Ke Mana Om Ringgo? (23)


Novel: Ratu Suku Lix




Tahun 2017

Bab Sebelumnya:


Ciiit!
Tiba-tiba di jalan raya depan rumah berhenti tajam sebuah mobil Avanza biru. Terlihat dua orang pria mengeluarkan separuh tubuhnya lewat jendela pintu mobil yang dibuka. Kedua orang itu menodongkan senjata api serbu laras panjangnya ke arah rumah dan kios.

Dor dor dor ...!
“Merunduk!” teriak Afrizal.
Hujan peluru pun terjadi. Alice dan Bi Aniyah merunduk sedalam-dalamnya di dalam mobil yang menjadi sasaran utama.
Brizzr!
Afrizal yang murka, segera menyentuh lengan kanannya dengan tangan kiri. Seketika sinar biru muncul menyelimuti tubuh Afrizal dan mengubah pemuda itu menjadi sosok Harzai yang bernama Dho Gho. Harzai itu lalu berlari sekencang motor.
Brak! Brakr!
Seluruh peluru yang menghujani Dho Gho tidak ada yang mempan. Dho Gho mengibaskan tangan kirinya yang menghancurkan dinding tembok pagar, lalu tinju kanannya menghantam tubuh mobil biru. Mobil itu terpental berputar-putar di udara lalu menghantam tembok rumah warga lain. Tembok hancur dan mobil pun ringsek bersama para penumpangnya yang terluka parah.
“Ayo cepat pergi!” teriak Afrizal kepada Alice. Ia yang telah kembali berubah ke sosok aslinya, segera masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Alice.
Alice yang tidak melihat sosok Dho Gho beraksi, cepat bangun dari ketertundukannya dan segera menjalankan mobilnya yang sudah berhias sejumlah lubang peluru. Tidak ada serangan penembakan lagi, tapi Alice sangat ketakutan. Bi Aniyah pun menangis ketakutan.
“Ada apa ini, Zal?!” tanya Alice berteriak syok. Ia tidak sanggup mengendalikan perasaan dan emosinya. Setiap kendaraan di depannya dibunyikan klakson, meski terkadang itu tidak perlu.
“Om Ringgo berbisnis narkoba. Saya dipekerjakan dan saya terjebak dalam bisnis kotor itu. Akhirnya saya ditawari pekerjaan baru oleh rekan bisnis Om Ringgo. Jika seandainya saya tolak, kalian akan dibunuh. Saya akhirnya bekerja untuk mereka. Namun, saya tidak bisa menahan marah ketika mereka hendak membunuh perempuan lain. Saya berontak, lalu hasilnya adalah yang tadi,” ujar Afriza.
“Ayah benar-benar keterlaluaaan ...!” teriak Alice histeris sambil memukul-mukul klakson mobilnya.
“Lalu, Om ke mana?” tanya Afrial.
“Tidak tahu, mungkin sudah mati!” ketus Alice. Ia benar-benar jadi merasa benci kepada ayahnya.
“Tuan sudah tiga hari ini belum pulang dan tidak telepon,” kata Bi Aniyah sambil tetap menangis.
“Berhenti menangis, Bi!” bentak Alice.
“Bibi hampir mati, Neng!” kilah Bi Aniyah sambil mencoba berhenti menangis, tapi tetap sesegukan.
“Lalu ke mana kita?” tanya Alice.
“Ke rumah sakit,” jawab Afrizal, ia sudah mulai santai.
“Kenapa ke rumah sakit?”
“Saya punya utang di sana.”
“Terlalu pengecut Ayah kabur tanpa mempedulikan anaknya sendiri. Bahkan mengingatkan pun tidak. Membunuh anak dengan tangan musuh sendiri. Perbuatan patut apa ini?” kata Alice masih marah.
“Ini semua salahku. Jika saya tidak lalai, semua tidak akan separah ini akibatnya. Seharusnya saya bisa lebih berkorban daripada keluargaku jadi korban,” sesal Afrizal.
“Apa yang kamu kerjakan sehingga jadi seperti ini, Zal?” tanya Alice.
“Awalnya, paket spesial martabak yang saya antar dicuri oleh seorang perempuan. Ternyata, di balik tumpukan partabak spesial itu adalah narkoba. Akibat kejadian itu, saya diancam dengan cara mengancam Om dan kamu. Saat penjahat-penjahat itu hendak membunuh perempuan pencuri itu, saya berontak. Maka bayarannya adalah nyawa keluarga saya,” jelas Afrizal.
“Kamu salah percaya kepada Ayah, kamu salah datang kepada Ayah. Ayah sangat membenci keluarga adiknya, terutama ayah kamu, Zal. Sampai ketika ayah kamu di napas terakhir. Jadi, saya tidak heran jika  kamu ditolong untuk dijebak.”
Terdiam Afrizal mendengar pengungkapan Alice itu. Afrizal pribadi tidak menduga jika Om Ringgo-nya memang sengaja menempatkannya dalam posisi terjebak.
Brak!
“Akh!” pekik Alice dan Bi Aniyah bersamaan. (RH)


Berlanjut: "Aku Cinta Alice" (24)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar