Novel: Ratu Suku Lix
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
Ciiit!
Tiba-tiba di jalan raya
depan rumah berhenti tajam sebuah mobil Avanza biru. Terlihat dua orang pria
mengeluarkan separuh tubuhnya lewat jendela pintu mobil yang dibuka. Kedua
orang itu menodongkan senjata api serbu laras panjangnya ke arah rumah dan
kios.
Dor dor dor ...!
“Merunduk!” teriak
Afrizal.
Hujan peluru pun
terjadi. Alice dan Bi Aniyah merunduk sedalam-dalamnya di dalam mobil yang
menjadi sasaran utama.
Brizzr!
Afrizal yang murka,
segera menyentuh lengan kanannya dengan tangan kiri. Seketika sinar biru muncul
menyelimuti tubuh Afrizal dan mengubah pemuda itu menjadi sosok Harzai yang
bernama Dho Gho. Harzai itu lalu berlari sekencang motor.
Brak! Brakr!
Seluruh peluru yang
menghujani Dho Gho tidak ada yang mempan. Dho Gho mengibaskan tangan kirinya
yang menghancurkan dinding tembok pagar, lalu tinju kanannya menghantam tubuh
mobil biru. Mobil itu terpental berputar-putar di udara lalu menghantam tembok
rumah warga lain. Tembok hancur dan mobil pun ringsek bersama para penumpangnya
yang terluka parah.
“Ayo cepat pergi!”
teriak Afrizal kepada Alice. Ia yang telah kembali berubah ke sosok aslinya,
segera masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Alice.
Alice yang tidak
melihat sosok Dho Gho beraksi, cepat bangun dari ketertundukannya dan segera
menjalankan mobilnya yang sudah berhias sejumlah lubang peluru. Tidak ada
serangan penembakan lagi, tapi Alice sangat ketakutan. Bi Aniyah pun menangis
ketakutan.
“Ada apa ini, Zal?!”
tanya Alice berteriak syok. Ia tidak sanggup mengendalikan perasaan dan
emosinya. Setiap kendaraan di depannya dibunyikan klakson, meski terkadang itu
tidak perlu.
“Om Ringgo berbisnis
narkoba. Saya dipekerjakan dan saya terjebak dalam bisnis kotor itu. Akhirnya
saya ditawari pekerjaan baru oleh rekan bisnis Om Ringgo. Jika seandainya saya
tolak, kalian akan dibunuh. Saya akhirnya bekerja untuk mereka. Namun, saya
tidak bisa menahan marah ketika mereka hendak membunuh perempuan lain. Saya
berontak, lalu hasilnya adalah yang tadi,” ujar Afriza.
“Ayah benar-benar
keterlaluaaan ...!” teriak Alice histeris sambil memukul-mukul klakson
mobilnya.
“Lalu, Om ke mana?”
tanya Afrial.
“Tidak tahu, mungkin
sudah mati!” ketus Alice. Ia benar-benar jadi merasa benci kepada ayahnya.
“Tuan sudah tiga hari
ini belum pulang dan tidak telepon,” kata Bi Aniyah sambil tetap menangis.
“Berhenti menangis,
Bi!” bentak Alice.
“Bibi hampir mati,
Neng!” kilah Bi Aniyah sambil mencoba berhenti menangis, tapi tetap sesegukan.
“Lalu ke mana kita?”
tanya Alice.
“Ke rumah sakit,” jawab
Afrizal, ia sudah mulai santai.
“Kenapa ke rumah
sakit?”
“Saya punya utang di
sana.”
“Terlalu pengecut Ayah
kabur tanpa mempedulikan anaknya sendiri. Bahkan mengingatkan pun tidak.
Membunuh anak dengan tangan musuh sendiri. Perbuatan patut apa ini?” kata Alice
masih marah.
“Ini semua salahku.
Jika saya tidak lalai, semua tidak akan separah ini akibatnya. Seharusnya saya
bisa lebih berkorban daripada keluargaku jadi korban,” sesal Afrizal.
“Apa yang kamu kerjakan
sehingga jadi seperti ini, Zal?” tanya Alice.
“Awalnya, paket spesial
martabak yang saya antar dicuri oleh seorang perempuan. Ternyata, di balik
tumpukan partabak spesial itu adalah narkoba. Akibat kejadian itu, saya diancam
dengan cara mengancam Om dan kamu. Saat penjahat-penjahat itu hendak membunuh
perempuan pencuri itu, saya berontak. Maka bayarannya adalah nyawa keluarga
saya,” jelas Afrizal.
“Kamu salah percaya
kepada Ayah, kamu salah datang kepada Ayah. Ayah sangat membenci keluarga
adiknya, terutama ayah kamu, Zal. Sampai ketika ayah kamu di napas terakhir.
Jadi, saya tidak heran jika kamu
ditolong untuk dijebak.”
Terdiam Afrizal
mendengar pengungkapan Alice itu. Afrizal pribadi tidak menduga jika Om Ringgo-nya
memang sengaja menempatkannya dalam posisi terjebak.
Brak!
“Akh!” pekik Alice dan
Bi Aniyah bersamaan. (RH)
Berlanjut: "Aku Cinta Alice" (24)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar