Oleh Rudi Hendrik
Tahun 2017
Bab Sebelumnya:
“Bibi!” panggil satu suara lemah dari seorang wanita di
ranjang pasien. Wanita itu tidak lain adalah Lidya, keponakan kesayangan Hilwa.
Wajah cantiknya tampak berhias memar yang cukup parah.
“Lidya!” sebut Hilwa panik langsung menghambur ke tepi
ranjang.
Dengan lemah, Lidya berusaha bangun dan memeluk bibi
tersayang. Tangisnya pecah, ia benar-benar menangis. Kali ini, Lidya ingin
menumpahkan semua derita hatinya dengan air mata kepada orang yang selama ini
menyayanginya. Erat sekali Lidya memeluk. Tangan Hilwa membelai rambut
keponakannya. Tak terasa akhirnya air mata gadis matang itu tercurah pula.
Dendam dan iba teracik satu di dalam perasaan Hilwa.
Pak Toyib yang menyaksikan jadi turut larut pula dalam
kesedihan itu.
“Saya tidak jadi punya anak, Bi,” ucap Lidya.
Terkejut Hilwa mendengar itu. Ia lepaskan pelukan anak
kakaknya tersebut. Tajam tatapan berairnya dan berubah dingin wajah cantik itu.
“Saya minta maaf, Bi. Saya tidak bisa berterus terang kepada
Bibi. Saya sudah terlalu mengecewakan Bibi. Saya minta maaf, Bi, saya minta
maaf!” ucap Lidya meratap.
“Siapa yang bertanggung jawab?” tanya Hilwa setelah menyeka
air matanya.
“Alvin. Tapi, Bi ... dia telah membunuh bayi saya,” kata
Lidya menangis.
Namun, Hilwa tersenyum paksa membelai kepala keponakannya.
Ia mencoba meringankan perasaan Lidya. Padahal, amarahnya telah menelan semua
kesedihannya akan Lidya. Ia tidak marah kepada Lidya, tapi marah kepada orang
yang telah mengorbankan Lidya demi nafsunya.
“Kamu harus banyak beristirahat,” kata Hilwa sambil menuntun
tubuh Lidya untuk kembali berbaring. “Lalu di mana anak itu?”
“Kata Pak Toyib, Alvin adalah bos narkoba di gudang, tapi
sudah ditimpa mobil yang dilempar oleh orang yang menolong saya, Bi,” ujar
Lidya.
Hilwa memandang Pak Toyib yang mengangguk membenarkan. Hilwa
merasa heran dengan adanya orang yang bisa melempar mobil.
“Siapa yang bisa melempar mobil?” tanya Hilwa curiga.
“Anak muda yang bisa berubah wujud, namanya Afrizal,” jawab
Toyib.
“Lalu Bapak siapa?” tanya Hilwa.
“Pak Toyib, sopir taksi yang membawa saya ke rumah sakit,
Bi,” jawab Lidya.
“Ya sudah, berbaringlah dan istirahatlah, yang penting
kondisimu sudah aman. Senang melihatmu selamat. Bibi tinggal sebentar, ada yang
harus Bibi selesaikan di luar,” kata Hilwa.
“Iya, Bi.”
“Terima kasih, Pak. Nanti semua biayanya saya ganti. Jika
Bapak ada keperluan lain, Bapak tinggalkan saja nomor hp dan alamat Bapak
kepada Lidya,” kata Hilwa kepada Toyib.
“Iya, tapi saya sedang menunggu Nak Afrizal,” kata Toyib.
“Baik,” kata Hilwa lalu melangkah pergi ke pintu.
Di luar kamar, di koridor yang sepi, Hilwa Fadia malih rupa
menjadi Haxi. Selanjutnya ia melesat terbang sepanjang koridor, mengejutkan
orang yang baru muncul di tempat itu. Haxi langsung keluar dengan cara menjebol
jendela kaca.
Masyarakat umum yang menonton pertarungan Shehree dan Wind
dalam ketidakpercayaan, semakin terkejut dengan munculnya Haxi terbang di
udara.
Haxi melihat Shehree menyerang tempat-tempat kosong, padahal
Wind berdiri tidak jauh darinya. Lalu dengan mudahnya Wind melepaskan tujuh
sinar beruntun dan menghantam tubuh Shehree. Seolah-olah Shehree tidak melihat
keberadaan Wind yang melepaskan serangan. Shehree baru terkejut setelah sinar
Energi Tempur Wind sudah dekat menghantam. Shehree terpental keras menghantam
trotoas hingga tatanan batu bata itu rusak, sementara tubuh Shehree tidak
mengalami lecet sedikit pun.
“Apa yang terjadi dengan Panglima Perangku?” tanya Haxi yang
berdiri di atas sebuah truk yang di depan kemacetan. “Dia adalah Harzai dari
Dinasti Jongga, bertarung dengan sihir.”
“Pantas!” desis Shehree geram. (RH)
Berlanjut: Kehebatan Shehree (27)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar