Ilutrasi (Gambar: Devian Art) |
Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
Ribuan rakyat Suku Barf dari Dinasti Thordho terus
berteriak serentak dan berulang-ulang. Semuanya berdiri dari duduknya di atas
tribun yang berbentuk huruf “U”. Mereka begitu semangat dan berapi-api dalam
mendukung keputusan yang telah ditetapkan Raja Suku Barf.
“Pancung! Pancung! Pancung!”
Tembok pembatas tribun yang setinggi dada di jaga
ketat oleh pagar prajurit berseragam biru, lengkap helm besi prajurit dan
senjata tombak panjang yang lebih tinggi dari tinggi tubuhnya.
Tribun itu menghadap sebidang tanah lapang yang di
tengah-tengahnya ada sebuah panggung batu lebar berbentuk persegi empat. Di
atas panggung berdiri sebuah tiang besi yang menggantung sesosok tubuh.
Tubuh itu digantung terbalik. Kaki, tangan dan
badannya dibelit rantai. Pemuda tampan yang digantung mengenakan pakaian zirah
besi berwarna perak dan emas. Posisi terbalik membuat rambut panjangnya
terjuntai hingga menyentuh lantai panggung. Pemuda itu adalah Sha Gho, Panglima
Perang Timur II Suku Barf.
Namun, timbul pertanyaan. Hal apa yang membuat
seorang panglima perang bisa digantung terbalik seperti itu di atas panggung,
sementara rakyatnya berteriak “pancung”?
Di sisi lain, berdiri sebuah tribun yang tinggi yang
menempel pada bangunan raksasa nan megah milik Suku Barf. Di atas tribun tinggi
itu duduk seorang lelaki tua yang perkasa di satu-satunya kursi yang ada. Kumis
dan jenggot lebatnya berwarna putih. Pakaian kebesarannya hanya menutupi kedua
lengan dan pinggang ke bawah. Dada dan perut tuanya terpampang kekar berotot.
Ialah Graza, Raja Suku Barf. Di tribun khusus itu, Raja Graza hanya ditemani
oleh dua orang prajurit tinggi yang berbaju zirah.
Drekrdrekr!
Tiba-tiba terdengar suara pergerakan benda besar.
Seiring itu, teriakan-teriakan rakyat Suku Barf berhenti. Suara itu ternyata
bersumber dari pintu batu besar yang bergerak terbuka. Pintu itu terletak tepat
di sisi bawah tembok tebal tribun khusus tempat raja suku berada.
Dua ekor kuda hitam yang gagah berpakaian bagus,
berlari keluar dari dalam ruang gelap di balik pintu batu. Kedua kuda menarik
sebuah kereta terbuka di belakangnya. Kereta kuda bagus itu memiliki sepasang
roda besi. Di atas kereta kuda berdiri seorang prajurit tinggi dengan pakaian
zirah perang berwarna serba biru. Wajah matangnya masih tampan meskipun mata
kirinya ditutup lempengan benda logam karena cacat. Ia memiliki kumis yang
lurus dan jenggot yang rapi. Rambutnya panjang sepunggung. Ia membawa sebilah
golok besar yang melengkung. Ia adalah Bhi Gho, Panglima Tinggi Kerajaan Suku
Barf.
Suasana berubah hening mencekam. Hanya suara derap
kaki kuda dan putaran roda kereta yang terdengar jernih. Lari kereta kuda
perang itu meninggalkan kebulan debu di belakangnya. Suasanya masih hening
ketika kuda dan keretanya berhenti di dekat panggung.
Jleg!
Sekali lompat, tubuh Bhi Gho berkelebat bersalto di
udara lalu mendarat di panggung batu, dua meter dari tiang yang menggantung Sha
Gho.
Sambil memikul golok besarnya di bahu kanan, Bhi Gho
menatap dingin wajah pemuda yang akan dieksekusinya itu. Sha Gho pun menatap
wajah pria gagah yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
Sebenarnya Bhi Gho bukanlah seorang algojo, tapi ia
adalah ayah kandung dari Sha Gho sendiri. Sha Gho telah divonis bersalah oleh
Hakim Pengadilan Tinggi Suku Barf dengan dakwaan “membocorkan rahasia Kerajaan
Suku Barf kepada Ratu Suku Lix”. Kesalahan berat itu ganjarannya adalah dihukum
pancung. Pengadilan Tinggi Suku Barf juga memutuskan Bhi Gho, ayah dari Sha
Gho, sebagai algojo eksekutor.
“Pancung! Pancung!”
Mendadak kembali terdengar teriakan dari tribun
rakyat. Awalnya satu orang yang berteriak, tapi kemudian semua mengikuti.
Suasana pun kembali ramai.
“Laksanakan apa yang menurut Panglima Tinggi anggap
adalah kebenaran!” kata Sha Gho dengan ekspresi yang teguh, tidak ada raut
kegentaran sedikit pun. “Tapi ketahuilah, Panglima, kebenaran yang kau lihat
adalah suatu kebodohan dari seorang pemimpin Keluarga Gho!”
Mendelik mata kanan Bhi Gho mendengar ucapan putra
sulungnya tersebut. Muncul raut kemarahan di wajah tegarnya.
“Dan tetaplah menjadi benar di dalam
pengkhianatanmu, anakku!” kata Bhi Gho.
Bhi Gho lalu mengatur posisinya. Kedua tangannya
menggenggam hulu goloknya kuat-kuat. Golok itu dibentangkan siap diayunkan ke
leher Sha Gho. Sementara teriakan-teriakan rakyat di tribum yang sejak tadi
menunggu, memberikan tekanan yang kuat bagi Bhi Gho yang patuh pada perintah.
Bhi Gho memalingkan wajahnya ke atas tribun khusus tempat Raja Suku Barf
berada.
Raja Graza berdiri dari duduknya. Kemudian terlihat
jelas ia mengangguk kepada Bhi Gho memberi kode persetujuan.
Maka Bho Gho kembali menatap wajah putranya. Detik
berikutnya, golok besar yang sudah terbentang mengayun cepat.
Bdak!
Namun, sebelum leher Sha Gho putus rapi oleh golok
besar itu, tubuh perkasa Bhi Gho terpaksa harus terpental keras hingga ke luar
arena panggung. Satu bayangan biru cerah melesat sangat cepat dari
tengah-tengah tribun rakyat dan menghantam tubuh Bhi Gho.
Ternyata bayangan biru itu adalah seorang gadis
cantik bertubuh mungil berpakaian biru putih. Rambutnya berwarna biru terang
yang diikat dengan pita merah. Pupil matanya juga berwarna biru. Ia tidak lain
adalah tokoh Harzai yang bernama Shehree.
Sets! Trakr!
Tanpa jenjang waktu, Shehree melesatkan kiblatan
sinar biru yang memutus rantai penggantung tubuh Sha Gho. Shehree menangkap
tubuh yang lebih besar dan berat itu dengan bahunya. Selanjutnya Sha Gho dibawa
melesat meroket sangat tinggi menuju langit.
Raja Graza, semua prajurit dan semua rakyat, hanya
bisa terdiam terkejut. Namun, keheningan itu cepat dibuyarkan oleh teriakan
Raja Graza.
“Kejaaar!” teriak Raja Graza memberi perintah.
Namun, perintah Raja Suku Barf itu hanya
direspon dengan kebingungan para
prajurit dan perwiranya. Meskipun mereka bisa melepaskan serangan ke arah
langit, tapi mereka tidak bisa terbang ke langit seperti yang bisa dilakukan
oleh prajurit beberapa suku lain. Apalagi sosok Shehree yang menyelamatkan
sosok Sha Gho sudah tidak terlihat di atas sana dan tidak mungkin turun lagi ke
tempat itu.
Marli Sisilia benar-benar serius mendengarkan cerita
Hilwa Fadia, wanita cantik dan dewasa di depannya. Sampai-sampai baksonya masih
bertahan separuh mangkok. (RH)
Berlanjut: Jenderal Perang VI Suku Lix (13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar