Ilustrasi: taksi. |
Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
Lidya tahu bahwa Marli, sahabat barunya, akan pergi
ke tempat bibi Hilwa. Namun, hari ini Lidya harus pergi ke klinik yang ia
percaya untuk memeriksakan kehamilannya yang masih dini.
Namun, Lidya tidak pernah menyangka dan tahu apa
yang akan dialaminya beberapa waktu ke depannya.
Berawal ketika menunggu taksi di pinggir jalan raya
besar. Sebuah sedan warna perak bertuliskan “TAKSI” di atas kapnya siap
melintas. Lidya cepat melambaikan tangan memanggil. Taksi pun menepi.
Namun, sebelum Lidya membuka pintu taksi, Lidya
terbelalak heran dan bertanya-tanya. Secara kebetulan, pandangannya lepas ke
seberang jalan, di jalur lain. Pandangan Lidya fokus kepada seorang pemuda
berkaca mata hitam yang baru keluar dari sebuah toko obat. Lidya begitu mengenal
pemuda itu. Namun yang jadi masalah, Lidya mengetahui bahwa pemuda itu telah
meninggal.
“Alvin?” ucap Lidya lirih tidak percaya.
Sampai-sampai pertanyaan sopir taksi tidak
didengarnya. Pemuda yang mirip Alvin itu masuk ke sebuah sedan hitam.
“Neng! Hoi, Neng!” panggil sopir taksi agak keras
untuk kedua kalinya.
Barulah Lidya terkesiap dan sadar. Buru-buru ia buka
pintu dan masuk ke dalam mobil.
“Pak, Bapak lihat sedan hitam di seberang jalan
depan toko obat itu?” tunjuk Lidya.
“Iya, kenapa, Neng?” tanya sopir yang bernama Toyib.
“Ikuti sedan itu, Pak!” perintah Lidya selaku
penumpang.
Sedan hitam di seberang jalan sudah melaju pergi.
Sementara taksi tumpangan Lidya harus mencari jalan putar lebih dulu. Kondisi
itu menciptakan jarak yang cukup jauh antara kedua kendaraan.
Pembuntutan pun terjadi.
Awalnya jarak pembuntutan cukup jauh. Namun, karena
faktor kemacetan kecil di beberapa titik, taksi yang ditumpangi Lidya kian
berjarak pendek dengan sedan hitam tersebut.
Tak berapa lama, aksi pembuntutan keluar dari jalan
raya besar. Mereka kini menelusuri jalan satu jalur untuk dua arah.
Sementara itu, di dalam sedan hitam, ada tiga orang
pemuda. Pemuda berkacamata hitam yang diduga sebagai Alvin oleh Lidya tidak
lain adalah Venus, orang yang pernah berada di kediaman Garda Prabowo. Ia
sedang berkomunikasi dengan ponselnya.
Pemuda yang mengendalikan stir mobil adalah pria
berkepala botak plontos. Namanya Nday. Sementara pemuda yang duduk di sisi
kirinya bernama Joy. Ia memakai topi kupluk motif salur merah. Nday dan Joy
adalah anak buah Venus.
“Hahaha! Tenang saja, Bos. Kami profesional.
Pembayaran masuk ke rekening, barang langsung kami berikan. Satu hal yang tidak
boleh lupa, orang Bos harus membawa kertas warna yang kami tentukan. Jika
tidak, barang tidak bisa ditransaksikan,” kata Venus kepada orang yang menjadi
lawan bicaranya di telepon. Sejenak Venus terdiam mendengar lawan komunikasinya
bicara. Lalu katanya lagi, “Jumlah itu besar bagi kami, Bos. Transaksi harus
dilakukan secara gaib.”
Venus kembali berhenti bicara dan mendengarkan orang
yang ia sebut “Bos” bicara.
“Melibatkan satu pihak saja pada dua tempat yang
berbeda. Transaksi lewat telepon dengan menggunakan kartu yang baru dibeli.
Setelah itu saling tunjuk lokasi uang dan barang. Ada keganjilan sedikit saja,
transaksi batal. Dan tidak ada kesempatan kedua,” ujar Venus.
“Bos!” panggil Nday.
Venus hanya beralih memandang kepada Nday di
depannya.
“Ada yang mengikuti kita, Bos!” lapor Nday.
Perkataan Nday membuat Joy cepat menengok ke
belakang. Sementara Venus tidak peduli. Ia kembali melanjutkan perbincangannya
di telepon.
Di belakang mobil mereka ada sebuah mobil boks. Di
belakang mobil boks barulah taksi yang ditumpangi oleh Lidya berada.
“Mobil boks itu?” tanya Joy.
“Bukan, yang taksi,” jawab Nday.
Venus akhirnya menutup komunikasinya.
“Biarkan. Terus saja ke gudang!” perintah Venus
tanpa tertarik melihat ke belakang. Venus sendiri memiliki usia yang lebih muda
dari kedua anak buahnya tersebut.
“Pak, Pak, Pak!” panik Lidya sambil menepuk bahu
sopir taksi. “Jangan terlalu dekat, nanti ketahuan!”
“Neng, sebenarnya kita ngikutin siapa?” tanya Toyib.
“Pacar saya, Pak.”
“Asal jangan bawa Bapak ke masalah saja, Neng,” kata
Toyib.
Mobil sedan hitam akhirnya berbelok masuk ke area
pergudangan. Mobil boks yang di belakangnya terus melintas lurus. Sementara
taksi bergerak pelan menjaga jarak lalu ikut berbelok masuk searah dengan mobil
Venus. Pak Toyib tampak ragu.
“Apa harus diikuti sampai ke dalam, Neng?” tanya
Toyib.
“Ya iyalah, Pak. Mana mungkin saya turun mengejar?”
jawab Lidya. “Tenang saja, Pak, saya bayar argonya.”
Taksi pun terus masuk ke kompleks pergudangan yang
banyak berfungsi sebagai pabrik industri.
Agak jauh di depan sana, sedan hitam berbelok lalu
hilang di balik bangunan pabrik.
“Buruan, nanti hilang, Pak!” kata Lidya.
Segera Toyib menambah kecepatan taksinya. Ketika
berbelok, ternyata sedan itu masih terlihat. Sedan hitam kembali berbelok dan
tak terlihat.
Taksi kembali bergegas menuju belokan blok
pergudangan.
Alangkah terkejutnya Toyib dan Lidya ketika mobil
mereka berbelok. Tiba-tiba saja muncul keluar dua lelaki dari balik sebuah
gerbang gedung. Salah satu lelaki sudah menodongkan sebuah pistol ke arah
Toyib. Seketika Toyib mengerem mendadak. Jarak kedua lelaki dan mobil hanya
tiga meter. Kedua lelaki itu bukanlah Venus, Nday atau Joy.
“Masuk! Cepat masuk!” teriak lelaki penodong pistol
sambil menggerak-gerakkan senjatanya memberi isyarat agar taksi itu masuk ke
gerbang bangunan gudang yang terbuka.
Seketika Lidya bingung dan cemas, terlebih Toyib yang
lebih ketakutan. Bayangan mati, atau setidaknya terluka tembak, sudah terilusi
di benak Toyib.
“Cepat!” bentak lelaki berpistol lebih keras dan
lebih melotot.
Tidak ada jalan lain bagi Toyib selain menurut.
“Bagaimana ini, Pak?” tanya Lidya ketakutan.
“Mau apa lagi, Neng? Mudah-mudahan cuma preman
pabrik,” kata Toyib sambil menjalankan mobilnya mengikuti perintah si penodong.
Setelah mobil taksi masuk melewati gerbang, pintu
tanpa lubang itu segera ditutup oleh beberapa orang.
Kini mobil berada di halaman depan sebuah pabrik.
Dari luar itu saja Toyib dan Lidya bisa melihat beberapa orang pria sedang
bekerja menyemprot lem aibon, mengamplas potongan papan. Suara mesin bekerja
terdengar bising.
Sedan hitam yang tadi diikuti terlihat parkir lebih
ke dalam gedung besar itu, tidak jauh dari tumpukan ratusan papan lebar yang
terbuat dari serbuk kayu halus. Sementara di sisi kiri depan gedung terparkir
dua mobil lain.
Di sisi kanan depan gedung terdapat sebuah ruangan
yang berfungsi sebagai kantor dengan dinding kaca tembus pandang dari luar.
“Keluar!” perintah si penodong, tetap menodongkan
pistolnya kepada Toyib dan Lidya.
Dua lelaki bertindak menarik paksa Toyib dan Lidya.
Gadis itu menjerit-jerit karena diperlakukan agak kasar. Pak Toyib hanya diam
menurut, ia sudah pasrah.
“Alvin...!” teriak Lidya.
Berlanjut: Oh Kekasih (16)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar