Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
“Dokter!” teriak Afrizal panik.
Petugas medis yang ada segera bereaksi dengan bergegas
datang dan salah satu membawa ranjang dorong. Perawat wanita dan laki-laki
bekerja cekatan mendorong ranjang pasien setelah Lidya ditempatkan di atasnya.
Tampak seorang dokter wanita pun segera menyusul masuk. Seorang keamanan rumah
sakit menahan Afrizal agar tidak masuk ke dalam ruang penanganan yang harus
steril dari pengunjung atau pengantar pasien. Akhirnya Afrizal menunggu di
kursi tunggu bersama beberapa orang lainnya.
Toyip yang masuk belakangan segera mendatangi Afrizal.
“Nak, disuruh mendaftar dulu,” kata Toyip pelan dan hati-hati.
“Tolong Bapak bantu saya, Bapak saja yang mendaftar, namanya
dikarang saja,” kata Afrizal dengan wajah masih tersirat ketegangan lantaran
cukup panik. Ada kekhawatiran jika sampai Lidya meninggal.
“Baik.”
Pak Toyib pun menurut. Ia mengurus pendaftaran masuknya
Lidya. Setelah itu, ia kembali lagi menemui Afrizal dan duduk di sebelahnya.
“Siapa namanya, Pak?” tanya Afrizzal.
“Nuri, nama anak saya,” jawab Toyib.
“Saya minta tolong ke Bapak, jangan cerita kepada
siapa-siapa tentang apa yang Bapak lihat tadi di pabrik. Dan jangan tanya saya
tentang itu,” ujat Afrizal.
“Ba... baik,” jawab Toyib. “Tapi... siapa sebenarnya gadis
itu, Nak?”
“Gadis itu telah mencuri paket yang berisi sabu-sabu milik
bos narkoba itu. Saya sebenarnya tidak mau menjadi bagian dari bisnis haram
ini, tapi ada kondisi yang menjebak saya harus menuruti kemauan bos besarnya.”
“Oooh.” Pak Toyib manggut-manggut.
Pintu ruang pemeriksaan IGD terbuka. Semua yang menunggu di
kursi tunggu beralih memandang ke pintu. Ternyata yang keluar dokter lelaki
yang segera di datangi oleh seorang penunggu lain. Afrizal dan Toyib masih
harus menunggu.
Tak berapa lama, pintu IGD kembali terbuka. Seorang dokter
perempuan cantik nan putih bersih kulitnya keluar. Ia dokter yang tadi
mengiringi masuknya Lidya. Afrizal segera berdiri mendatangi dokter tersebut.
Toyib juga ikut datang.
“Bagaimana, Dok?” tanya Afrizal cepat.
“Keluarganya pasien bernama Nuri?” tanya balik si dokter.
“Benar,” jawab Afrizal tanpa ragu.
“Pemeriksaan tahap awal, selain mengalami luka memar, sangat
disayangkan, hantaman yang keras di perutnya membuat janinnya gugur,” ujar sang
dokter.
“Keguguran?!” ucap ulang Afrizal karena terkejut. “Jadi,
adik saya hamil, Dok?”
“Benar. Usia kehamilannya masih muda, jadi perlu perawatan
lebih lanjut dan pembersihan terhadap rahimnya. Silakan Bapak lengkapi dan
selesaikan administrasinya untuk perawatan dan penanganan lebih lanjutnya,”
kata dokter tersebut.
“Baik, Dok. Terima kasih,” ucap Afrizal.
Dokter tersebut lalu berbalik masuk kembali ke ruang IGD.
Sementara Afrizal berdiam diri berpikir.
“Astaghfirullah!
Astaghfirullah!” ucap Afrizal sambil hempaskan pantatnya ke kursi tunggu.
Ia tarik napas dalam-dalam. Ia menyesal. Karena keterlambatannya bertindak dan
memberi tahu bahwa Lidya lah orang yang mencuri sabu-sabu, satu cikal manusia
harus meninggal. Afrizal memang memiliki keyakinan bahwa Tuhan yang memegang
hidup matinya seorang manusia, tapi teap saja ia merasa begitu bersalah.
Terlebih karena pengungkapannya itu, Venus mengirim sejumlah orang untuk
menyerang kediaman Lidya. Tiba-tiba Afrizal teringat sesuatu yang membuatnya
berdiri seraya berteriak tegang, “Astaghfirullah!”
Toyib jadi terkejut ikut tegang.
“Ada apa lagi, Nak?” tanya Toyib.
“Tolong Bapak urus semua dulu biaya awalnya, sampai gadis
itu sadar. Nanti saya bayar semua kerugian Bapak. Nyawa keluarga saya terancam,
Pak!” ujar Afrizal sambil memberikan Toyib sejumlah uang.
“Iya iya iya,” ucap Toyib terkejut pula.
Afrizal lalu berlari menuju pintu keluar. Wajahnya begitu
tegang. Di luar rumah sakit, ia langsung mencari taksi.
“Yang cepat, Pak. Ini masalah gawat!” kata Afrizal kepada
sopir taksi biru yang dinaikinya.
“Memang masalah gawat apa, Dik? Ada bom mau meledak di
mana?” tanya si sopir.
“Keluarga saya mau dibunuh!”
“Hah! Mau dibunuh?!” kejut si sopir. Ia langsung oper gigi
dan tancap gas.
Taksi pun seketika melaju lebih kencang, bahkan terlihat
ugal-ugalan.
Tit! Tit! Tiiit!
Klakson dimainkan. Kendaraan demi kendaraan lain disalip.
“Tenang saja, Dik, waktu muda saya pembalap liar!” kata si
sopir.
Ciit!
Hingga-hingga ketika berbelok, suara gesekan ban di aspal
terdengar keren. Usai itu, gas langsung diinjak kencang, membuat taksi melesat
cepat dan punggung Afrizal terbanting ke belakang. (RH)
Berlanjut: Lawan Tangguh Ratu Haxi (19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar