Sekolah Geger

Ayu Nostagia yang berseragam kemeja putih lengan panjang dan berok hitam sepanjang lutut lewat sedikit, mengikuti Gawa Hendrik di belakang. Ayu membawa tas ransel kecil berwarna hitam, yang pada bagian depannya ada gambar sepasang mata menyeramkan, sama dengan gambar mata yang ada di badan bus.

Gawa berjalan sambil makan sebuah apel merah. Para pelayan yang Gawa lewati segera membungkuk sedikit memberi hormat kepada tuan terkecilnya.

“Kak Ayu, tangkap!” seru Gawa sambil melambungkan apel di tangannya ke belakang, tanpa menengok ke belakang lagi.

Ayu terkejut mendapat perintah tiba-tiba. Buru-buru ia berusaha menangkap apel merah yang melambung, sampai kelabakan. Namun, Ayu berhasil menangkapnya.

Ayu memandangi apelnya yang sudah ada bekas gigitan gigi.

“Kak Ayu boleh makan,” kata Gawa seenaknya.

Ayu mendelik.

“Yang benar saja. Aku disuruh makan bekas gigitan,” membatin Ayu.

“Kalau jijik, Ayu bisa buang,” kata Gawa lagi tanpa memandang kepada pengawalnya itu.

Ayu buru-buru membuang apel itu ketika melihat keberadaan tong sampah.

Saat ini Gawa mengenakan seragam putih biru yang menunjukkan bahwa ia bersekolah pada tingkat SMP. Meski usianya masih sepuluh tahun, Gawa adalah anak cerdas.

Mereka akhirnya tiba di teras depan. Sebuah mobil BMW berwarna biru dongker telah parkir di depan tangga utama, menunggu. Di belakang kemudi telah duduk gagah Aditya Harapan dengan setelan kemeja putih dan dilapisi jas hitam. Kacamata hitam mempergaya penampilannya di belakang kemudi mobil mahal senilai lebih 1 miliar itu.

Ayu segera berlari kecil mendahului majikannya. Ia cepat membuka pintu tengah untuk Gawa. Anak kecil jahil itu hanya tertawa kecil melihat kegesitan Ayu, padahal bodinya berat.

Dengan tingkah yang riang, Gawa naik masuk ke dalam mobil yang tergolong besar itu. Setelah menutup pintu mobil, Ayu segera membuka pintu depan dan naik duduk di jok depan, tepatnya di samping sopir. Pemandangan itu bisa disebut mirip sepasang suami istri dengan satu orang anak.

“Ayo jalan, Bang Aditya!” teriak Gawa bersemangat.

Aditya Harapan segera injak gas, mobil pun meluncur menuju ke gerbang pekarangan.

“Kak Ayu masih takut?” tanya Gawa sambil tersenyum-senyum.

“Sudah tidak, Tuan Muda Gawa,” jawab Ayu seraya tersenyum, sedikit melirik ke belakang.

“Kalau lidah saya begini, bagaimana?” tanya Gawa lagi sambil menjulurkan lidah bercabangnya yang berwarna biru pekat.

Lidah itu ternyata bisa keluar panjang dan menjulur sampai ke samping wajah Ayu.

“Huaaa! Ampuuun, Tuan Mudaaa!”

Teriak Ayu terkejut bukan main kencangnya saat melihat ada benda aneh muncul di samping pipinya. Hal itu juga membuat Aditya tegang dalam menyetir.

“Hahaha!” tawa Gawa sambil menarik masuk lidah aneh dan menyeramkan miliknya itu. “Saya cuma bercanda, Kak Ayu. Lama-lama juga akan biasa. Hahaha!”

Namun, ketika berbicara biasa, lidah Gawa tampak biasa, seperti lidah pada umumnya, tidak sedikit pun terlihat ada lidah aneh.

Akhirnya mereka tiba di sebuah sekolah swasta di Jakarta. SMP Derajat Mulya. Itulah nama sekolah itu. Pagarnya tertutup rapat dengan tembok yang tinggi. Sebelum Aditya membawa mobilnya ke tempat parkir, lebih dulu ia menurunkan majikannya di dekat gerbang.

Murid-murid di sekolah itu sudah mulai ramai berdatangan, baik yang diantar maupun yang datang secara mandiri.

Ayu yang lebih dulu turun. Awalnya Ayu disangka ibu guru baru di sekolah itu. Namun, ketika ia membuka pintu untuk majikannnya, terlihat jelas bahwa ia bukan ibu guru, tapi ibu muda.

Ayu segera membuka pintu bagi Gawa. Tuan muda kecil itu segera turun dengan tersenyum. Gawa memandang ke gedung sekolah yang bertingkat, lalu memandang ke sekitar.

Awalnya hanya beberapa pasang mata yang melihat kepada kehadiran Gawa, tetapi dalam waktu singkat, mereka saling memanggil teman dan menunjuk kepada Gawa. Akhirnya, hampir semua mata yang menjangkau keberadaan Gawa memandang ke arah anak itu.

Anak-anak yang posisinya dekat, buru-buru menjauh. Yang posisinya dalam jarak aman, mereka memandang dengan menyeringai tapi tidak sakit, hanya merasa tergidik seram. Yang jauh, mereka tidak tahu jelas, apa yang sedang mereka pandangi, memancing untuk lebih mendekat.

Hingga akhirnya, semua pandangan warga sekolah itu memandangi Gawa dengan berbagai ekspresi tidak sedap. Namun, tampak sekali bahwa Gawa tidak mempedulikan semua tatapan minus itu, ia tetap tersenyum karena kini ia berada di lingkungan baru, tidak peduli lingkungan itu akan menerimanya atau tidak.

Namun, berbeda dengan Ayu Nostalgia. Ia jadi tidak nyaman menjadi pusat perhatian, terlebih ia bukanlah pengawal cantik yang seksi.

Tampak pula seorang satpam sekolah bergerak lebih mendekat, tetapi tidak sampai ke hadapan Gaza. Tindakan satpam tersebut hanya untuk memperjelas apa yang sedang dilihatnya. Ia memandang dengan ekspresi seperti sakit perut.

“Ayo, Kak Ayu!” ajak Gawa lalu berjalan lebih dulu.

Ayu segera mengawal di belakang Gawa sambil membawa tas ransel sang majikan. Gawa menunjukkan wajah datar, tanpa merasa terganggu dengan semua pandangan mata yang ditujukan kepadanya.

“Majikan saya kecil-kecil keren juga,” batin Ayu.

Melihat majikannya berjalan dengan tenang, akhirnya Ayu berusaha menirunya. Ia berjalan tegak, dagu sedikit di angkat, dan kacamata hitam ia pasang di wajahnya, sehingga mirip pengawal berkelas.

Justru murid-murid sekolah itulah yang segera menyingkir ketika Gawa dan Ayu lewat di dekat mereka.

Innalillahi!” jerit seorang guru perempuan gemuk pendek, yang kebetulan berpapasan di tikungan lorong. Guru bernama Ibu Rossa Amelia itu sontak terlompat merapat ke tembok. Sepasang matanya mendelik dan mulut ternganga. Kuduknya merinding mengikuti bulu tangannya yang berdiri.

“Pagi, Bu!” sapa Gawa kepada Bu Rossa Amelia.

“Papapa... pagi!” balas Bu Rossa yang jadi gagap karena terintimidasi oleh rasa horor.

“Ruangan Kepala Sekolah di mana, Bu?” tanya Gawa sambil tersenyum.

“Lululu... lurus, terus belok kakaka... kanan, lalu mentok!” jawab Bu Rossa masih tergagap, seolah benar-benar melihat hantu yang nyata.

“Terima kasih, Ibu Cantik,” ucap Gawa seraya tersenyum. Namun, di akhir senyumannya, lidah bercabang Gawa sempat keluar sekali.

“Ak!” jerit Bu Rossa terkejut bukan main, sampai-sampai kepalanya tersentak ke belakang dan membentur tembok. Jantung dan lututnya seketika terasa lemas. Tubuhnya tersurut turun terduduk di lantai.

Sementara Gawa dan Ayu sudah berjalan pergi meninggalkan Bu Rossa menuju ke kantor Kepala Sekolah.

“Bu Rossa kenapa?” tanya seorang guru lelaki, masih muda lagi tampan dan rambutnya disisir rapi. Ia mengenakan baju olahraga warna kuning dan celana training hitam. Ia bernama Pak Mudi, lengkapnya Mudi Ternama.

“Anu... anu, Mu...” ucap Bu Rossa yang membuat Pak Mudi terkesiap.

“Ibu Rossa bicara apa?” tanya Pak Mudi agak malu, karena menyangka Bu Rossa bicara kotor, terlebih Bu Rossa yang terduduk membuat posisi wajahnya sejajar dengan posisi pinggang Pak Mudi.

Buru-buru Pak Mudi menutupi titik celananya pada pangkal paha. Namun, tindakan Pak Mudi itu tidak menjadi pikiran Bu Rossa karena rasa keterkejutan dan ketakutannya lebih kuat.

“Cecece... cepat, beri tahu Kepala Sekolah, anak baru itu lidahnya aneh seperti monster,” kata Bu Rossa.

Pak Mudi lalu membantu Bu Rossa berdiri agar tidak menjadi perhatian siswa yang lalu lalang.

“Maksud Ibu, murid baru yang bikin geger itu?” tanya Pak Mudi.

“Iya, Pak. Cepat beri tahu Pak Kurnia, anak itu punya lidah yang aneh!” kata Bu Rossa panik.

“Karena Ibu yang tahu, lebih baik bersama ke kantor Pak Kurnia,” kata Pak Mudi.

Tok tok tok!

Drs. Kurnia Huzaifah, M.Pd yang sedang membaca dokumen di meja besarnya, sejenak memandang pintu kantornya yang tertutup saat terdengar suara ketukan.

“Masuk!” perintah Kurnia.

Pintu kantor itu dibuka dari luar oleh Ayu.

Astaghfirullah!” ucap Kurnia terkejut saat melihat penampilan Gawa.

Namun, sebagai orang yang berpendidikan dengan gelar Drs, Kurnia tidak mudah larut dalam keterkejutan. Sebelumnya ia sudah mendapat petunjuk dari Nyonya Rudy bahwa Gawa Hendrik memiliki kelainan fisik, sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya.

Assalamu ‘alaikum, Pak!” salam Ayu setelah membuka kacamata hitamnya.

Wa.., wa ‘alaikum salam,” jawab Kurnia sedikit gugup. Namun, ia berusaha membawa tenang dirinya dengan menarik napas yang dalam. Terlebih orang yang dihadapinya ini hanyalah seorang anak kecil berumur sepuluh tahun. (RH)

Al-Aqsha Memanggil, Mak

Afrizal keluar dari musala bersama jemaah lainnya usai melaksanakan salat zuhur. Pemuda berkulit hitam itu langsung menuju ke rumah sederhananya yang berada tidak jauh dari pantai Desa Maja, Kecamatan Kalianda.

Rumah berlantai keramik lusuh itu memiliki jemuran ikan asin di sisi kanannya. Ada balai-balai bambu di teras rumah yang menghadap ke jalan raya kecil di kaki Gunung Rajabasa.

Ketika Afrizal masuk, dilihatnya Suryani, adik perempuannya yang berusia 15 tahun sedang duduk di lantai, makan siang di depan televisi, sambil menonton. Dari dalam kamar keluar seorang wanita kurus separuh baya yang masih bermukena putih. Ia adalah Nurani, ibu dari Afrizal dan Suryani.

Nurani baru saja selesai melaksanakan salat.

“Mak!” panggil Afrizal lembut, membuat sang ibu berhenti bergerak dan menengok kepada putra sulungnya. Ia hafal, nada seperti itu biasanya ada hal penting yang ingin dibicarakan Afrizal kepadanya.

“Duduklah!” suruh Nurani kepada putra tertuanya itu. Ia melangkah dan duduk di kursi lusuh yang busanya sudah menyembul keluar karena robek.

Setelah ibunya duduk, barulah Afrizal duduk berseberang meja dengan orangtua tunggalnya itu. Sementara Suryani hanya menengok melihat keduanya sejenak, lalu kembali beralih ke televisi.

“Masalah penting apa, Zal?” tanya Nurani pelan, tapi serius menatap anaknya. Ia berharap bukan hal yang membuat perasaannya kecewa.

Afrizal tidak langsung menjawab. Ia membungkuk mengambil sebuah buku tipis di bawah meja. Buku yang sampulnya bergambar kombinasi sebuah masjid dan peta itu Afrizal berikan kepada ibunya.

“Emak tahu kan tentang Masjid Al-Aqsha?” tanya sang anak, dengan nada yang seolah hati-hati.

“Iya, kamu cerita banyak ke Emak tentang Al-Aqsha,” jawab Nurani.

“Masjid Al-Aqsha memanggil, Mak. Jadi, Afrizal mau izin pergi,” kata Afrizal.

Deg!

Ketika kata “izin pergi” terdengar oleh Nurani, jantung keibuannya seketika bereaksi tidak enak. Ia diam menatap wajah putranya. Dalam keterdiaman itu ia berusaha menekan perasaannya agar tidak tercurah lebih dulu air matanya menyikapi niat anaknya yang belum jelas.

Mendengar kata “izin pergi” juga membuat Suryani jadi kembali menengok kepada ibu dan kakaknya. Kali ini ia serius pula memandang kepada Afrizal. Ia tidak segera beralih kepada televisi. Ia pun ingin tahu, ke mana kakaknya akan pergi.

“Kata kamu, tempat Al-Aqsha itu daerah konflik dan jauh sekali. Ada perang di sana, ribuan orang mati dibunuh sama orang Yahudi. Orang di sana dikurung di kotanya tidak bisa keluar. Lalu, buat apa kamu ke sana?” tanya Nurani.

“Saya enggak mau ke sana, tapi saya mau pergi menyiarkan tentang Masjid Al-Aqsha, Mak. Itu masjid suci ketiga kita yang perlu diperhatikan orang Islam se-Indonesia, bahkan sedunia,” kata Afrizal meralat.

“Emak tidak mengerti yang kamu bicarakan ini, Zal,” kata Nurani dengan wajah sedikit merengut.

Afrizal pun mulai melihat ketidaksetujuan ibunya dari desah nafas dan ketajaman pandangannya. Gurat wajahnya pun menunjukkan itu.

Sementara Suryani meninggalkan makannya yang sudah selesai dan bergerak berdiri di belakang punggung kursi yang diduduki ibunya.

“Begini, Mak. Jika bisa saya berjuang senjata ke Palestina, pasti saya lakukan, tapi saya dan orang Islam Indonesia yang mau membela Palestina tidak mungkin berbuat itu. Saya sudah lama memikirkan bagaimana caranya saya bisa bela Masjid Al-Aqsha. Nah, baru tadi pagi saya dapat ide, Mak. Saya baca di koran tentang beberapa orang yang berjalan kaki keliling dunia dengan berbagai maksud, sehingga dia terkenal ke seluruh dunia....”

“Maksud kamu, kamu mau terkenal juga?” tanya Nurani memotong dengan nada agak ketus.

“Bukan begitu, Mak. Yang mau saya terkenalkan adalah Masjid Al-Aqshanya, bukan saya. Saya berencana mau jalan kaki dari rumah ini sampai ke Jakarta, sampai ke ujung Jawa di Madura. Saya mau sampaikan tentang kondisi Masjid Al-Aqsha!” jelas Afrizal dengan nada agak tinggi karena terbawa semangat.

“Ya Allah, Zal!” pekik Nurani tiba-tiba lalu geleng-geleng menatap putranya. Muncul gurat kemarahan di wajahnya, meski tidak memuncak. Namun, suara ibunya berubah rendah untuk memberi pengertian kepada putranya. “Bapakmu sudah pergi, tinggal kamu satu-satunya tulang punggung kita. Kalau kamu pergi, siapa penjaga keluarga ini, Zal. Emak tidak bisa bayangkan kamu pergi jalan kaki seperti orang kabur dari rumah yang tidak ada tujuannya. Kenapa harus cara itu? Emak rasa cukup kamu cerita kepada Emak, ke Suryani, kepada Ustaz Yahya, ke orang sekampung. Tidak perlu kamu korbankan usaha melautmu. Kamu tahu, Allah sedang beri keluarga kita rezeki melimpah. Harus kamu syukuri itu!”

“Hasil dari laut cukup untuk bekal Emak selama saya pergi. Saya cuma pergi sementara dan akan pulang lagi, Mak,” kata Afrizal masih coba untuk berdalih bahwa kepergiannya tidak berdampak buruk bagi keluarganya.

“Selagi kamu banyak uang, pikirlah tentang kawinmu,” kata Nurani lalu berdiri dari duduknya.

“Saya sudah niat tidak akan kawin sebelum saya berbuat sesuatu untuk membela Masjid Al-Aqsha, Mak,” kata Afrizal.

“Emak tidak setuju kamu pergi jalan kaki seperti orang gila!” tegas Nurani lalu beranjak pergi meninggalkan Afrizal.

“Mak!” panggil Afrizal agak keras, membuat sang ibu berhenti di depan pintu kamarnya. “Emak dulu berbuat gila untuk dapatkan Bapak, maka tidak salah saya berbuat gila untuk Allah!”

Nurani terdiam menatap lamat-lamat wajah putranya. Tak lama setelah itu, dia melangkah masuk ke kamarnya.

Afrizal dengan hempasan nafas kecewa menyandarkan punggung kekarnya ke sandaran kursi. Ia mememandang adiknya yang masih berdiri di belakang kursi.

“Piring di bawa ke dalam!” suruh Afrizal kepada adiknya.

“Hehehe!” kekeh Suryani kepada kakaknya tersebut.

“Kenapa kamu?!” hardik Afrizal yang merasa ditertawakan.

“Kalau saya setuju, saya dukung! Al-Aqsha! Al-Aqsha! Al-Aqsha!” kata Suryani seraya tertawa lalu berteriak kecil seraya angkat tangan kanan dengan jemari mengepal, seperti orang berdemo.

“Biar enggak ada yang larang kamu keluyuran malam-malam?” terka Afrizal.

“Hahaha!” Suryani semakin tertawa sambil bergerak menghampiri piring bekas makannya untuk diberesi. “Mendingan Kakak lamar dulu Wetto biar enggak penasaran. Hahaha!”

Afrizal hanya tersenyum getir di dalam rasa kecewanya atas penolakan ibunya. (RH)

Perkenalan

“Damar!” panggil Hendra saat melihat Ustaz Taufik Karomah berjalan menuju mobil antar jemputnya. Pemuda yang masih berkalung kamera hitam itu memanggil Darmawan yang sedang berbincang dengan Nirmala.

Darmawan segera izin kepada Nirmala dan segera mendatangi Hendra.

“Seperti pernah lihat itu akhwat (saudara perempuan),” kata Hendra kerutkan kening sambil tetap memandang ke teras masjid ketika Darmawan sudah sampai kepadanya.

“Hahaha, itu, yang kemarin jual tahu bulat manis di tempat saya,” kata Darmawan seraya tertawa kecil.

“Ustaz Taufik mau pulang tuh, yuk temui!” ajak Hendra yang mengenakan ransel hitam yang terlihat berat.

Usai salat zuhur, pengajian tentang Masjid Al-Aqsha pun selesai. Para jemaah yang salat memenuhi masjid Ahad siang itupun berbubaran, termasuk Ustaz Taufik Karomah selaku penceramahnya.

Di dampingi oleh ketua panitia Tabligh Al-Aqsha dan ustaz setempat, Ustaz Taufik menuju mobil yang akan mengantarnya pulang. Hendra dan Darmawan bergegas menghampiri Ustaz Taufik yang masih berbincang sejenak di sisi mobil.

Assalamu ‘alaikum, Ustaz!” salam Hendra.

Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab Ustaz Taufik dengan nada semangat. “Ah, ini wartawan kita, fotonya yang ganteng, Ra, jangan pas lagi monyong yang antum naikin ke publik.”

“Biar ekspresinya lebih hidup kalau pakai yang maju-maju, Ustaz,” kata Hendra bernada seloroh.

“Hahaha!” tertawa bersamalah mereka.

“Kenalkan, Ustaz, ikhwan Darmawan, salah satu fans Al-Aqsha,” kata Hendra menunjukkan diri Darmawan.

Darmawan segera maju ulurkan tangan untuk berjabat.

“Darmawan, Ustaz!” kata Darmawan memperkenalkan diri.

“Taufik Karomah,” kata sang ustaz pula seraya tertawa ringan menjabat tangan Darmawan.

Darmawan pun menjabat para pendamping Ustaz Taufik lainnya.

“Saya Irwan, Ustaz!” seru seorang pemuda tiba-tiba datang merangsek maju seraya langsung menjabat tangan Ustaz Taufik. Ia tidak lain adalah Irwan, buruh di pabrik boks speaker. “Saya tinggal di kampung sebelah, tapi sudah masuk Kabupaten Tangerang. Kapan ada acara lagi, Ustaz?”

“Pemuda-pemuda seperti ini yang diperlukan oleh Al-Aqsha. Nanti hari Jumat usai salat, ada acara pertemuan ulama yang khusus bahas kondisi Al-Aqsha di kediaman Ustaz Abu Rosyid. Darmawan dan Irwan datang saja, jangan telat,” ujar Ustaz Taufik.

“Alamatnya, Ustaz?” tanya Irwan lagi.

“Minta sama Hendra, dia punya,” jawab Ustaz Taufik.

“Iya, nanti saya beri,” kata Hendra kepada Irwan.

“Baik, Ustaz pamit dulu ya. Ingat, Ustaz harap bisa bertemu kalian di hari Jumat nanti,” kata Ustaz Taufik.

Insyaallah,” jawab Darmawan, Hendra dan Irwan bersamaan.

Assalamu ‘alaikum!” salam Hendra.

Wa ‘alaikum salam warahmatullah!” jawab mereka semua.

Ustaz Taufik pun bergerak masuk ke dalam mobil. Sementara yang lain melepas dengan senyum keikhlasan.

Akhi, sini!” panggil Hendra kepada Irwan.

Irwan segera mendekati Hendra yang sedang membuka tas ranselnya. Hendra menulis di secarik kertas.

“Ini alamatnya. Rute angkutan umum pun mudah untuk sampai ke sana,” kata Hendra.

Jazakallahu khairan (semoga Allah membalas kamu dengan balasan yang terbaik)!” ucap Irwan seraya menerima kertas tersebut.

Allahumma aamiin,” balas Hendra.

“Eh, kalau bisa, bareng saya aja naik motor pas hari Jumat,” kata Darmawan tiba-tiba kepada Irwan.

Irwan jadi terdiam sejenak, berpikir.

“Bisa?” tanya Irwan kepada Darmawan.

Insyaallah. Sebab, saya naik motor sendiri.”

“Boleh,” kata Irwan sepakat.

“Coba catat nomor hp saya,” kata Darmawan.

Darmawan dan Irwan pun bertukar nomor ponsel untuk mengatur rencana keberangkatan di hari Jumat.

Akhirnya, Darmawan, Irwan dan Hendra berpisah. Irwan pulang berjalan kaki karena kediamannya hanya menyeberang kampung. Hendra pulang dengan sepeda motornya. Darmawan pun pergi ke parkiran mendapati sepeda motornya, tapi pandangannya masih mencari-cari. Namun, karena yang dicari sudah tidak terlihat di lokasi sekitar, Darmawan pun beranjak pergi meninggalkan area masjid.

Baru saja keluar dari gang masjid, Darmawan melihat sosok wanita berhijab hijau muda sedang berjalan sendiri menyandang tas berwarna kuning. Sosok gemuk itu Darmawan curigai adalah Nirmala.

Darmawan memelankan sepeda motornya, sebab ia harus melihat wajah muslimah itu lebih dulu untuk memastikannya bahwa ia adalah Nirmala atau bukan. Namun, dari warna pakaiannya yang sama, memastikan bahwa itu adalah Nirmala.

“Nir!” panggil Darmawan saat memastikan bahwa itu adalah Nirmala. Ia menghentikan sepeda motornya tepat di samping gadis gemuk manis yang memang adalah Nirmala.

“Eh, Bang Damar,” ucap Nirmala seraya tersenyum dan berhenti melangkah menuju pangkalan angkutan umum.

“Nirmala naik angkutan umum sendiri?” tanya Darmawan.

“Iya, Bang.” Jawab Nirmala seraya senyum setengah tersipu.

“Sebelumnya maaf nih, Nir. Abang hanya mau menawarkan atas beberapa pertimbangan. Jika Nirmala mau, ayo ikut Abang naik motor. Kalau ikut Abang, Nirmala lebih terjaga dan aman, kalau seandainya terjadi sesuatu, Abang tetap bisa tanggung jawab. Kalau naik umum, beberapa kali naik turun trayek,” ujar Darmawan.

“Tapi, ....” Nirmala berucap dengan ragu seraya memandang Darmawan dengan raut wajah seolah berpikir. “Apa tidak apa-apa, Bang?”

Insyaallah aman, asal dengan syarat,” kata Darmawan mantap.

“Syarat apa, Bang?” Nirmala jadi tambah ragu.

“Nirmala duduknya yang aman. Paham kan maksud Abang?” kata Darmawan.

“Paham,” jawab Nirmala seraya tersenyum sipu.

“Jika demikian, ayo naik!” ajak Darmawan seraya membaikkan duduknya dan menguatkan pegangannya pada stang.

Nirmala pun bergerak naik duduk ke belakang Darmawan dan duduk dengan aman tanpa memegang bahu atau merangkul pinggang si pemuda. Tasnya ia letakkan di depan tubuh sebagai pengaman.

Maka berangkatlah mereka menuju pulang. (RH)

Tiga Tuan Muda

Tina Cihuy berdiri bersebelahan dengan Rajab Syah. Mahjur Supeno berdiri bersebelah dengan Cucun Maghfirah. Ayu Nostalgia berdiri bersebelahan dengan Aditya Harapan.

Selain mereka berenam, masih ada satu orang yang berada di ruangan itu, yaitu Subana Tirtawana atau Pak Tirta, Kepala Pelayan Keluarga Rudy.

Keenam karyawan baru itu kini berada di sebuah ruangan mewah. Setiap dinding memiliki satu pintu berwarna hitam, tiga pintu tertutup dan satu terbuka. Mereka tadi masuk melalui pintu yang terbuka.

Di tengah ruangan ada sofa biru terang berformasi melingkari satu meja kaca yang modelnya bulat.

Di satu sudut ruangan ada sebuah cermin besar yang lebarnya satu depa, tinggi 2 meter. Cermin itu dalam bingkai kayu hitam bergaya ukiran klasik.

Pak Tirta dan keenam karyawan baru itu berdiri menunggu sambil menghadap ke arah cermin besar.

Zerzz!

“Hah!” kejut ketiga sopir dan ketiga pengawal itu serentak, saat tiba-tiba di cermin muncul kilatan-kilatan listrik.

“Kacanya singlet!” seru Tina terkejut.

“Hahaha!”

Suasana yang tadi hening mencekam, tiba-tiba buyar lantaran celetukan Tina yang memancing mereka tertawa. Pak Tirta membiarkan mereka tertawa, karena memang ucapan Tina terdengar lucu.

“Tina, kamu pikir kaca itu pakaian dalam? Hahaha!” timpal Jur lalu tertawa.

“Korslet, bukan singlet, Tina,” ralat Ayu.

“Singlet itu orang yang masih sendiri, belum punya pasangan,” kata Rajab Syah, pria kurus mungil yang sekarang berstatus sopir.

“Itu mah single,” sahut Ayu.

“Itumah teman saya,”kata Tina lagi.

“Teman kamu mah Angela, Tina!” kata Ayu lagi.

“Iya, itu maksud saya,” kata Tina.

“Selalu begitu kalau dibilangin,” sungut Ayu.

Zerzz!

Aliran listrik yang terlihat seperti petir-petir kecil semakin banyak. Membuat keenam karyawan baru itu tegang. Bibir Tina dan Ayu sampai ternganga tanpa sadar. Namun, tampak Pak Tirta tenang-tenang saja.

Tiba-tiba sebuah tangan muncul keluar dari dalam cermin.

“Allahuakbar!” pekik Tina sambil buru-buru ke belakang tubuh Rajab Syah yang juga tegang atas bawah.

“Allahumma!” pekik Ayu terkejut.

Tanpa sadar Ayu memeluk lengan Aditya Harapan, pemuda gagah berambut jambul yang akan menjadi sopir. Karena ikut tegang, Aditya tidak sadar kalau ada yang empuk-empuk menyentuh lengannya.

Berbeda dengan Cucun yang tegang sambil memegangi ujung jari telunjuk Jur yang besar. Jur pun tegang atas bawah. Mereka semua terkejut hingga agak gemetar saat melihat tangan itu muncul keluar dari dalam cermin, tapi kemudian masuk lagi.

Semua memandang ke arah cermin. Tidak ada apa-apa lagi selain kilatan-kilatan listrik yang menyelimuti cermin.

“Huwwa!” teriak seorang anak lelaki yang tiba-tiba melompat keluar dari dalam cermin. Mengejutkan keenam karyawan baru itu.

“Ya Allah!” jerit Tina sambil spontan melompat naik ke punggung Rajab, ia menelungkupkan wajahnya ke pundak lelaki berusia kepala tiga itu.

Sementara Rajab yang badannya lebih mungil, bukannya senang karena Tina naik ke punggungnya, tetapi berdiri dengan dua kaki gemetar.

Sementara Ayu, dia bersujud ke lantai, tidak mau melihat bocah yang keluar dari dalam cermin. Aditya Harapan berdiri gemetar, kaki sampai ke gigi gemetar kencang. Gagahnya pun luntur seketika.

Sementara Cucun masih bisa berdiri meski gemetar, tetapi kali ini ia berlindung di belakang badan Jur yang besar. Jur sendiri berdiri gagah, tetapi tetap saja kakinya gemetar.

Ekstremnya tes uji nyali tiga hari yang lalu memberi rasa trauma bagi mereka.

Anak kecil yang melompat keluar dari dalam cermin sepertinya memang bukan manusia. Pasalnya dia memiliki warna kulit seputih kertas atau kapas, bukan putih dalam artian kuning langsat atau putih kesusuan. Kulitnya benar-benar seputih kapas. Sepasang bibirnya hitam, benar-benar hitam sehitam tinta. Pupil matanya berwarna kuning. Lingkaran matanya bergaris hitam tebal seperti memakai maskara. Rambutnya hitam mengkilap tersisir rapi ke belakang seperti gaya rambut Dewa Judi. Meski tampak menyeramkan, ia memiliki hidung yang mancung seperti orang bule. Model dagunya sedikit belah.

Anak seumuran sepuluh tahun itu mengenakan baju putih, celana putih. Memakai kain sayap merah seperti Superman. Kuku-kuku jari tangannya berwarna hijau alami.

“Hahaha!”

Anak lelaki itu tertawa terbahak-bahak melihat keenam karyawan baru Keluarga Hendrik itu.

“Selamat datang, Tuan Muda Gawa!” ucap Pak Tirta seraya tersenyum ramah dan membungkuk sedikit sejenak sebagai tanda hormat.

“Pak Tirta, yang mana sopir dan pengawalku?” tanya anak lelaki yang disebut sebagai Tuan Muda Gawa oleh Pak Tirta. Tawanya masih tersisa dalam ucapannya.

“Mereka,” jawab Pak Tirta sambil menunjuk sopan kepada Ayu dan Aditya. “Namanya Aditya Harapan dan Ayu Nostalgia.”

Gawa mendekati Aditya yang menelan salivanya, terlihat jelas jakun di lehernya bergerak naik turun beberapa kali. Gawa tersenyum-senyum mendekatkan wajahnya ke bawah wajah Aditya yang lebih tinggi. Sesekali Gawa mengeluarkan ujung lidah yang berwarna biru pekat dan bercabang.

“Ampun! Ampun, Tututu... Tuan!” teriak Aditya akhirnya, ketakutan sambil termundur.

Bduk!

Aditya tersandung oleh kaki Ayu yang bersujud ketakutan di belakangnya. Aditya pun terjatuh kesakitan.

Pak!

“Ayu!” panggil Gawa kencang sambil menepuk bokong Ayu yang besar, menggiurkan untuk ditepuk.

“Emaaak!” jerit Ayu kencang sambil meram kuat-kuat.

“Hahaha!” semakin tertawa Gawa melihat Ayu.

Namun, Gawa tiba-tiba berhenti tertawa. Ia mendelik, membuat matanya terlihat menyeramkan.

“Hahaha...!” Meledak habis tawa Gawa sambil menunjuk Ayu. Lalu katanya di sela-sela tawanya, “Ayu ngompol!”

Pak Tirta hanya tersenyum.

Tina, Jur, dan yang lainnya sebenarnya ingin tertawa, tetapi rasa takut mereka lebih mendominasi.

Ketakutan mereka berenam semakin jadi saat dari dalam cermin keluar sesosok perempuan muda. Meski yang keluar kali ini adalah sosok yang cantik, tetapi tetap saja menakutkan.

Perempuan yang keluar dari dalam cermin memiliki kulit yang sama dengan Gawa, seputih kapas. Rambutnya yang sepunggung berombak, semuanya berwarna biru muda. Pupil matanya berwarna biru dan terlihat indah. Hidungnya mancung dengan model dagu sedikit belah. Warna bibirnya juga biru. Namun, kuku-kuku jari tangannya berwarna hijau. Gadis berusia masih enam belas tahun itu mengenakan pakaian seperti gaun berwarna biru muda keputihan.

“Heh! Berisik sekali!” hardik gadis aneh itu kepada Gawa.

“Ayu ngompol, Kak!” jawab Gawa sambil menunjuk Ayu. Ia masih tertawa memegangi perutnya.

Meski itu lucu bagi Gawa, tetapi gadis itu tidak tersenyum sedikit pun.

“Selamat datang, Nona Fatara,” ucap Pak Tirta sambil tersenyum dan membungkuk.

“Iya, Pak,” ucap gadis bernama Fatara itu. Ekspresinya dingin. Ia berjalan pergi ke sofa. Ia pun tampak tidak peduli dengan kondisi yang menimpa keenam karyawan baru itu.

Terakhir, putra tertua dari Rudy Hendrik dan Lestari melangkah keluar dari dalam cermin.

Lengkap sudah ketakutan Tina dan yang lainnya melihat kemunculan orang yang lebih dewasa dari Gawa dan Fatara.

Ia seorang pemuda tampan yang memiliki kemancungan hidung yang sempurna. Dengan hanya melihat hidungnya, mungkin akan banyak gadis yang tergila-gila. Namun, sama seperti kedua adiknya, pemuda berusia delapan belas tahun itu berkulit seputih kapas. Model rambutnya tidak biasa, pendek di depan, tetapi gondrong ikal di belakang. Rambutnya hitam dan tebal. Sepasang alisnya sedikit tebal lagi panjang. Pupil matanya berwarna ungu. Lingkar matanya hitam seperti adiknya. Bibirnya berwarna hitam sehitam rambutnya. Tinggi tubuhnya terbilang jangkung, tapi tidak berlebih. Bahunya lebar dan besar. Kemeja hitam lengan pendek yang dikenakannya membuat kedua tangannya terlihat kekar. Tampaknya ia pemuda yang menjaga penampilan fisik sebagai seorang lelaki. Sama dengan yang lain, semua kuku jarinya berwarna hijau.

Ia adalah Karaz Hendrik. Usianya sembilan belas tahun. Ketika keluar dari cermin, ia langsung tersenyum kepada Pak Tirta.

“Selamat pagi, Pak Tirta!” sapa Karaz lebih dahulu.

“Selamat pagi, Tuan Muda Karaz,” jawab Pak Tirta, tersenyum sambil membungkuk menghormat.

Sejenak Karaz diam berdiri di tempatnya. Ia memperhatikan keenam karyawan baru yang kondisinya memprihatinkan.

“Tidak perlu takut dengan kami. Kami tidak akan mencelakakan kalian. Ayo semuanya, bangun, berdiri yang benar!” kata Karaz. Lalu katanya lagi, “Jika kalian takut seperti ini, bagaimana kalian bisa mengawal tuan-tuan kalian?”

“I... iya, Tuan!” ucap Jur yang memiliki psikis lebih kuat dibandingkan rekan-rekannya yang lain.

Tina turun dari gendongan, Cucun keluar dari balik punggung Jur, Rajab sudah berdiri tegak meski kakinya masih gemetar, dan Aditya sudah berdiri kembali. Sementara Ayu, dengan berat dan malu perlahan bergerak bangun. Ia benar-benar gemetar, sama seperti Tina.

Gawa sudah pergi duduk ke sofa, di dekat kakak perempuannya.

“Baik, ayo tarik napas yang dalam dulu. Lalu keluarkan pelan-pelan. Ulangi beberapa kali, agar perasaan kalian lebih tenang,” kata Karaz kepada para karyawan itu.

Keenam karyawan baru yang berposisi sebagai pengawal dan sopir itu melakukan arahan Karaz.

“Sudah mendingan?” tanya Karaz kepada mereka setelah tiga kali tarik dan buang napas.

Mereka berenam manggut-manggut meski masih ketar-ketir dan jantung masih berlari sprint. Namun, kegetaran pada kaki dan gigi mereka sudah berkurang banyak.

“Perkenalkan, inilah kami, ketiga putra Tuan Rudy. Namaku Karaz. Yang cantik menakutkan di sana namanya Fatara. Yang paling suka jahil dan kecil, namanya Gawa. Ini hari pertama kalian mengawal kami ke sekolah. Jangan takut, nanti kalian akan terbiasa,” ujar Karaz yang sesekali tersenyum dalam bicaranya, membuat Tina, Ayu dan Cucun mulai terpesona kepada tuan mudanya.

Karaz lalu menunjuk Ayu.

“Nama kamu siapa?” tanyanya.

“A... Ayu, Tuan,” jawab Ayu gagap dan suara bergetar.

“Kamu harus tanggung jawab. Ganti pakaian kamu dan bersihkan air kamu!” perintah Karaz.

“I... iya, Tuan,” jawab Ayu sambil mengerenyit tidak sakit. Lalu makinya dalam hati, “Ayu jelek, kenapa pakai ngompol segala. Malu banget di depan Tuan Karaz yang gantengnya seawan....” (RH)