CPA 22

Irwan keluar dari gang sendirian dan berjalan di pinggiran jalan raya kecil. Langkahnya masih terlihat agak pincang buah dari insiden kecelakaannya bersama Darmawan. Meski sudah mendapat penanganan khsusus dari pakar urut dan syaraf di kediaman Ustaz Abu Rosyid, tapi tidak bisa menghilangkan cedera kaki secara mutlak.

 

Hari ini Irwan tampak tampan dengan sisiran samping yang masih basah. Mengenakan T-shirt hitam dan berjeans hitam yang sudah tampak lusuh. Sehelai handuk merah kecil dilipat rapi dan diselipkan di tali sabuk yang berwarna hitam. Irwan membawa tas biru kecil yang berisi bekal untuk makan siang.

 

Tidak hanya Irwan yang terlihat berjalan, sejumlah orang yang tampak sudah segar-segar dangan dandanan yang cantik-cantik turut berjalan kaki. Adapun yang lain melintas dengan mengendarai sepeda motor.

 

Orang-orang yang tidak memiliki kendaraan, harus berjalan kaki sekitar 200 meter ke pasar, nantinya dilanjutkan dengan naik angkutan umum menuju ke kawasan kerja masing-masing.

 

“Irwan!” satu suara wanita tiba-tiba terdengar memanggil dari sisi belakang Irwan.

 

Pemuda itu segera berhenti dan berpaling ke belakang. Dilihatnya, seorang wanita berkerudung merah mencekik leher becelana jeans biru ketat membungkus pinggul yang aduhai, berlari seraya tertawa kecil mencoba mendapati keberadaan Irwan.

 

“Astaghfirullah!” ucap Irwan, tapi hanya di dalam hati.

 

Meski cukup prihatin melihat pakaian “jilbab seksi” wanita itu, wajah Irwan tetap memberi senyum.

 

Penampilan wanita yang tidak lain adalah Syamsiah, janda muda anak satu teman sekerja Irwan, memang terbilang seksi, meski ia berjilbab.

 

Meski akrab sebagai teman kerja, tetapi akan selalu membuat jantung Irwan ber-dag dig dug jika bersama dengan Syamsiah. Penampilan wanita yang lebih tua itu mau tidak mau akan memancing pikiran tidak elok Irwan, ketika tanpa sengaja memandang pinggul atau tonjolan di bawah leher.

 

“Mpok enggak ada teman. Enggak nyaman dong kalau Mpok jalan sendirian,” kata Syamsiah seraya tersenyum kepada Irwan.

 

“Bagaimana mau nyaman kalau penampilannya begini. Kakek-kakek juga akan melotot kalau melihat,” kata Irwan, tapi hanya di dalam hati, sedangkan wajahnya hanya lepaskan senyum kuda.

 

“Kok jalan kamu agak pincang gitu?” tanya Syamsiah.

 

“Kemarin jatuh bareng motor di jalanan,” jawab Irwan.

 

“Tapi kamu gak kenapa-kenapa, kan?” tanya Syamsiah bernada cemas.

 

“Enggak, Mpok. Alhamdulillah hanya luka sedikit,” jawab pemuda itu.

 

“Bawa bekal?” tanya Syamsiah karena melihat Irwan membawa tas.

 

“Iya, Mpok. Penghematan di tanggal tua,” jawab Irwan sambil berjalan yang diiringi Syamsiah di sisinya.

 

Syamsiah hanya tertawa. Lalu katanya, “Eh, ada salam buat kamu.”

 

“Dari siapa?” tanya Irwan cepat sambil memandang wanita di sebelahnya.

 

“Lestari,” jawab Syamsiah sambil tertawa, seolah menertawai Irwan yang hanya tersenyum.

 

“Mpok jangan menggoda saya, sedangkan saya sedang jalan sama Mpok,” kata Irwan dengan maksud sengaja ingin menggoda perasaan wanita di sebelahnya.

 

“Ih, memang kenapa kalau kamu jalan sama Mpok?” tanya Syamsiah seraya serius memandang Irwan. “Kamu malu jalan dengan Mpok yang seorang janda?”

 

“Enggak, hanya khawatir orang yang enggak kenal akan menyangka saya suaminya Mpok,” kata Irwan.

 

“Ah, biarin saja, mereka kan tidak tahu bagaimana saya harus berjuang untuk tetap menghidupi diri dan seorang anak,” kata Syamsiah. “Jadi kamu tidak suka jalan sama Mpok?”

 

“Enggak. Namun, menurut Mpok bagaimana, jika Mpok jalan dengan lelaki yang tidak masalah dengan Mpok dan mata masyarakat?”

 

“Kamu pagi-pagi sudah bikin perasaan Mpok emosian aja, Wan,” gerutuh Syamsiah, tapi tidak menunjukkan kemarahan dengan sikap Irwan. “Maksud kamu suami? Mpok gak punya. Bapak Mpok? Sudah almarhum. Jangan bahas yang macam-macam deh, Wan. Ya sudah, kalau kamu malu jalan sama Mpok!”

 

Mulailah Syamsiah merajuk dengan wajah cemberut. Ia berjalan cepat sehingga meninggalkan Irwan. Hal itu membuat Irwan terkejut. Ia segera sadar bahwa ia telah membuat wanita itu tersinggung.

 

“Mpok!” panggil Irwan sambil berlari kecil menyusul Syamsiah dan berjalan agak terpincang di sebelahnya. “Mpok, jangan cepat-cepat begitu, kaki saya sakit nih!”

 

“Gak usah jalan sama Mpok,” ucap Syamsiah dengan suara pelan sambil tangannya bergerak menyeka sudut matanya dengan punggung jarinya.

 

Gerakan itu membuat Irwan segera menyimpulkan bahwa Syamsiah mungkin menangis. Irwan buru-buru maju ke depan Syamsiah guna memastikan bahwa Syamsiah tidak menangis karenanya. Syamsiah jadi berhenti dihadang seperti itu. Irwan pun dapat melihat sepasang mata Syamsiah yang agak memerah dan berkaca-kaca. Syamsiah sejenak menatap Irwan lalu bergeser ke samping dan terus berjalan melewati Irwan.

 

Melihat fakta bahwa dirinya telah menyinggung dan membuat marah perasaan Syamsiah, Irwan merasakan sendiri rasa sakit di hatinya. Ia merasa begitu bodoh dan tidak bisa memahami perasaan seorang wanita yang berstatus janda.

 

Irwan kembali berlari kecil dan menghadang Syamsiah. Ia cepat bicara.

 

“Mpok, maafkan saya. Saya benar-benar minta maaf sudah menyinggung perasaan Mpok. Saya sebenarnya hanya mau bertanya, ‘Bagaimana menurut Mpok kalau saya jadi suami, Mpok?’,” katanya.

 

“Ak!” pekik Syamsiah terkejut, tetapi ia buru-buru membekap mulutnya sendiri agar jeritannya yang lepas kontrol tidak menarik perhatian orang sekitar. Seraya menahan rasa malu, ia menengok ke sekitar, khawatir ada orang lain yang dekat memperhatikannya gara-gara menjerit.

 

Posisi mereka berdua cukup jauh dari orang terdekat yang sama-sama berjalan kaki. Sepeda motor pun hanya berlalu tanpa melirik sedikit pun.

 

Rasa terkejut, bahagia dan malu melanda perasaan Syamsiah mendengar kata-kata terakhir Irwan. Sedangkan Irwan hanya menatap melihat reaksi wanita yang lebih dewasa di depannya itu. Namun kemudian, Syamsiah seolah tersadar yang kemudian justru membangkitkan amarahnya. Ia sadar betul, tidak mungkin Irwan serius berkata demikian. Ia menilai pemuda itu benar-benar melampaui batas dalam mencandainya.

 

“Ya Allah, Irwan! Kamu benar-benar kurang ajar sama Mpok, ya!” pekik Syamsiah dengan wajah merah memendam kemarahan. Tangan kanannya yang membawa tas diangkat hendak memukul kepala pemuda itu. Namun, dengan kegusaran yang dipendam, Syamsiah menahan pukulannya. “Mulai sekarang, jangan bicara kepada Mpok!”

 

Di kalimat akhirnya, Syamsiah tidak bisa menahan lagi emosinya. Tangisnya pecah. Ia berlari kecil dengan menunduk meninggalkan Irwan.

 

“Mpok!” panggil Irwan jadi kebingungan.

 

Pemuda itu bingung harus berbuat apa. Apakah ia harus terus mengejar Syamsiah yang sedang dipuncak emosi dan sakit hatinya? Atau, membiarkannya pergi sendiri dan ia berjalan menjaga jarak. Ia pun telah memastikan dirinya gagal dalam komunikasi dengan seorang wanita.

 

Akhirnya Irwan memutuskan berjalan sepuluh meter di belakang Syamsiah.

 

Di pangkalan angkutan umum, Syamsiah langsung naik ke mobil yang sedang menunggu penumpang lain. Pada akhirnya, Irwan pun menaiki mobil mikrolet yang sama. Ia duduk berhadapan dengan Syamsiah di paling belakang. Syamsiah memilih bersikap cuek tanpa mau memandang Irwan, ia memilih bermain dengan ponselnya atau memandang ke jalanan di luar sana. Irwan memandang sejenak wajah cantik matang di hadapannya. Jika diperhatikan, masih ada sisa-sisa jejak tangis di kedua mata Syamsiah.

 

“Maafkan saya, Mpok,” ucap Irwan lirih, tapi didengar oleh Syamsiah.

 

Syamsiah bergeming. Ia memilih menatap ke luar melalui kaca belakang mobil yang transparan. Justru ia sedang menahan gejolak di dalam dadanya. Ia mengabaikan Irwan yang semakin merasa serba salah. Irwan pun tidak bisa berbuat lebih banyak ketika beberapa penumpang mulai bernaikan dan sopir mulai menjalankan mobilnya.

 

Syamsiah memilih tetap memandang ke luar tanpa mau menatap wajah Irwan di depannya sejenak pun. Irwan yang hanya sesekali memandang wanita di depannya itu.

“Astaghfirullah, astaghfirullah ....”

Dalam hati Irwan hanya beristighfar. Saat itu ia berada dalam dilema hati. Namun, ia bertekad untuk menyelesaikannya hari itu juga. Ia tidak mau meninggalkan kesalahpahaman pada diri Syamsiah, sehingga justru nanti menjadi bola liar yang tidak baik.

 

Satu dua penumpang turun lebih dulu di tempat tujuannya. Mobil kembali berjalan. (RH)