya hitam, benar-benar hitam sehitam tinta. Pupil matanya berwarna kuning. Lingkaran matanya bergaris hitam tebal seperti memakai maskara. Rambutnya hitam mengkilap tersisir rapi ke belakang seperti gaya rambut Dewa Judi. Meski tampak menyeramkan, ia memiliki hidung mancung seperti orang bule. Model dagunya sedikit belah.

Anak seumuran sepuluh tahun itu mengenakan baju putih, celana putih. Memakai kain sayap merah seperti Superman. Kuku-kuku jari tangannya berwarna hijau alami.

“Hahaha!”

Anak lelaki itu tertawa terbahak-bahak melihat keenam karyawan baru Keluarga Hendrik itu.

“Selamat datang, Tuan Muda Gawa!” ucap Pak Tirta seraya tersenyum ramah dan membungkuk sedikit sejenak sebagai tanda hormat.

“Pak Tirta, yang mana sopir dan pengawalku?” tanya anak lelaki yang disebut sebagai Tuan Muda Gawa oleh Pak Tirta. Tawanya masih tersisa dalam ucapannya.

“Mereka,” jawab Pak Tirta sambil menunjuk sopan kepada Ayu dan Aditya. “Namanya Aditya Harapan dan Ayu Nostalgia.”

“Aditya penuh harapan dan Ayu penuh nostalgia,” ucap Gawa.

Gawa mendekati Aditya yang menelan salivanya, terlihat jelas jakun di lehernya bergerak naik turun beberapa kali. Gawa tersenyum-senyum sambil mendekatkan wajahnya ke bawah wajah Aditya yang lebih tinggi. Sesekali Gawa mengeluarkan ujung lidah yang berwarna biru pekat dan bercabang.

“Ampun! Ampun, Tu-tu-tuan!” teriak Aditya akhirnya, ketakutan sambil termundur.

Bduk!

Aditya tersandung oleh kaki Ayu yang bersujud ketakutan di belakangnya. Aditya pun jatuh terjengkang kesakitan.

Pak!

“Ayu!” panggil Gawa kencang sambil menepuk bokong Ayu yang besar, menggiurkan untuk ditepuk.

“Emaaak!” jerit Ayu kencang sambil meram kuat-kuat.

“Hahaha!” semakin tertawa Gawa melihat Ayu.

Namun, Gawa tiba-tiba berhenti tertawa. Ia mendelik, membuat matanya terlihat menyeramkan.

“Hahaha...!” Meledak habis tawa Gawa sambil menunjuk Ayu. Lalu katanya di sela-sela tawanya, “Ayu ngompol!”

Pak Tirta hanya tersenyum.

Tina, Jur, dan yang lainnya sebenarnya ingin tertawa, tetapi rasa takut mereka lebih mendominasi.

Ketakutan mereka berenam semakin jadi saat dari dalam cermin keluar sesosok perempuan muda. Meski yang keluar kali ini adalah sosok yang cantik, tetapi tetap saja menakutkan.

Perempuan yang keluar dari dalam cermin memiliki kulit yang sama dengan Gawa, seputih kapas. Rambutnya yang sepunggung berombak, semuanya berwarna biru muda. Pupil matanya berwarna biru dan terlihat indah. Hidungnya mancung dengan model dagu sedikit belah. Warna bibirnya juga biru. Namun, kuku-kuku jari tangannya berwarna hijau. Gadis berusia masih enam belas tahun itu mengenakan pakaian seperti gaun berwarna biru muda keputihan.

“Heh! Berisik sekali!” hardik gadis aneh itu kepada Gawa.

“Ayu ngompol, Kak! Hahaha!” jawab Gawa sambil menunjuk Ayu. Ia masih tertawa memegangi perutnya.

Meski itu lucu bagi Gawa, tetapi gadis itu tidak tersenyum sedikit pun.

“Selamat datang, Nona Muda Fatara,” ucap Pak Tirta sambil tersenyum dan membungkuk.

“Iya, Pak,” ucap gadis bernama Fatara itu. Ekspresinya dingin. Ia berjalan pergi ke sofa. Ia pun tampak tidak peduli dengan kondisi yang menimpa keenam karyawan baru itu.

Terakhir, putra tertua dari Rudy Hendrik dan Lestari melangkah keluar dari dalam cermin.

Lengkap sudah ketakutan Tina dan yang lainnya melihat kemunculan orang yang lebih dewasa dari Gawa dan Fatara.

Ia seorang pemuda tampan yang memiliki kemancungan hidung yang sempurna. Dengan hanya melihat hidungnya, mungkin akan banyak gadis yang tergila-gila. Namun, sama seperti kedua adiknya, pemuda berusia 19 itu berkulit seputih kapas. Model rambutnya tidak biasa, pendek di depan, tetapi gondrong ikal di belakang. Rambutnya hitam dan tebal. Sepasang alisnya sedikit tebal lagi panjang. Pupil matanya berwarna ungu. Lingkar matanya hitam seperti adiknya. Bibirnya berwarna hitam sehitam rambutnya. Tinggi tubuhnya terbilang jangkung, tapi tidak berlebih. Bahunya lebar dan besar. Kemeja hitam lengan pendek yang dikenakannya membuat kedua tangannya terlihat kekar. Tampaknya ia pemuda yang menjaga penampilan fisik sebagai seorang lelaki. Sama dengan yang lain, semua kuku jarinya berwarna hijau.

Ia adalah Karaz Hendrik. Ketika keluar dari cermin, ia langsung tersenyum kepada Pak Tirta.

“Selamat pagi, Pak Tirta!” sapa Karaz lebih dahulu.

“Selamat pagi, Tuan Muda Karaz,” jawab Pak Tirta, tersenyum sambil membungkuk menghormat.

Sejenak Karaz diam berdiri di tempatnya. Ia memperhatikan keenam karyawan baru yang kondisinya memprihatinkan.

“Tidak perlu takut dengan kami. Kami tidak akan mencelakakan kalian. Ayo semuanya, bangun, berdiri yang benar!” kata Karaz. Lalu katanya lagi, “Jika kalian takut seperti ini, bagaimana kalian bisa mengawal tuan-tuan kalian?”

“I... iya, Tuan!” ucap Jur yang memiliki psikis lebih kuat dibandingkan rekan-rekannya yang lain.

Tina turun dari gendongan, Cucun keluar dari balik punggung Jur, Rajab sudah berdiri tegak meski kakinya masih gemetar, dan Aditya sudah berdiri kembali. Sementara Ayu, dengan berat dan malu perlahan bergerak bangun. Ia benar-benar gemetar, sama seperti Tina.

Gawa sudah pergi duduk ke sofa, di dekat kakak perempuannya.

“Baik, ayo tarik napas yang dalam dulu. Lalu keluarkan pelan-pelan. Ulangi beberapa kali, agar perasaan kalian lebih tenang,” kata Karaz kepada para karyawan itu.

Keenam karyawan baru yang berposisi sebagai pengawal dan sopir itu melakukan arahan Karaz.

“Sudah mendingan?” tanya Karaz kepada mereka setelah tiga kali tarik dan buang napas.

Mereka berenam manggut-manggut meski masih ketar-ketir dan jantung masih berlari sprint. Namun, kegetaran pada kaki dan gigi mereka sudah berkurang banyak.

“Perkenalkan, inilah kami, ketiga putra Tuan Rudy. Namaku Karaz. Yang cantik menakutkan di sana namanya Fatara. Yang paling suka jahil dan kecil, namanya Gawa. Ini hari pertama kalian mengawal kami ke sekolah. Jangan takut, nanti kalian akan terbiasa,” ujar Karaz yang sesekali tersenyum dalam bicaranya, membuat Tina, Ayu dan Cucun mulai terpesona kepada tuan mudanya.

Karaz lalu menunjuk Ayu.

“Nama kamu siapa?” tanyanya.

 

“A-a-ayu, Tuan,” jawab Ayu gagap dan suara bergetar.

“Kamu harus tanggung jawab. Ganti pakaian kamu dan bersihkan air kamu!” perintah Karaz.

“I... iya, Tuan,” jawab Ayu sambil mengerenyit tidak sakit. Lalu makinya dalam hati, “Ayu jelek, kenapa pakai ngompol segala. Malu banget di depan Tuan Karaz yang gantengnya seawan ....”

“Selain mengawal kami, kalian juga bertugas melindungi kami. Pasti akan banyak serangan verbal, bahkan bisa sampai serangan fisik dari orang-orang yang benci. Ketika itu terjadi, kalian yang mengawal kami harus menjadi tameng hidup. Contoh kasus, jika ada yang melempar saya batu, maka pengawal saya harus cepat melindungi saya. Lebih baik kalian yang luka daripada tuan muda kalian. Mengerti?”

“Mengerti, Tuan!” ucap mereka semua serentak, meski itu bertentangan dengan kata hati mereka yang protes.

“Siapa yang mengawalku?” tanya Karaz.

“Tina Cihuy, Tuan,” jawab Pak Tirta sambil menunjuk Tina dengan ibu jari.

“Bagaimana, Tina? Apakah kau bisa melindungi dari lemparan batu?” tanya Karaz kepada Tina yang menunjukkan ekspresi bingung.

“Eee … anu, Tuan. Bajunya kecil atau besar?” tanya Tina.

“Kok baju?” tanya Karaz.

“Maksud Tina itu, batunya kecil atau besar,” ralat Ayu yang merupakan sahabat kental Tina.

“Maaf, Tuan Muda. Tina ini punya penyakit suka salah kata saat bicara,” jelas Pak Tirta.

“Oh ya? Ini menarik, Gawa. Tapi kau jangan usil mengerjai pengawalku,” kata Karaz kepada adiknya.

“Hahahak!” tawa Gawa.

“Masalah batu bisa kau simpulkan sendiri, Tina,” kata Karaz.

“Ba-ba-baik, Tuan. Akan saya sampulkan sendiri,” jawab Tina.

“Hahahak!” tawa Gawa sendiri, sebab Fatara tidak tergugah sedikit pun untuk tertawa. (RH)

Di Belakang Bu Rita

DR. Budi Waseso, MPd mengantar Fatara Hendrik ke kelasnya, yakni Kelas 11 IPA. Fatara berjalan di belakang lelaki bertubuh gemuk pendek berperut buncit itu. Meski agak buntet, tetapi Kepala Sekolah adalah sosok yang ditakuti dan dihormati oleh seluruh warga sekolah swasta itu. Rambutnya yang sudah jarang-jarang karena faktor botak, tetap disisir rapi ke semping. Kumis tebalnya melintang asik seperti kumis jawara Tanah Abang.

Fatara berjalan di belakang Pak Budi. Sementara Jur berjalan lebih belakang lagi sambil menenteng tas sekolah Fatara.

Suasana di sekolah tampak sepi karena semua sudah masuk ke kelas masing-masing. Setiap kelas sudah diisi oleh seorang guru pengajar.

“Assalamu ‘alaikum, Bu Rita!” salam Pak Budi di pintu kelas.

“Wa ‘alaikum salam, Pak. Silakan masuk, Pak,” kata Bu Rita Sudarto, guru bahasa Indonesia yang terkenal cantik dan lembut tanpa kekerasan. Ia berdiri di depan kelas sambil memegang sebuah buku.

Pak Budi dan Fatara melangkah masuk. Ternyata Jur juga ikut masuk.

“Ada roti sobek isi susu kuda jantan!” sahut seorang murid dari pojokan kelas.

“Aaah!” tiba-tiba ramai siswi putri mendesah panjang seperti desahan malam Jumat kliwon.

“Hahaha...!” tertawa ramailah di Kelas 11 IPA itu.

“Bu Rita, pegangan, Bu!” teriak Erwin bermaksud menggoda gurunya yang memang faktanya masih belum menikah.

“Siapa yang berkata lagi, Bapak hukum cuci toilet!” ancam Budi sambil menatap tajam ke seantero kelas.

Seketika senyaplah kelas. Tidak ada yang berani berurusan dengan Kepala Sekolah.

“Jur, tunggu di luar!” perintah Fatara kepada pengawalnya itu. Ia mengambil tas dari tangan Jur.

“Siap, Nona!” ucap Jur patuh, layaknya seorang prajurit. Ia lalu balik kiri. Namun, sebelum ia maju jalan menuju pintu kelas, ia masih sempat menurunkan sedikit kacamata hitamnya lalu memandangi para murid dengan gayanya.

“Hahaha!”

Melihat gaya Jur yang menurut mereka kocak, meledaklah tawa semua murid.

Jur sekilas memandang kembali majikannya. Ternyata Fatara memandangnya dengan tajam dan dingin. Ditatap menyeramkan seperti itu, Jur buru-buru berjalan ke luar. Di luar dekat pintu, Jur berdiri siap sempurna dengan dagu sedikit terangkat, seperti penjaga Istana Kremlin di Moskow, Rusia. Kacamata kokoh bertengger di batang hidungnya.

Budi Wasesa tidak bisa menghukum mereka yang tertawa, tidak mungkin satu kelas dihukum.

“Ini murid baru di kelas ini. Saya serahkan kepada Ibu,” kata Pak Budi kepada Bu Rita.

“Iya, Pak,” ucap Bu Rita seraya tersenyum hambar dengan sinar mata yang memancarkan kengerian saat memandangi Fatara. Dengan jelas ia melihat kulit wajah Fatara yang begitu putih, jenis kulit yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Meski demikian, di dalam hati ia harus mengakui bahwa Fatara jauh lebih cantik darinya.

“Anak-anakku yang tersayang!” seru Budi kepada seluruh murid Kelas 11 IPA.

“Iya, Bapakku Sayang!” sahut para siswa serentak seraya tersenyum-senyum.

“Bapak berharap kalian menjadikan teman baru kalian sebagai anggota keluarga besar 11 IPA, bukan sebaliknya!” pesan Budi.

“Iya, Bapakku Sayang!” sahut seluruh murid serempak kompak sehingga terdengar ramai.

“Baik, Bu Rita, semoga baik-baik saja. Saya pamit,” ucap Budi seraya tersenyum manis kepada Bu Rita.

“Terima kasih, Pak,” ucap Bu Rita.

Baru saja Budi Waseso melangkah, tiba-tiba ia berbalik lagi dan bertanya kepada Bu Rita, “Oh ya, Bu. Katanya sudah mau sebar undangan ya?”

Mendelik Bu Rita mendapat pertanyaan seperti itu.

“Ah, Bapak dapat bisikan dari siapa?” tanya Bu Rita seraya tersenyum malu.

“Alhamdulillah jika belum,” kata Budi tersenyum lega sambil mengelus dada berdasinya.

“Hahaha! Pak Kepsek modus!” teriak seorang murid perempuan yang akhirnya memancing sekelas tertawa.

Budi yang hanya bermaksud bercanda menggoda Bu Rita tertawa sambil berjalan ke luar kelas.

Bu Rita Sudarto lalu beralih kepada Fatara untuk menyuruhnya memperkenalkan diri. Namun, ia kerutkan kening karena melihat jelas Fatara memandang ke belakangnya. Bu Rita lalu menengok ke belakang, tetapi tidak ada siapa-siapa selain meja guru dan tembok kelas. Hal itu membuat Bu Rita mendadak merinding.

“Fatara?” panggil Bu Rita.

Fatara yang saat itu sedang memandangi sosok hijau bermata merah di belakang Bu Rita, segera beralih fokus memandang kepada guru barunya itu.

“Lihat apa?” tanya Bu Rita dengan tatapan agak takut.

“Nanti saja saya jawab, kalau Ibu tidak sedang tugas,” kata Fatara datar tanpa sedikit pun senyum, seolah kulit wajahnya begitu keras untuk bergerak.

Jawaban yang menimbulkan misteri itu membuat Bu Rita mulai merasakan rasa takut yang ia ciptakan sendiri dengan imajinasi dugaannya.

Sejumlah murid yang duduk di deretan kursi depan mendengar dialog singkat itu. Mereka langsung saling berbisik-bisik, menimbulkan kegaduhan.

“Silakan, Fatara. Perkenalkan diri,” kata Bu Rita.

“Hai, semua. Nama saya Fatara Hendrik dari Keluarga Hendrik. Demikian,” kata Fatara singkat.

“Hah, hanya segitu!” pekik Erwin, murid terganteng di kelas itu, sebab ketiga teman gantengnya ada di kelas lain.

“Hahaha!” tertawalah sejumlah murid. Mereka sudah membayangkan perkenalan yang intronya panjang kali lebar kali tinggi.

Ketika sebagian murid menertawainya, Fatara tetap saja bergeming dalam ekspresinya.

“Boleh saya duduk, Bu?” tanya Fatara.

“Silakan,” kata Bu Rita seraya tersenyum canggung, terlebih Fatara tidak ada senyum sedikit pun.

Sejenak Fatara melirik kepada sosok gaib di belakang Bu Rita. Guru berambut sebahu itu jadi tergidik ngeri melihat gerak mata Fatara.

Fatara melangkah pergi menuju ke kursi kosong di belakang. Semua murid memandang tanpa kedip kepada Fatara yang berjalan, seperti melihat seorang diva dunia yang sangat cantik. Padahal yang mereka ingin lihat jelas adalah kulit putih dan warna biru pada tubuh Fatara. Namun, Fatara bersikap abai dengan tingkah warga kelas itu.

Akhirnya Fatara duduk di sisi seorang perempuan gemuk berkulit mulus, berpipi bakpao dan berhidung pesek. Meski demikian, gadis itu memiliki model mata yang indah, membuatnya terlihat cukup cantik meski tubuhnya berlipat-lipat karena lemak. Gadis ini bermodel seperti Ayu Nosatgia, tetapi yang ini lebih enak dipandang mata.

“Hai!” sapa siswi gemuk itu dengan ekspresi yang tidak jelas, antara tersenyum, takut dan merana. “Nama saya Erla Zaskia.”

“Masih ada hubungan keluarga dengan Zaskia Gotik?” tanya Fatara sambil duduk tanpa memandang kepada Erla Zaskia.

“Tidak ada, hehehe!” jawab Erla sambil cengengesan bingung tingkah.

“Baik, Anak-Anak, perhatikan!” seru Bu Rita dengan suara lembutnya.

Fatara masih melihat keberadaan makhluk hijau bermata merah yang suka melompat-lompat di tempat, tidak jauh di belakang Bu Rita. Makhluk berwajah seperti kakek-kakek itu memiliki ekor panjang seperti ekor biawak. Bentuk tubuhnya seperti perpaduan manusia dan hewan.

Sosok hijau itu hanya dilihat oleh Fatara.

Tidak hanya itu, Fatara juga melihat seorang wanita bergaun serba hitam gelap berdiri tepat di sudut kiri belakang kelas. Wanita itu berdiri mematung di sana. Seluruh wajahnya ditutupi oleh rambut yang lurus terurai. (RH)

Calon Primadona Baru

Arjuna Rangga, Micho Sapta, Erwin Yudono, dan Rendy Habib, berkumpul di kursi bawah pohon taman. Tidak biasanya mereka kumpul pagi-pagi, biasanya mereka baru kumpul saat jam istirahat atau setelah pulang.

Keempat siswa yang dikenal dengan sebutan Empat Pangeran itu sepakat untuk membuktikan kabar viral satu malam.

Tadi malam, semua guru dan murid SMA Gilang Bangsa yang memiliki ponsel, mendapat info berantai yang berbunyi “Besok ada primadona baru pindahan luar negeri”.

Berita viral se-SMA itu manjadi bahasan utama dan serius bagi Empat Pangeran. Bahkan mereka melakukan pertemuan darurat jam 12 malam di trotoar sambil ngopi eceran kopinya pedagang minuman keliling.

“Selama dua tahun, Primadona Gilang Bangsa adalah Lucy. Pertanyaannya adalah, apakah mahkota tiara primadona itu akan jatuh?” kata Micho Sapta, pemuda tampan beralis tebal dan berkumis tipis lagi halus. Ia adalah murid kelas 12.

“Oke, tetapkan taruhan pertama. Kalau kalah, traktir yang menang selama lima hari,” kata Arjuna Ragga, siswa tampan berhidung mancung dengan warna ras blasteran yang kental. Kakeknya asli orang Spanyol. Ia sekarang kelas 12. “Murid baru bakal kudeta atau tidak? Kalau saya, masih Lucy.”

“Murid baru,” kata Erwin memilih. Ia siswa kelas 11 bertubuh tinggi berkulit sawo matang, tetapi ketampanannya boleh diadu. Keluarganya masih memiliki ikatan darah yang kuat dengan salah satu keluarga kraton yang ada di Tanah Jawa.

“Lucy!” pilih Rendy Habib, pemuda tampan bermata lebar dan berhidung panjang dan mancung. Alis dan cambangnya tampak lebat. Ia masih keturunan darah etnis Arab. Ia sama seperti Erwin, kelas 11.

“Lucy!” kata Micho juga memilih.

“Oke, tiga lawan satu. Taruhan kedua. Siapa yang berhasil mendapat senyum pertamanya? Yang kalah lari mundur tiga putaran di lapangan basket,” kata Arjuna lagi.

“Oke.”

“Setuju!”

“Siapa takut?”

Ketiga lainnya sepakat dengan taruhan kedua.

“Taruhan ketiga. Siapa yang berhasil minum satu gelas dengannya. Yang kalah, patungan buat pesta kecil,” kata Arjuna lagi.

“Setuju!” kata ketiga lainnya sepakat.

Setelah itu, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan motor besarnya masing-masing.

Keesokan paginya, Empat Pangeran bertemu di kursi bawah pohon di taman. Ternyata bukan hanya mereka berempat yang menunggu kedatangan si anak baru, tetapi Lima Dewi Merak juga berkumpul di kursi pinggir lapangan sekolah.

Lima Dewi Merak adalah nama kelompok bagi lima siswi cantik kelas 12. Meski di dalam kelompok itu ada Lucy Swiari, Primadona Gilang Bangsa saat ini, tetapi keempat siswi lainnya bukanlah yang tercantik.

Mereka juga sama dengan murid-murid yang lain, ingin sekali melihat secantik apa siswi pindahan yang katanya akan menjadi primadona baru Gilang Bangsa.

Akhirnya sebuah mobil mewah merah cerah merek Hummer H3 memasuki gerbang sekolah.

Melihat mobil itu, seketika para murid yang penasaran dengan si murid baru segera memusatkan pandangan mereka. Mereka yakin itu adalah mobil si murid baru karena sebelumnya tidak ada murid yang diantar datang dengan mobil jenis itu.

“Wow! Berkelas habis!” ucap Erwin terpukau.

“Kamu tahu harga itu mobil?” tanya Arjuna.

“Satu miliar,” terka Rendy.

“Salah!” kata Arjuna.

“Setengah miliar,” kata Micho.

“Salah. Yang benar tiga miliar!” kata Arjuna.

Mobil merah besar itu berhenti di depan tangga.

“Teman-Teman, lihat sopirnya!” kata Micho.

“Settaaan!” sebut Erwin sebagai ungkapan kekagumannya saat berhasil melihat keberadaan sopir mobil itu.

Mereka melihat Cucun Maghfira yang cantik berwajah putih bersih dan berhidung mancung. Bibirnya merah oleh lipstik. Kecantikannya menyimpan rasa penasaran karena matanya ditutupi oleh kaca mata hitam. Seorang gadis muda lagi cantik, tetapi menyopiri sebuah mobil besar nan mewah.

Akhirnya si anak baru turun dari mobil. Namun, sebagian dari warga sekolah SMA itu harus kecewa, meski tidak sedikit yang terpukau dan tertawa geli sendiri.

Orang yang turun dari mobil itu adalah seorang pemuda bertubuh tampan, karena wajahnya memang kurang tampan. Pemuda berambut cepak dan berkacamata hitam gelap itu tidak lain adalah Jur, yang nama aslinya Mahjur Supeno. Ia mengenakan kaos warna putih lengan pendek yang ketat, memperlihatkan tampilan ototnya yang membuat mata wanita tergiur dan nyali lelaki lain jadi ciut.

Jur segera membuka pintu bagi majikannya. Fatara Hendrik memberikan tas jinjing miliknya kepada Jur. Setelahnya, ia bergerak turun dan langsung berjalan menaiki tangga.

Empat Pangeran, Lima Dewi Merak dan para siswa lainnya, termasuk satpam sekolah, ternganga berjemaah melihat sosok anak baru yang mengenakan seragam sekolah sama seperti mereka, yaitu putih abu-abu. Namun, anak baru itu berambut biru terang, bermata biru, berbibir biru dan berkuku hijau. Yang paling aneh adalah kulitnya yang berwarna putih seputih kapas.

Arjuna, Micho, Erwin, dan Rendy tidak bisa berkata-kata selama hampir satu menit lamanya. Hingga ketika Fatara yang dikawal oleh sang bodyguard lewat tepat di depan mata mereka, tidak ada satu pun yang berkomentar.

Kondisi yang sama juga dialami oleh Lima Dewi Merak dan para murid yang lainnya.

Hingga akhirnya Erwin berteriak.

“Saya menaaang!”

“Enggak enggak enggak!” tolak Arjuna langsung merespon.

“Benar, enggak bisa, Er!” dukung Rendy.

“Enggak bisa bagaimana?” tanya Erwin protes. “Sekarang saya tanya, jawab dengan jujur. Arjuna, cantikan mana, Lucy atau si anak baru?”

“Anak baru,” jawab Arjuna.

“Kamu, Ren. Cantikan Lucy atau anak baru?” tanya Erwin lagi.

“Ya, jujur sih, cantikan anak baru,” jawab Rendy lemah.

“Sekarang kamu, Cho. Lucy atau anak baru?” tanya Erwin lagi.

“Kalau saya Lucy, tapi bohong,” jawab Micho lemah. Tapi tiba-tiba dia teriak kepada Erwin, “Tetap enggak bisa. Meski dia cantik, tetapi cewek itu aneh, Er!”

“Oit! Kita enggak nyinggung masalah keanehan. Kalian bertiga sudah mengakui, cewek itu lebih cantik dari Lucy!” tandas Erwin.

“Tapi kita belum tahu, dia bakal kudeta Lucy atau enggak. Hasil belum kelihatan, Er!” kilah Arjuna.

“Benar, Er. Walaupun anak baru lebih cantik dari Lucy, tapi belum tentu ada yang mau karena dia aneh,” kata Micho sambil tertawa kecil.

“Aaah, kalian. Oke, kita tunggu beberapa hari ke depan. Kita lihat reaksi sebagian besar anak-anak!” kata Erwin melunak.

Sementara itu, Fatara Hendrik berjalan tenang di sepanjang koridor sekolah yang melewati teras kelas demi kelas. Wajahnya dingin sedingin es. Ia tidak peduli dengan tatapan setiap mata kepadanya.

Sangat berbeda dengan Jur yang berjalan dengan tangan kanan menenteng tas sekolah Fatara. Jur berjalan dengan percaya diri di belakang nona mudanya. Matanya melirik ke sana dan ke sini, tetapi itu tertutupi oleh kacamatanya yang seperti kacamata bintang film Terminator. Ketika mendapati ada sekelompok siswi cantik yang dilewati, Jur terkadang tersenyum sendiri, seolah sedang menebar pesona.

Jika Gawa Hendrik pertama datang ke sekolah membuat hampir semua warga sekolah ketakutan, berbeda dengan Fatara yang hanya dianggap aneh. Kesan mengerikan tidak begitu melekat pada diri Fatara karena adanya faktor cantik.

Namun, tetap saja kehadiran Fatara di sekolah itu menghebohkan seisi sekolah.

Fatara tidak perlu bertanya untuk mencari letak ruang kepala sekolah. Ia cukup membaca papan nama yang ada di atas pintu setiap ruangan. Bahkan ada papan denah yang membuat orang baru mudah menemukan tempat yang dicari di sekolah itu tanpa harus bertanya. (RH)

Anak Nisan

Namanya Anisa Putri. Seorang gadis belia berambut lurus sebahu. Ia selalu suka memakai pakaian warna hitam selain seragam sekolahnya. Bahkan semua benda-benda lain selain pakaian, juga berwarna hitam.

Dua tahun lalu, orangtua yang tinggal satu-satunya, yaitu ibunya, wafat. Itu menjadi pukulan yang sangat dalam dan berat bagi kejiwaannya. Sedemikian sayangnya ia kepada ibunya, sepekan lamanya ia memilih tidur bermalam di atas pusara ibunya sambil memeluk batu nisan.

Tindakan Anisa itu membuat geger warga sekampung. Saat ia dibujuk pulang oleh warga hingga oleh Pak RW, Anisa selalu menangis dan mengamuk karena tidak mau pergi dari makam ibunya. Hingga suatu ketika, Anisa dibawa paksa oleh para tetangga dan dikurung di rumahnya. Namun, ia tetap saja memiliki cara untuk kabur dan menginap di makam ibunya.

Setelah sepekan bermalam di makam tanpa rasa takut sedikit pun, akhirnya Anisa pulang sendiri. Ia tinggal sebatang kara di rumahnya. Awalnya, tetangga terdekat mau membantu Anisa dan menganggapnya sebagai keluarga sendiri, tetapi kemudian mereka menyerah. Perilaku Anisa yang dianggap aneh-aneh membuat mereka takut dan menghindar.

Anisa Putri menjadi anak perempuan yang tidak pernah tersenyum dan jarang bicara. Jika ditanya selalu diam dan pergi tanpa ekspresi. Ketika ia pergi sekolah, ia selalu di-bully dan teman-temannya takut kepadanya.

Akhirnya warga kampung memberi Anisa nama baru, yaitu Anisa si Anak Nisan.

Lama kelamaan, ia menjadi anak mandiri. Ia mengurus rumah sendiri, bersekolah sendiri, dan berusaha memenuhi kebutuhannya sehari-hari sendiri. Meski terlihat sebagai anak yang aneh, sejumlah warga tetap iba kepadanya sebagai seorang anak yatim piatu. Ketika warga mulai terbiasa dengan karakter anehnya, bantuan berupa uang dan bahan makanan sehari-hari warga berikan. Warga tidak mau ada orang menderita kelaparan di lingkungan mereka.

Setelah enam bulan lamanya hidup sebatang kara, tiba-tiba ada sepasang suami istri datang dari Jakarta yang mengaku sebagai kakak dari ayah Anisa. Namanya Pak Sustawo dan istrinya bernama Nurul Cahya. Nurul Cahya lah yang berstatus sebagai kakak dari ayah Anisa.

Ketika adiknya wafat saat keponakannya berusia lima tahun, Nurul datang ke Kotabumi di Lampung. Namun, saat ibu Anisa wafat, mereka tidak mendapat kabar. Setelah mendapat kabar beberapa bulan kemudian dan mendapat cerita tentang kondisi Anisa, barulah Nurul dan suaminya memutuskan untuk mengasuh Anisa.

Karena mengenal bibinya dan setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Anisa mau ikut bibinya ke Jakarta.

Akhirnya Anisa pindah ke Jakarta. Di sana ia melanjutkan sekolahnya hingga lulus SD. Beruntung bagi Anisa, bibi dan pamannya sabar meski ia terlihat sebagai gadis yang aneh. Kedua sepupu perempuannya yang usianya lebih tua akhirnya bisa menerimanya, meski awalnya sempat protes karena keanehan Anisa yang menyeramkan.

Sementara itu di kantor Kepala Sekolah SMP Derajat Mulya, Kepala Sekolah kedatangan murid baru aneh plus menyeramkan, yaitu Gawa Hendrik yang berkulit seputih kapas, bermata kuning, dan berbibir hitam sehitam tinta. Meski wajahnya sangat tampan, tetapi tetap saja penampilannya menyeramkan.

“Si... silakan masuk!” ucap Kurnia Huzaifah masih tergagap.

“Terima kasih, Pak,” ucap Ayu Nostalgia sebagai pengawal atau asisten pribadi Gawa.

Gawa Hendrik dan Ayu melangkah masuk.

“Nama kamu Gawa Hendrik?” tanya Kurnia, sudah tidak gagap.

“Benar, Pak,” jawab Gawa lantang seraya tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih dan rapinya. “Mama pasti sudah cerita?”

“Benar. Sebentar ya, biar Bapak panggilkan wali kelasmu.”

Baru saja Kurnia meraih ponselnya, tiba-tiba dari luar berlari masuk Bu Rossa Amelia tanpa pakai salam lagi.

“Pak!” teriak  Bu Rossa di dalam ruangan itu.

Di belakang Bu Rossa muncul Pak Mudi Ternama yang juga masuk, tapi tidak seheboh Bu Rossa.

“Nah, ini wali kelasmu sudah datang sendiri sebelum dipanggil,” kata Kurnia. Lalu tanyanya kepada Bu Rossa heran, “Ada apa, Bu? Kok seperti orang baru lihat setan?”

“Iya, Pak. Sa... saya baru lihat setan!” kata Bu Rossa megap-megap seperti kesusahan bernapas.

“Di mana?” tanya Kepala Sekolah serius.

“Ini setannya, Pak Kurnia!” tunjuk Bu Rossa kepada Gawa.

“Bu Rossa, Gawa Hendrik ini adalah murid baru di Kelas 7C, murid Ibu. Gawa ini hanya memiliki kelainan pada fisiknya yang ia miliki bukan atas kehendaknya, jadi tolong Bu Rossa tidak mempelopori hukuman sosial kepadanya,” ujar Kurnia dengan nada lembut. Perasaannya sudah tenang, tidak gugup lagi seperti tadi.

“Tapi, Pak.... Tadi lidahnya seperti lidah biawak!” kata Bu Rossa, bersikeras.

“Ah, tidak, kok,” sangkal Kurnia. “Lidahnya biasa kok, hanya bibirnya yang hitam dan matanya kuning. Biasa itu mah, keturunan bule.”

“Benar, Pak. Saya lihat sendiri lidahnya!” kata Bu Rossa ngotot.

“Coba Gawa tunjukkan lidahmu ke Bu Rossa!” perintah Kurnia kepada Gawa.

“Aaa!” Gawa membuka mulutnya lebar-lebar agak lama.

Bu Rossa dan Pak Mudi segera melongoki rongga mulut gawa yang giginya putih bersih tanpa lubang, dan lidahnya juga normal seperti lidah manusia pada umumnya. Sedikit pun tidak terlihat ada tanda-tanda keanehan dalam rongga mulut itu.

“Bagaimana, Bu Rossa?” tanya Kurnia.

“Be... bersih,” ucap Bu Rossa mengerenyit heran karena tidak menemukan sebuah lidah aneh di dalam mulut Gawa.

“Cukup, Gawa!” kata Kurnia.

Gawa pun menutup mulutnya.

“Mungkin Bu Rossa berhalusinasi karena melihat kelainan pada diri Gawa,” kata Pak Mudi.

“Benar, bukankah Bu Rossa suka nonton film horor seperti film Pocong Ngelawak?” kata Kurnia menguatkan dugaan “halusinasi”.

Bu Rossa Amelia menatap Gawa. Anak yang ditatap hanya tersenyum manis seolah tanpa dosa.

Teeet! Teeet! Teeet!

Tiba-tiba terdengar tiga kali jeritan bel listrik, tanda masuk kelas bagai seluruh siswa.

“Silakan Bu Rossa membawa Gawa ke kelas dan jelaskan kepada seluruh teman-teman barunya tentang kondisi Gawa yang agak berbeda,” kata Kurnia.

“Iya, Pak,” ucap Bu Rossa patuh.

Akhirnya, Bu Rossa Amelia membawa Gawa ke Kelas 7C. Ayu Nostalgia tetap mengawal di belakang. Namun, ketika masuk ke kelas, Ayu berdiri di luar layaknya seorang satpam pintu. Kacamata hitam ia pakai agar terlihat lebih gaya.

Akhirnya Bu Rossa mulai terbiasa berada di dekat Gawa. Ketika ia masuk bersama membawa Gawa, hebohlah seluruh murid Kelas 7C.

“Tenang semua, Anak-Anak!” seru Bu Rossa di depan kelas. Di sisi kanannya berdiri Gawa.

Maka, senyaplah suasana kelas yang semula seperti pasar murah dadakan. Semua mata hanya tertuju kepada sosok Gawa yang menurut mereka begitu aneh.

“Ayo, Gawa, perkenalkan dirimu kepada teman-teman barumu!” suruh Bu Rossa.

“Hai, Teman-Teman! Perkenalkan, nama saya Gawa Hendrik, panggil saja saya Gawa. Saya pindahan dari luar negeri. Jika kalian melihat saya aneh, ya beginilah saya. Saya sudah seperti ini sejak lahir, jadi kelainan ini bukan kehendak saya. Meski saya aneh, tetapi saya ingin berteman dengan semuanya. Salam kenal semuanya!” kata Gawa memperkenalkan dirinya seraya tersenyum ramah. Di kata-kata akhirnya ia agak membungkuk kepada teman-temannya yang berjumlah dua puluh sembilan anak.

“Baik, perkenalan yang bagus,” ucap Bu Rossa. Lalu perintahnya kepada Gawa, “Duduklah di kursi yang kosong di sebelah Anisa!”

Baru saja Gawa melangkah menuju satu-satunya kursi kosong yang ada paling belakang, murid-murid yang awalnya duduk dengan gelisah, tiba-tiba berhamburan berlari ke sisi kanan dan kiri kelas menjauhi Gawa sejauh-jauhnya.

Anak-anak kini pada menumpuk di sisi kanan dan kiri dengan wajah mengerenyit ketakutan, bahkan ada yang saling berpelukan. Dengan tetap tersenyum seperti orang dewasa, Gawa terus berjalan menuju kursi kosong di belakang.

Namun, dari kesemua murid itu, ada satu murid yang tetap duduk di kursinya, yaitu Anisa Putri. Kursinya tepat bersebelahan dengan kursi yang akan diduduki oleh Gawa. Mereka akan satu meja. Selama ini kursi di sebelahnya kosong karena tidak ada satu pun murid yang mau duduk satu bangku bersamanya.

“Hai!” sapa Gawa ketika tiba di bangku Anisa.

Anisa hanya menatap datar tanpa ekspresi. Ia tidak memberi respon terhadap sapaan Gawa.

Gawa hanya tersenyum. Setidaknya murid perempuan itu tidak takuk dengan dirinya, pikir Gawa. Gawa pun duduk di kursi tersebut.

Selanjutnya, Bu Rossa lah yang bingung melihat murid-muridnya yang lain menumpuk di pinggiran kelas. (RH)