Ilustrasi: polisi wanita Rusia. (Foto: Ramil Sitdikov/Sputnik) |
Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
“Aku mau menjenguk pasien yang bernama Lidya yang belum lama
masuk ke rumah sakit ini,” kata Hilwa kepada pegawai yang seorang wanita.
“Sebentar ya, Bu,” kata wanita muda itu sambil memeriksa
data pasien di komputer. Lalu katanya kepada Hilwa, “Maaf, Bu, pasien bernama
Lidya tidak ada. Pasien yang masuk beberapa jam lalu bernama Bambang dan Nuri.”
“Gadis remaja berseragam sekolah?” tanya Hilwa lagi.
“Gadis remaja hanya berok sekolah. Namanya Nuri, Bu.”
“Ya itu. Kamar nomor berapa?”
“206 di lantai 2.”
“Terima kasih.”
Hilwa pun segera pergi ke lift.
Di saat yang sama, Marli Sisilia muncul di pintu. Namun,
Hilwa sudah masuk lift. Marli segera ke bagian informasi.
“Mbak, ibu yang tadi ke kamar nomor berapa?” tanya Marli.
“206 lantai 2,” jawab wanita bagian informasi.
“Terima kasih,” ucap Marli tersenyum lalu segera menuju
lift. Di sana, Marli harus menunggu. Dipandangnya lampu angka yang menyala
bergantian, menunjukkan posisi lift berada.
Pintu lift akhirnya terbuka. Keluarlah seorang suster dan
Marli melangkah masuk. Setelah menekan angka 2, lift kembali tertutup dan naik.
Hanya berselang detik, pintu pun kembali terbuka. Marli melangkah ke luar. Baru
saja berbelok, Marli menghentikan langkahnya.
Beberapa meter di depan sana, ada seorang wanita berseragam
polisi perempuan yang membelakangi Marli, tapi menghadap kepada Hilwa Fadia.
Marli bisa melihat ada tanda Harzai di lengan kiri si ibu
polisi. Ia tidak lain adalah Komisaris Polisi Sucitra Dewi, seorang Harzai yang
secara sembunyi membuntuti kepergian Haxi jelmaan Hilwa.
“Aku tahu kau seorang Harzai, meski tanda itu tidak tampak
di lenganmu. Kau yang telah membunuh di pergudangan. Menyerahlah!” kata Kompol
Sucitra.
“Harzai tidak bisa ditangkap dan ditahan dengan penjara
biasa, Bu Polisi. Kamu harus tahu bahwa aku adalah seorang ratu suku dari
Dinasti Ern. Jangan berurusan denganku. Aku tidak mau membunuh aparat penegak
hukum,” kata Hilwa.
“Jika demikian, aku akan bertindak tegas!” tandas Sucitra.
Zerzz!
Terkejut Sucitra Dewi saat mendengar suara yang akrab
baginya muncul di belakangnya. Seketika ia berbalik. Ternyata Marli telah
berubah menjadi Shehree, gadis mungil berambut biru terang dan berpupil mata
biru.
Dengan tenangnya Shehree berjalan lewat di depan Sucitra. Bu
polisi itu membiarkan Shehree berlalu ke dekat Hilwa.
“Biar saya yang urus, Kak,” kata Shehree.
Hilwa hanya tersenyum. Ia pun segera pergi mencari kamar
nomor 206. Sementara Shehree kini berhadapan dengan Sucitra.
“Hanya pembunuhan yang akan terjadi bila Bu Polisi
memaksakan diri untuk menangkap seorang Harzai. Tentunya Bu Polisi lebih tahu
dibandingkan saya yang lebih muda,” kata Shehree.
“Tidak membedakan apakah dia orang biasa atau seorang
Harzai. Seorang kriminal tetap harus diringkus!” tandas Sucitra.
“Adalah salah jika seorang pengayom rakyat harus membunuh
tanpa alasan. Ratuku membunuh penjahat yang tidak bisa diringkus oleh polisi
dan dalam usaha menyelamatkan keponakannya. Jika Bu Polisi ingin menangkap
ratuku, itu akan sangat berat. Sebab, seorang Jenderal Perang-nya kini berdiri
di depan Anda.”
“Menyerahlah!” perintah Sucitra.
“Tahanan apa yang bisa mengurung seorang Harzai?” tanya
Shehree.
“Tangannya harus dijauhkan dari lengannya dan tangannya
harus diamputasi!” jawab Sucitra.
“Jika demikian saya tidak akan suka untuk menyerah. Lebih
baik kita kembali ke urussan kita masing-masing. Bagaimana?” kata Shehree.
“Saranmu ditolak. Kau pun harus aku tangkap!” tegas Sucitra
lalu tangan kanannya menyentuh lengan kirinya.
Zerzz!
Sosok polisi Sucitra kini berubah setelah diselimuti sinar
kuning sejenak. Kini di hadapan Shehree berdiri sesosok wanita muda nan cantik
bertubuh langsing. Pakaiannya tertutup ketat dari ujung kaki sampai leher.
Berwarna kuning bergaris-garis hitam dan terbuat dari bahan bagus yang elastis. Rambutnya kuning terang pendek seleher. Kesepuluh jari-jari tangannya yang
lentik juga terbungkus sarung tangan elastis berwarna kuning. Ialah seorang
Harzai bernama Wind.
“Waw, cantik!” ucap Shehree memuji seraya tersenyum. Namun,
dalam hati ia harus berhati-hati, sebab ini adalah lawan baru yang belum jelas
sejauh mana kehebatannya. Lalu katanya kepada Wind, “Kita damai, bagaimana?”
“Bersiaplah!” seru Wind.
“Tapi ini tempat orang-orang sakit, kita bermain di luar!”
seru Shehree lalu berlari ke arah jendela.
Prank!
Shehree melesat cepat dan menjebol jendela kaca besar keluar
dari bangunan rumah sakit. Wind segera mengejar.
“Ohh!”
Terdengar suara keterkejutan orang-orang di sekitar rumah
sakit yang melihat peristiwa tidak biasa itu.
Wind tidak bisa melesat terbang seperti Shehree, karenanya
ia melompat turun ke bawah. Kini Shehree berdiri di atas gapura depan masuk
rumah sakit. Ia menunggu tindakan Wind. Sosok Shehree yang aneh jelas menjadi pusat
perhatian dan kehebohan oleh warga sekitar.
Wind yang juga berpakaian aneh menjadi pusat perhatian. Ia
berdiri beberapa meter dari gapura.
Wind kemudian membungkuk dan menyentuhkan kakinya ke aspal
jalan. Setelah itu, ....
Betapa terkejutnya Shehree ketika merasakan tempatnya
berdiri bergerak. Ternyata ia mendapati dirinya berdiri di atas kepala seekor
ular raksasa. Shehree melompat tinggi ke udara. Kepala ular langsung meluruk ke
atas dengan mulut terbuka lebar.
Bruzz! Brakr!
Tahu-tahu, tujuh sinar merah sudah muncul di belakang
punggung Shehree dan menghantamnya. Hantaman tujuh sinar merah itu melesatkan
tubuh Shehree menghantam sebuah mini bus kosong. Bus itu turut terseret penyok
menghantam pagar rumah sakit.
Shehree cepat bangkit dengan wajah mengerenyit. Heran, ular
raksasa telah tidak ada. Kini Wind yang berdiri di atas gapura memandang
Shehree.
Pertarungan dahsyat tidak normal itu membuat warga sekitar
panik dan berlarian. Kemacetan terjadi di jalan raya depan rumah sakit.
Wind melompat seperti orang hendak menggapai jangkauan
terjauh. Gerakan itu jelas sasaran empuk bagi Shehree. Gadis biru itu segera
melesat menyambut tubuh Wind di udara dengan tendangan keras. Namun, Shehree
harus terkejut, tendangannya hanya menabrak bayang-bayang yang buyar dan
hilang.
Bruzz! Brakr!
Kembali, tahu-tahu tujuh sinar merah beruntun sudah muncul
di samping Shehree dan menghantam tubuh mungilnya. Tubuh Shehree melesat deras
menghantam sebuah sedan terdepan di kemacetan. Penyok dan memecahkan seluruh
kaca, melukai orang-orang di dalamnya. (RH)
Berlanjut: Rahasia Harzai Wind (26)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar