Ilustrasi: pasien IGD. (Foto: theguardian.com) |
Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
Afrizal berjalan mendekati kantor. Semakin mendekat, Afrizal
mendengar pekik kesakitan Lidya. Meski pintu ditutup, tapi kaca yang pecah
membuat suara Lidya terdengar jelas ke luar.
Ketika Afrizal melihat melalui jendela yang pecah, tampak
Venus sedang menjambak rambut Lidya yang sudah tidak berdaya. Wajah Lidya sudah
memar. Tampak darah mengalir turun ke betis Lidya. Darah itu berasal dari balik
rok pendek Lidya.
“Katakan! Siapa teman kamu itu?” tanya Venus membentak.
Lidya terdongak meringis kesakitan.
Pemandangan kejam itu membuat perasaan Afrizal menjadi
marah. Tanpa pikir-pikir lagi posisinya, ia cepat membuka pintu kantor itu.
“Hentikan, Venus!” seru Afrizal mengejutkan Venus yang
membelakangi posisi pintu.
Venus seketika berpaling ke belakang dengan wajah yang
marah, menatap wajah Afrizal yang juga menunjukkan kemarahan. Venus melepaskan
rambut Lidya. Gadis itu jatuh lemas terkulai di lantai.
“Jangan perlakukan perempuan sekejam itu!” bentak Afrizal.
“Kamu jangan turut campur urusan saya. Dia pelacur saya.
Saya sudah beri kenikmatan, tapi dia malah mengambil barang saya!” kata Venus.
“Dia harus dibawa ke rumah sakit!” kata Afrizal.
“Mati lebih baik baginya!” desis Venus sambil mengeluarkan
sepucuk pistol yang langsung ditodongkan ke arah kepala Lidya.
Dak!
Sebelum terjadi sesuatu, Afrizal yang menguasai ilmu bela
diri, cepat melesatkan tendangan geledeknya dan menghantam kepala Venus. Venus
langsung terbanting ke lantai dan pistolnya terbuang ke bawah meja. Venus tidak
bergerak di lantai kantor.
Tanpa pikir muhrim atau bukan, Afrizal buru-buru mengangkat
tubuh Lidya yang tak berdaya menahan kesakitan. Ia membawa gadis itu keluar dan
menuju ke bagian depan. Para pekerja dan anak buah Venus yang masih ada di
pabrik itu hanya diam menyaksikan.
Dari dalam kantor, muncul Venus yang berjalan sempoyongan
sambil meringis memegangi kepalanya.
“Bunuh orang itu!” teriak Venus begitu murka.
Perintah itu membuat beberapa anak buah Venus yang menyandang
pistol segera bertindak. Namun urung mereka menembak, sebab tiba-tiba tubuh
Afrizal diselimuti sinar biru. Selenyapnya sinar biru itu, lenyap pula sosok
Afrizal, yang ada adalah sosok perkasa seorang lelaki kekar berpakaian prajurit
kerajaan yang sedang menggendong tubuh Lidya. Itulah sosok Dho Gho, seorang
Harzai jelmaan Afrizal.
Semuanya terkejut menyaksikan peristiwa tidak masuk akal
itu. Beberapa anak buah Venus bahkan sampai gemetar. Namun, Venus sendiri tidak
mau terpaku.
“Tembak! Bunuh!” teriak Venus keras, membuyarkan
keterkejutan itu.
Dor dor! Ting ting!
Dua tembakan dilepas dan mengenai sosok Dho Gho. Suara timah
panas mengenai besi terdengar jelas saat dua peluru mengenai punggung Dho Gho.
Namun, Venus dan para anak buahnya harus terkejut, Dho Gho tidak terlihat
terluka sedikit pun.
Dho Gho lalu meletakkan tubuh Lidya di bahu kirinya.
Kian terperangah Venus dan anak buahnya saat melihat Dho Gho
menghampiri sedan hitam milik Venus lalu mengangkatnya dengan satu tangan,
seperti hanya mengangkat sekotak kardus ringan.
Mobil itu dengan mudahnya dilempar oleh Dho Gho. Mobil itu
pun melintas di udara mengarah posisi berdiri Venus. Venus yang masih merasakan
sakit pada kepalanya, menjadi panik.
Jika tidak lari, benda besar dan berat itu pasti akan menimpanya.
Bdruakr!
Namun, bagian belakang mobil menyenggol pinggiran tumpukan
ratusan papan lebar, sehingga arah dan lajunya jadi terganggu. Mobil itu jatuh
lebih awal. Buru-buru Venus berlari mundur menghindar, karena mobil yang jatuh
dua meter di depannya terus terseret ke arahnya.
“Akh...!” jerit Venus dengan tubuh jatuh berdebam saat kaki
kanannya terlindas ban mobil. Ban itu tepat menindih lutut Venus.
“Jika ada yang menembak, saya lempar dengan mobil ini!” seru
Dho Gho mengancam seluruh anak buah Venus. Saat itu dia sudah mengangkat mobil
taksi milik Toyib seperti hanya mengangkat sebuah mobil mainan.
Suasana berubah mencekam. Aktivitas pekerja pabrik pun telah
terhenti sejak mereka mendengar suara tembakan. Para anak buah Venus jadi
bimbang bertindak, terlebih bos mereka sudah tertimpa mobil.
“Jika kalian menembak, saya kebal peluru, jangan coba-coba.
Jatuhkan senjata kalian!”
Perintah Dho Gho itu ditanggapi ragu-ragu oleh para anak
buah Venus. Mereka masih bersikeras memegang senjata apinya.
Dak! Bak! Brakr!
Dho Gho menendang satu kaleng besar lem aibon yang masih
berisi penuh. Kaleng besar dan berat itu melesat cepat, menghantam tubuh
seorang lelaki bersenjata hingga terpental ke tumpukan potongan papan.
“Cepat jatuhkan senjata kalian!” perintah Dho Gho lagi,
seraya siap untuk menendang kaleng lem berikutnya.
Para anak buah Venus akhirnya menurut. Mereka jatuhkan semua
senjata yang mereka pegang.
“Kamu!” tunjuk Dho Gho kepada seorang anak buah. “Lepaskan ikatan
sopir taksi itu!”
Lelaki yang ditunjuk segera menghampiri Toyib yang diikat
kaki dan tangannya. Semua ikatan terhadap Toyib dilepaskan.
Dho Gho sudah menurunkan kembali taksi yang diangkatnya
dengan posisi sudah berbalik arah menghadap ke luar. Lepas dari ikatan,
bergegas Toyib berlari ke mobilnya. Lidya yang sudah tidak sadarkan diri ia
masukkan ke dalam taksi. Dho Gho tidak turut masuk ke dalam taksi. Pintu
ditutupnya. Sebelum ada anak buah Venus yang bertindak, Dho Gho kembali
mengangkat. Kali ini yang diangkatnya adalah sebuah sepeda motor yang jelas
lebih ringan dari dua mobil sebelumnya.
“Cepat jalan, Pak. Bawa ke rumah sakit!” perintah Dho Gho
kepada Toyib.
“Ba... baik!” jawab Toyib yang langsung menyalakan mesin dan
menjalankan mobil.
Dho Gho mencampakkan motor di tangannya begitu saja. Ia lalu
melompat menerjang pintu gerbang yang tertutup.
Brak!
Gerbang itu lepas dari tembok dan rebah. Mobil taksi
terpaksa melindas gerbang yang sudah rebah tersebut.
Zerzzz!
Dho Gho yang sejenak diselimuti sinar biru kini telah
berubah ke wujud Afrizal. Ia berlari kencang mengejar taksi lalu mencapainya.
Afrizal masuk pula ke dalam taksi. Maka selamatlah Lidya dan Toyib.
Afrizal menatap iba kepada Lidya yang terkulai pingsan.
“Perempuan malang,” ucap Afrizal lirih.
Meski selamat dari sarang penjahat, tapi Toyib belum tenang
sepenuhnya. Kondisi itu dikarenakan keberadaan Afrizal di dalam taksinya. Toyib
masih menyimpan rasa ketakutannya. Ia tidak percaya bahwa ada orang bisa
berubah wujud seperti dalam cerita-cerita fiksi.
Ingin rasanya Toyib bertanya kepada Afrizal tentang siapa
dirinya, tapi rasa takut yang lebih tinggi mencegahnya untuk bertanya.
Dalam perjalanan ke rumah sakit terdekat, hanya keheningan
yang tercipta di dalam taksi itu.
Setelah menempuh perjalanan cukup lama, taksi pun memasuki
kawasan rumah sakit dan langsung menuju ke depan pintu IGD.
Tanpa menunggu apa-apa dan siapa-siapa lagi, Afrizal segera
mengangkat tubuh Lidya. Pintu depan langsung terbuka otomatis ketika Afrizal
datang.
“Dokter!” teriak Afrizal panik. (RH)
Berlanjut: Astaghfirullah! Keluarga Saya Mau Dibunuh (18)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar