Hukuman Pancung Sha Gho (12)


Ilutrasi (Gambar: Devian Art)
Novel: Ratu Suku Lix

Tahun 2017

Bab Sebelumnya:

 
 
Ribuan rakyat Suku Barf dari Dinasti Thordho terus berteriak serentak dan berulang-ulang. Semuanya berdiri dari duduknya di atas tribun yang berbentuk huruf “U”. Mereka begitu semangat dan berapi-api dalam mendukung keputusan yang telah ditetapkan Raja Suku Barf.
“Pancung! Pancung! Pancung!”
Itulah kata yang terus diteriakkan oleh penduduk Suku Barf yang memadati tribun rakyat.

Tembok pembatas tribun yang setinggi dada di jaga ketat oleh pagar prajurit berseragam biru, lengkap helm besi prajurit dan senjata tombak panjang yang lebih tinggi dari tinggi tubuhnya.
Tribun itu menghadap sebidang tanah lapang yang di tengah-tengahnya ada sebuah panggung batu lebar berbentuk persegi empat. Di atas panggung berdiri sebuah tiang besi yang menggantung sesosok tubuh.
Tubuh itu digantung terbalik. Kaki, tangan dan badannya dibelit rantai. Pemuda tampan yang digantung mengenakan pakaian zirah besi berwarna perak dan emas. Posisi terbalik membuat rambut panjangnya terjuntai hingga menyentuh lantai panggung. Pemuda itu adalah Sha Gho, Panglima Perang Timur II Suku Barf.
Namun, timbul pertanyaan. Hal apa yang membuat seorang panglima perang bisa digantung terbalik seperti itu di atas panggung, sementara rakyatnya berteriak “pancung”?
Di sisi lain, berdiri sebuah tribun yang tinggi yang menempel pada bangunan raksasa nan megah milik Suku Barf. Di atas tribun tinggi itu duduk seorang lelaki tua yang perkasa di satu-satunya kursi yang ada. Kumis dan jenggot lebatnya berwarna putih. Pakaian kebesarannya hanya menutupi kedua lengan dan pinggang ke bawah. Dada dan perut tuanya terpampang kekar berotot. Ialah Graza, Raja Suku Barf. Di tribun khusus itu, Raja Graza hanya ditemani oleh dua orang prajurit tinggi yang berbaju zirah.
Drekrdrekr!
Tiba-tiba terdengar suara pergerakan benda besar. Seiring itu, teriakan-teriakan rakyat Suku Barf berhenti. Suara itu ternyata bersumber dari pintu batu besar yang bergerak terbuka. Pintu itu terletak tepat di sisi bawah tembok tebal tribun khusus tempat raja suku berada.
Dua ekor kuda hitam yang gagah berpakaian bagus, berlari keluar dari dalam ruang gelap di balik pintu batu. Kedua kuda menarik sebuah kereta terbuka di belakangnya. Kereta kuda bagus itu memiliki sepasang roda besi. Di atas kereta kuda berdiri seorang prajurit tinggi dengan pakaian zirah perang berwarna serba biru. Wajah matangnya masih tampan meskipun mata kirinya ditutup lempengan benda logam karena cacat. Ia memiliki kumis yang lurus dan jenggot yang rapi. Rambutnya panjang sepunggung. Ia membawa sebilah golok besar yang melengkung. Ia adalah Bhi Gho, Panglima Tinggi Kerajaan Suku Barf.
Suasana berubah hening mencekam. Hanya suara derap kaki kuda dan putaran roda kereta yang terdengar jernih. Lari kereta kuda perang itu meninggalkan kebulan debu di belakangnya. Suasanya masih hening ketika kuda dan keretanya berhenti di dekat panggung.
Jleg!
Sekali lompat, tubuh Bhi Gho berkelebat bersalto di udara lalu mendarat di panggung batu, dua meter dari tiang yang menggantung Sha Gho.
Sambil memikul golok besarnya di bahu kanan, Bhi Gho menatap dingin wajah pemuda yang akan dieksekusinya itu. Sha Gho pun menatap wajah pria gagah yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
Sebenarnya Bhi Gho bukanlah seorang algojo, tapi ia adalah ayah kandung dari Sha Gho sendiri. Sha Gho telah divonis bersalah oleh Hakim Pengadilan Tinggi Suku Barf dengan dakwaan “membocorkan rahasia Kerajaan Suku Barf kepada Ratu Suku Lix”. Kesalahan berat itu ganjarannya adalah dihukum pancung. Pengadilan Tinggi Suku Barf juga memutuskan Bhi Gho, ayah dari Sha Gho, sebagai algojo eksekutor.
“Pancung! Pancung!”
Mendadak kembali terdengar teriakan dari tribun rakyat. Awalnya satu orang yang berteriak, tapi kemudian semua mengikuti. Suasana pun kembali ramai.
“Laksanakan apa yang menurut Panglima Tinggi anggap adalah kebenaran!” kata Sha Gho dengan ekspresi yang teguh, tidak ada raut kegentaran sedikit pun. “Tapi ketahuilah, Panglima, kebenaran yang kau lihat adalah suatu kebodohan dari seorang pemimpin Keluarga Gho!”
Mendelik mata kanan Bhi Gho mendengar ucapan putra sulungnya tersebut. Muncul raut kemarahan di wajah tegarnya.
“Dan tetaplah menjadi benar di dalam pengkhianatanmu, anakku!” kata Bhi Gho.
Bhi Gho lalu mengatur posisinya. Kedua tangannya menggenggam hulu goloknya kuat-kuat. Golok itu dibentangkan siap diayunkan ke leher Sha Gho. Sementara teriakan-teriakan rakyat di tribum yang sejak tadi menunggu, memberikan tekanan yang kuat bagi Bhi Gho yang patuh pada perintah. Bhi Gho memalingkan wajahnya ke atas tribun khusus tempat Raja Suku Barf berada.
Raja Graza berdiri dari duduknya. Kemudian terlihat jelas ia mengangguk kepada Bhi Gho memberi kode persetujuan.
Maka Bho Gho kembali menatap wajah putranya. Detik berikutnya, golok besar yang sudah terbentang mengayun cepat.
Bdak!
Namun, sebelum leher Sha Gho putus rapi oleh golok besar itu, tubuh perkasa Bhi Gho terpaksa harus terpental keras hingga ke luar arena panggung. Satu bayangan biru cerah melesat sangat cepat dari tengah-tengah tribun rakyat dan menghantam tubuh Bhi Gho.
Ternyata bayangan biru itu adalah seorang gadis cantik bertubuh mungil berpakaian biru putih. Rambutnya berwarna biru terang yang diikat dengan pita merah. Pupil matanya juga berwarna biru. Ia tidak lain adalah tokoh Harzai yang bernama Shehree.
Sets! Trakr!
Tanpa jenjang waktu, Shehree melesatkan kiblatan sinar biru yang memutus rantai penggantung tubuh Sha Gho. Shehree menangkap tubuh yang lebih besar dan berat itu dengan bahunya. Selanjutnya Sha Gho dibawa melesat meroket sangat tinggi menuju langit.
Raja Graza, semua prajurit dan semua rakyat, hanya bisa terdiam terkejut. Namun, keheningan itu cepat dibuyarkan oleh teriakan Raja Graza.
“Kejaaar!” teriak Raja Graza memberi perintah.
Namun, perintah Raja Suku Barf itu hanya direspon  dengan kebingungan para prajurit dan perwiranya. Meskipun mereka bisa melepaskan serangan ke arah langit, tapi mereka tidak bisa terbang ke langit seperti yang bisa dilakukan oleh prajurit beberapa suku lain. Apalagi sosok Shehree yang menyelamatkan sosok Sha Gho sudah tidak terlihat di atas sana dan tidak mungkin turun lagi ke tempat itu.
Marli Sisilia benar-benar serius mendengarkan cerita Hilwa Fadia, wanita cantik dan dewasa di depannya. Sampai-sampai baksonya masih bertahan separuh mangkok. (RH)


Berlanjut: Jenderal Perang VI Suku Lix (13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar