Selamatkan Alice (22)



Novel: Ratu Suku Lix




Tahun 2017

Bab Sebelumnya:



Ciiit!
Begitu dalam sopir taksi biru itu mengerem mobilnya hingga memekik nyaring. Para pegawai dan pelanggan kios Martabak 1001 Rasa milik Ringgo jadi terkejut. Afrizal langsung keluar dari mobil setelah bayar tarif, tanpa peduli lagi kembaliannya. Taksi pun segera berlalu pergi.

Suasana kios dan rumah itu terlihat damai-damai saja. Di depan rumah parkir sebuah sedan warna silver, menunjukkan bahwa Alice ada di rumah. Afrizal cepat berlari masuk ke dalam rumah. Mereka yang sibuk di dalam kios martabak, hanya bisa memandangi.
“Alice! Alice!” teriak Afrizal memanggil-manggil.
Afrizal langsung menuju ke kamar Alice yang berseberangan dengan kamarnya di lantai dua.
Tok tok tok!
“Alice!”
Tidak ada jawaban. Afrizal mencoba membuka pintu kamar, ternyata tidak dikunci. Ketika Afrizal melongokkan kepalanya ke dalam, dilihatnya tidak ada orang. Afrizal segera mencari ke ruangan lain sambil terus memanggil-manggil.
Di dapur, Afrizal hanya bertemu dengan Aniyah, pembantu di rumah itu.
“Alice di mana, Bi Iya?” tanya Afrizal panik.
Bi Aniyah pun jadi tergagap terkejut dengan kesekonyong-konyongan Afrizal.
“Maaf, Bi Iyah. Buruan, di mana Alice?” desak Afrizal.
“Di kamarnya, Zal,” jawab Bi Aniyah dengan wajah mengerenyit.
“Tadi saya sudah ke kamarnya, tidak ada!” bantah Afrizal.
“Berarti sedang di kamar mandi, sedang mandi. Biasanya kalau sore seperti ini Neng Alice mandi,” tandas Bi Aniyah.
Afrizal langsung berbalik pergi dan kembali naik ke kamar Alice. Ia langsung masuk ke kamar anak pamannya itu dan ke pintu kamar mandi yang tertutup.
Tok tok tok!
“Alice!”
Alangkah terkejutnya Alice Zarvia yang memang sedang mandi di dalam. Gadis cantik berambut pendek itu seketika marah, terlihat dari reaksi wajahnya. Alice kenal suara yang memanggilnya itu.
“Hei!” teriak Alice keras. “Lancang kamu, Zal!”
“Alice! Cepat keluar!” teriak Afrizal tanpa mengindahkan kemarahan si gadis.
“Saya sedang mandi! Beraninya kamu masuk ke kamar saya! Keluar!” teriak Alice sambil merapikan pakaiannya, ia memang sudah selesai mandi.
“Alice, kamu harus keluar, ini masalah penting dan gawat!” kata Afrizal berkeras.
“Benar-benar kurang ajar kamu, Zal! Kalau kamu belum pergi saat saya keluar, awas!” kecam Alice.
Alice sejenak berkaca. Tubuhnya sudah dibalut rapi dengan piyama warna merah muda. Selanjutnya Alice membuka pintu kamar mandinya.
Dak!
Mendapati Afrizal Afrizal berdiri tidak jauh di depan pintu kamar mandi, Alice yang tangannya membawa gayung kosong, langsung memukul kepala Afrizal dengan gayung tersebut. Keras. Tanpa menjerit, Afrizal berjongkok sambil pegangi kepalanya. Ternyata ada darah yang mengalir, tapi Alice tidak peduli.
“Cepat keluar!” usir Alice, masih marah.
“Tidak! Percayalah padaku, Alice. Terjadi masalah serius. Kamu tahu ayahmu berbisnis dengan siapa, mereka akan menyerang ke mari!” ujar Afrizal begitu serius tanpa peduli lagi dengan luka berdarah di kepalanya.
“Memangnya apa yang terjadi?” tanya Alice dengan nada masih tinggi dan wajah masih sewot.
“Cepat pakai baju, saya tunggu di luar. Kita harus cepat pergi sebelum telat. Percayalah!” tandas Afrizal. Ia lalu segera ke luar kamar.
Di luar kamar ternyata ada Bi Aniyah. Ia sendang mencuri-curi dengar. Bi Aniyah hanya tersenyum kepada Afrizal, karena merasa ketahuan.
“Bi Aniyah cepat tunggu di depan rumah!” perintah Afrizal.
“Memangnya ada apa toh?” tanya Bi Aniyah tidak mengerti.
“Pokoknya Bi Aniyah tunggu di luar!” tegas Afrizal.
“I ... i ... iya,” jawab Bi Aniyah jadi tergagap, tapi ia buru-buru berlari kecil menuruni tangga lalu segera ke luar rumah.
Afrizal menunggu dengan tidak tenang di depan pintu kamar. Tidak berapa lama, Alice keluar dengan berpakaian biasa, tanpa sempat menyisir lagi rambut basahnya. Alice hanya mengenakan celana panjang biru dan berbaju kemeja wanita warna putih lengan panjang.
Tanpa sungkan lagi, Afrizal langsung menarik tangan Alice dan bergegas menuruni tangga.
“Ceritakan apa yang terjadi!” pinta Alice sambil menarik lepas tangannya dari pegangan Afrizal.
“Nanti di mobil. Kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini,” jawab Afrizal. Dia lalu masuk ke kios martabak lewat pintu belakang.
Para pegawai jadi terkejut melihat Afrizal masuk dengan sekonyong-konyong, terlebih ada darah yang merembes di kepalanya.
“Tutup toko ini dan semuanya pulang sekarang juga!” teriak Afrizal.
“Tapi ada apa?” tanya Warsinah, kasir di kios itu.
“Jika telat, kalian bisa mati terbunuh!” jawab Afrizal yang membuat para pegawai jadi panik dan cemas.
Afrizal langsung keluar dan pergi ke sedan silver yang sudah menyala mesinnya. Alice dan Bi Aniyah sudah berada di dalam mobil. Alice yang memegang kemudi.
Ciiit!
Tiba-tiba di jalan raya depan rumah berhenti tajam sebuah mobil Avanza biru. Terlihat dua orang pria mengeluarkan separuh tubuhnya lewat jendela pintu mobil yang dibuka. Kedua orang itu menodongkan senjata api serbu laras panjangnya ke arah rumah dan kios.
Dor dor dor ...!
“Merunduk!” teriak Afrizal. (RH)


Berlanjut: Ke Mana Om Ringgo? (23)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar