Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
Ciiit!
Begitu dalam sopir
taksi biru itu mengerem mobilnya hingga memekik nyaring. Para pegawai dan
pelanggan kios Martabak 1001 Rasa milik Ringgo jadi terkejut. Afrizal langsung
keluar dari mobil setelah bayar tarif, tanpa peduli lagi kembaliannya. Taksi
pun segera berlalu pergi.
Suasana kios dan rumah
itu terlihat damai-damai saja. Di depan rumah parkir sebuah sedan warna silver,
menunjukkan bahwa Alice ada di rumah. Afrizal cepat berlari masuk ke dalam
rumah. Mereka yang sibuk di dalam kios martabak, hanya bisa memandangi.
“Alice! Alice!” teriak
Afrizal memanggil-manggil.
Afrizal langsung menuju
ke kamar Alice yang berseberangan dengan kamarnya di lantai dua.
Tok tok tok!
“Alice!”
Tidak ada jawaban.
Afrizal mencoba membuka pintu kamar, ternyata tidak dikunci. Ketika Afrizal
melongokkan kepalanya ke dalam, dilihatnya tidak ada orang. Afrizal segera
mencari ke ruangan lain sambil terus memanggil-manggil.
Di dapur, Afrizal hanya
bertemu dengan Aniyah, pembantu di rumah itu.
“Alice di mana, Bi
Iya?” tanya Afrizal panik.
Bi Aniyah pun jadi
tergagap terkejut dengan kesekonyong-konyongan Afrizal.
“Maaf, Bi Iyah. Buruan,
di mana Alice?” desak Afrizal.
“Di kamarnya, Zal,”
jawab Bi Aniyah dengan wajah mengerenyit.
“Tadi saya sudah ke
kamarnya, tidak ada!” bantah Afrizal.
“Berarti sedang di
kamar mandi, sedang mandi. Biasanya kalau sore seperti ini Neng Alice mandi,”
tandas Bi Aniyah.
Afrizal langsung
berbalik pergi dan kembali naik ke kamar Alice. Ia langsung masuk ke kamar anak
pamannya itu dan ke pintu kamar mandi yang tertutup.
Tok tok tok!
“Alice!”
Alangkah terkejutnya
Alice Zarvia yang memang sedang mandi di dalam. Gadis cantik berambut pendek
itu seketika marah, terlihat dari reaksi wajahnya. Alice kenal suara yang
memanggilnya itu.
“Hei!” teriak Alice
keras. “Lancang kamu, Zal!”
“Alice! Cepat keluar!”
teriak Afrizal tanpa mengindahkan kemarahan si gadis.
“Saya sedang mandi!
Beraninya kamu masuk ke kamar saya! Keluar!” teriak Alice sambil merapikan
pakaiannya, ia memang sudah selesai mandi.
“Alice, kamu harus
keluar, ini masalah penting dan gawat!” kata Afrizal berkeras.
“Benar-benar kurang
ajar kamu, Zal! Kalau kamu belum pergi saat saya keluar, awas!” kecam Alice.
Alice sejenak berkaca.
Tubuhnya sudah dibalut rapi dengan piyama warna merah muda. Selanjutnya Alice
membuka pintu kamar mandinya.
Dak!
Mendapati Afrizal
Afrizal berdiri tidak jauh di depan pintu kamar mandi, Alice yang tangannya
membawa gayung kosong, langsung memukul kepala Afrizal dengan gayung tersebut.
Keras. Tanpa menjerit, Afrizal berjongkok sambil pegangi kepalanya. Ternyata
ada darah yang mengalir, tapi Alice tidak peduli.
“Cepat keluar!” usir
Alice, masih marah.
“Tidak! Percayalah
padaku, Alice. Terjadi masalah serius. Kamu tahu ayahmu berbisnis dengan siapa,
mereka akan menyerang ke mari!” ujar Afrizal begitu serius tanpa peduli lagi
dengan luka berdarah di kepalanya.
“Memangnya apa yang
terjadi?” tanya Alice dengan nada masih tinggi dan wajah masih sewot.
“Cepat pakai baju, saya
tunggu di luar. Kita harus cepat pergi sebelum telat. Percayalah!” tandas
Afrizal. Ia lalu segera ke luar kamar.
Di luar kamar ternyata
ada Bi Aniyah. Ia sendang mencuri-curi dengar. Bi Aniyah hanya tersenyum kepada
Afrizal, karena merasa ketahuan.
“Bi Aniyah cepat tunggu
di depan rumah!” perintah Afrizal.
“Memangnya ada apa
toh?” tanya Bi Aniyah tidak mengerti.
“Pokoknya Bi Aniyah
tunggu di luar!” tegas Afrizal.
“I ... i ... iya,”
jawab Bi Aniyah jadi tergagap, tapi ia buru-buru berlari kecil menuruni tangga
lalu segera ke luar rumah.
Afrizal menunggu dengan
tidak tenang di depan pintu kamar. Tidak berapa lama, Alice keluar dengan
berpakaian biasa, tanpa sempat menyisir lagi rambut basahnya. Alice hanya
mengenakan celana panjang biru dan berbaju kemeja wanita warna putih lengan
panjang.
Tanpa sungkan lagi,
Afrizal langsung menarik tangan Alice dan bergegas menuruni tangga.
“Ceritakan apa yang
terjadi!” pinta Alice sambil menarik lepas tangannya dari pegangan Afrizal.
“Nanti di mobil. Kita
harus secepatnya meninggalkan tempat ini,” jawab Afrizal. Dia lalu masuk ke
kios martabak lewat pintu belakang.
Para pegawai jadi
terkejut melihat Afrizal masuk dengan sekonyong-konyong, terlebih ada darah
yang merembes di kepalanya.
“Tutup toko ini dan
semuanya pulang sekarang juga!” teriak Afrizal.
“Tapi ada apa?” tanya
Warsinah, kasir di kios itu.
“Jika telat, kalian
bisa mati terbunuh!” jawab Afrizal yang membuat para pegawai jadi panik dan
cemas.
Afrizal langsung keluar
dan pergi ke sedan silver yang sudah menyala mesinnya. Alice dan Bi Aniyah
sudah berada di dalam mobil. Alice yang memegang kemudi.
Ciiit!
Tiba-tiba di jalan raya
depan rumah berhenti tajam sebuah mobil Avanza biru. Terlihat dua orang pria
mengeluarkan separuh tubuhnya lewat jendela pintu mobil yang dibuka. Kedua
orang itu menodongkan senjata api serbu laras panjangnya ke arah rumah dan
kios.
Dor dor dor ...!
“Merunduk!” teriak
Afrizal. (RH)
Berlanjut: Ke Mana Om Ringgo? (23)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar